Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.102.2
Ironi Warga Kebon Kacang Hidup Berdampingan dengan Sampah dan Tinja
29 April 2025 14:46 WIB
·
waktu baca 3 menit
ADVERTISEMENT
Bau bacin langsung menusuk hidung, sampah-sampah memenuhi kali yang airnya hitam pekat. Di kanan kiri bantaran kali itu berdiri rumah-rumah warga dengan jarak berdempetan.
ADVERTISEMENT
Meski dikepung bau busuk dan sampah, kehidupan warga RT 06/RW 07 dan RT 14/RW 09 Kebon Kacang, Tanah Abang, Jakarta Pusat, tetap berjalan seperti biasa.
Kondisi di kawasan yang tak jauh dari Bundaran HI ini sudah jadi pemandangan sehari-hari mereka. Sampah-sampah itu juga berasal dari warga sendiri yang langsung membuang sampah ke kali.
“Kalau di sini mah sudah biasa [dengan bau tak sedap dari sungai],” ujar Acan, pria Betawi kelahiran 1970 yang sehari-hari bekerja sebagai tukang parkir di kawasan Pasar Tanah Abang.
Dulu, kenangnya, sungai ini bersih. Saat kecil, ia kerap berenang di kali itu. “Airnya jernih, bisa buat main. Sekarang mah liat sendiri,” katanya sambil geleng-geleng kepala dengan sedih.
ADVERTISEMENT
Di sela-sela percakapan kumparan dengan Acan, tiba-tiba sebuah pipa dari rumah di bantaran kali itu mengeluarkan tinja, luruh begitu saja masuk ke sungai.
Ternyata, bukan hanya sampah yang dibuang sembarang ke kali, kotoran manusia setali tiga uang.
Sudah Biasa Bau Busuk
Rumah-rumah sederhana di kawasan padat ini kebanyakan terdiri dua lantai, menempel rapat satu dengan lainnya. Bila terpisah itu pun hanya untuk jalan kecil di sepanjang bantaran kali. Sebagian bahkan membangun dapur persis di tepi sungai.
Jalannya sempit, hanya cukup dilalui satu motor. Sementara jalan yang berlokasi di bantaran sesekali terputus saat disusuri karena langsung berujung pada teras atau pintu rumah warga.
Di beberapa titik, bale-bale kayu berdiri seadanya, menjadi tempat ibu-ibu berkumpul atau warga sekadar berbaring melepas penat.
ADVERTISEMENT
Saking padatnya hunian, sinar matahari gagal menembus beberapa sudut gang. Suasana menjadi gelap dan lembap, ditambah jemuran warga yang bergelantung. Namun ada juga warga yang menjemur pakaian di pinggir kali yang masih tersentuh cahaya.
Di sepanjang kawasan itu, tak ada tempat sampah. Limbah dapur dan air kotor dibuang langsung ke kali. kumparan sempat melihat ada warga yang menuangkan ember berisi sampah ke kali.
Meski perkampungan itu berdampingan dengan limbah, fasilitas dasar dan administrasi tetap hadir. Misalnya listrik PLN tetap mengaliri rumah-rumah tersebut. Di tembok-tembok depan rumah terpasang palang berlogo DKI Jakarta yang bertuliskan nomor RT/RW masing-masing.
Fasilitas publik yang mencolok adalah sebuah musala kecil di pinggir kali dan kamera CCTV di kawasan RT 14. Sisanya, keseharian warga berputar dalam ruang sempit yang ditemani sampah-sampah di sungai dan bau menyengat.
Terbiasa oleh Waktu
Elis, 34 tahun, pendatang asal Tasikmalaya, mengenang saat pertama kali menginjakkan kaki di sana belasan tahun silam.
ADVERTISEMENT
“Awal-awal mah, makan aja nggak berani [makan dan minum]. Baunya itu bikin mual,” tuturnya sambil memotong cabe dan daun bawang di dapur kecil rumahnya yang menghadap langsung ke kali. Kini, ia sudah terbiasa.
Cerita serupa disampaikan Awik, warga yang lahir di kawasan itu dari orang tua asal Tasikmalaya. Ia menuturkan, dulu masyarakat masih menggunakan air tanah untuk kebutuhan sehari-hari.
“Tapi sekarang, banyak yang beralih ke PAM. Kalau pakai air tanah harus dalam, 10-15 meteran biar nggak bau,” katanya, menirukan imbauan dari Ketua RT 14.
Ketua RT 06, Alawiyah, mengatakan sebagian besar rumah di kawasan itu adalah milik sendiri, bukan kontrakan.
“Warga di sini kebanyakan kerja di Pasar Tanah Abang atau Thamrin City. 70 persen rumah milik sendiri, sisanya ngontrak,” ucapnya.
ADVERTISEMENT
Di tengah kenyataan hidup berdampingan dengan sanitasi yang kurang menguntungkan, warga Kebon Kacang tetap menjalani hari-hari mereka.
Ada anak-anak yang berlarian di gang sempit, ibu-ibu yang menjemur pakaian hingga masak di bantaran sungai sampai lelaki tua yang rebahan di bale-bale — hanya selemparan batu dari gedung pencakar langit Ibu Kota.