Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Ironi PM Ethiopia: Dari Pemenang Nobel Perdamaian, Kini Pemrakarsa Perang
4 November 2021 12:43 WIB
·
waktu baca 4 menit
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Ahmed, penyabet Nobel Perdamaian pada 2019 lalu, menegaskan akan terus melawan “musuh-musuh pemerintah.”
“Parit yang digali ini akan sangat dalam, dan [parit] ini akan menjadi tempat di mana musuh dikubur, bukan tempat Ethiopia terpecah,” tegasnya dalam pidatonya di markas besar militer Addis Ababa, Rabu (3/11/2021), dikutip dari Reuters.
“Kita akan mengubur musuh ini dengan 'darah' dan 'tulang', dan kembali mengibarkan kejayaan Ethiopia,” imbuhnya.
Pria ini lahir di Beshasha, Ethiopia, pada 15 Agustus 1976. Ia merupakan keturunan etnis Oromo, kelompok etnis terbesar di negara tersebut. Ayahnya adalah pemeluk Islam dan ibunya adalah penganut Kristen.
Sejak remaja, Ahmed sudah aktif di bidang militer. Ia bergabung dengan perlawanan terhadap kediktatoran Marxisme, Mengistu Haile Mariam. Saat itu, Ahmed adalah seorang tentara muda yang terafiliasi dengan Partai Demokratis Oromo (ODP).
ADVERTISEMENT
Mengistu Haile Mariam akhirnya jatuh di tangan pemberontak yang dipimpin oleh etnis Tigray pada 1991. Ahmed saat itu berusia 15 tahun.
Kemudian, ia menjadi anggota United Nations Assistance Missions in Rwanda (UNAMIR), penjaga perdamaian Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) usai terjadinya genosida Rwanda pada 1994.
Tak lama setelah itu, dia diangkat sebagai letnan kolonel di Angkatan Darat Ethiopia.
Selama bertugas di Pasukan Pertahanan Nasional Ethiopia (ENDF), Ahmed mengenyam pendidikan di bidang ilmu komputer di Microlink Information Technology College di Ibu Kota Addis Ababa. Dia meraih gelar sarjana pada 2009.
Ia melanjutkan studinya ke jenjang yang lebih tinggi, dan meraih gelar magister di bidang kepemimpinan dan ekonomi pada 2011 dan 2013.
Pada 2017, ia memperoleh gelar doktor di bidang perdamaian dan penelitian konflik di Addis Ababa University.
Perjalanan Politik Abiy Ahmed
Ahmed memulai perjalanan di panggung perpolitikan Ethiopia bersama ODP. Pada 2010, ia terpilih sebagai anggota parlemen Ethiopia. Kemudian pada 2016, ia sempat menjabat sebagai Menteri Sains dan Teknologi. Jabatannya tak berlangsung lama.
ADVERTISEMENT
Dua tahun setelahnya, yakni 2018, ia menduduki jabatan perdana menteri di usia 41 tahun. Ia merupakan etnis Oromo pertama yang menjadi pemimpin pemerintahan Ethiopia.
Ahmed yang masih muda dan penuh semangat, saat itu memperoleh dukungan dari masyarakat. Popularitasnya meroket dan pendukungnya mati-matian membela reformasi yang dicanangkan oleh Ahmed.
Koalisi pemerintahan di Ethiopia, Front Demokratik Revolusioner Rakyat Ethiopia (EPRDF), sudah berkuasa hingga hampir tiga dekade. Koalisi ini diterpa berbagai tuduhan, mulai dari korupsi, pelanggaran HAM, hingga tindakan represif.
Ahmed, pada November 2019, memutuskan untuk membubarkan EPRDF. Ia pun membentuk Partai Kemakmuran (Prosperity Party).
Tetapi, pembubaran dan pembentukan organisasi baru ini hanya memperkeruh hubungannya dengan Front Pembebasan Rakyat Tigray (TPLF).
ADVERTISEMENT
TPLF merupakan partai berkuasa di Tigray, yang juga memiliki kekuatan dominan dalam koalisi EPRDF.
Selama pemerintahannya, Ahmed membebaskan ribuan tahanan politik, mencabut pembatasan pada media independen, dan menarik kembali kelompok oposisi Ethiopia yang sebelumnya diasingkan.
Ia juga mendukung hak wanita, mempromosikan kesetaraan gender di kabinet, serta membentuk kementerian perdamaian.
Puncak popularitasnya tercapai ketika Ahmed menerima penghargaan Nobel perdamaian pada 2019. Anugerah itu diperoleh setelah dia menjembatani perdamaian Ethiopia dengan negara tetangga, Eritrea.
Kedua negara ini berperang pada 1998-2000. Namun, sebelum 2019, belum ada perjanjian damai yang terbentuk di antara keduanya.
Dikutip dari situs resmi Nobel, Ahmed dianugerahi Nobel atas “Upayanya untuk mencapai perdamaian dan kerja sama internasional, dan terutama untuk inisiatifnya dalam menyelesaikan konflik perbatasan dengan negara tetangga, Eritrea.”
ADVERTISEMENT
Namun, euforia dan pujian dari mata dunia mulai luruh ketika situasi di wilayah Tigray memanas.
Konflik di Wilayah Tigray
Dikutip dari BBC, pada 2020, Ethiopia memutuskan untuk menunda pemilihan umum akibat pandemi COVID-19.
Namun, wilayah Tigray kukuh dan tetap melangsungkan pemilihan daerahnya pada September. Seperti diketahui, hubungan antara Ahmed dan TPLF--yang saat itu berkuasa di Tigray--sedang keruh.
Pemerintahan federal geram karenanya. Mereka menyebut pemilihan di Tigray sebagai ilegal. Pada Oktober, pemerintah pusat memutuskan untuk menghentikan pendanaan ke Tigray.
Pemerintah Tigray memandang keputusan pemerintah federal sebagai “deklarasi perang.” Ketegangan memuncak ketika pasukan Tigray dituding menyerang pangkalan militer Ethiopia untuk mencuri persenjataan.
Abiy Ahmed menyebut tindakan pasukan Tigray telah lewat batas.
ADVERTISEMENT
“Pemerintah federal, oleh karenanya, terpaksa mengerahkan kekuatan militer,” tegas Ahmed.
Pada 4 November 2020, Ahmed akhirnya memerintahkan konfrontasi militer untuk melawan pasukan regional di wilayah Tigray.
Sejak saat itu, situasi di Tigray seakan tak pernah padam. Bahkan, menurut Dewan HAM PBB, pelanggaran HAM yang brutal dan serius telah terjadi di wilayah konflik.
Konflik ini telah menyebabkan 400.000 orang di Tigray kelaparan, ribuan warga sipil tewas, serta memaksa lebih dari 2,5 juta orang di utara Ethiopia meninggalkan rumah mereka.
Pemberontak yang sempat dipukul mundur oleh tentara Ethiopia kini berhasil merebut kembali beberapa wilayah, hingga berencana menumbangkan pemerintahan resmi Ethiopia di bawah Ahmed.