Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
ADVERTISEMENT
Dugaan diskriminasi dan pelanggaran HAM terhadap muslim Uighur di Xinjiang, China, terus menjadi sorotan dunia. Namun, pemerintah Indonesia mengaku tak akan ikut campur tangan dalam masalah ini.
ADVERTISEMENT
Kepala Staf Kepresidenan, Moeldoko, menegaskan, menghargai batas kewenangan sebuah negara untuk mengatur internalnya merupakan prinsip standar dalam hubungan diplomatik.
"Jadi pemerintah Indonesia tidak ikut campur dalam urusan negara China mengatur dalam negerinya. Sudah itu prinsip-prinsip yang standar dalam hubungan internasional," ujar Moeldoko di Kantor Staf Kepresidenan, Senin (23/12).
Moeldoko menilai persoalan Uighur sudah menjadi kewenangan China. Sebab, kata dia, semua negara memiliki kedaulatannya masing-masing untuk mengatur negaranya.
"Saya pikir sudah dalam standar internasional bahwa kita enggak memasuki urusan dalam negeri masing-masing negara. Masing-masing negara punya kedaulatan untuk mengatur negaranya, gitu," ungkapnya.
Sebelumnya, Moeldoko telah bertemu dengan Duta Besar China untuk Indonesia, Xiao Qian. Dalam pertemuan yang digelar pada 17 Desember 2019 itu, Xiao Qian menjelaskan warga Muslim Uighur di Xinjiang dalam kondisi aman. Bahkan dia mempersilakan masyarakat Indonesia untuk berkunjung dan melihat langsung keadaan warga Muslim di China.
ADVERTISEMENT
"Silakan jika ingin berkunjung, beribadah, dan bertemu dengan masyarakat Muslim Uighur," kata Xiao Qian di Kantor KSP, Jakarta Pusat, Selasa (17/12), dikutip dari keterangan tertulis Kantor Staf Kepresidenan.
Menkopolhukam Mahfud MD sebelumnya juga menyebut Indonesia menempuh jalur diplomasi lunak untuk menghadapi persoalan Uighur. Dalam menyelesaikan permasalahan Uighur, Indonesia menempatkan diri sebagai penengah.
Sebagai catatan, saat ini, muslim Uighur dilaporkan mengalami persekusi di dalam kamp vokasi buatan China. Laporan PBB dan media utama arus dunia menyebut muslim Uighur diduga dipaksa meninggalkan keislamannya dan dipersekusi di dalam kamp. Namun China membantahnya, dan menegaskan kamp itu dibangun untuk menangkal warganya yang terpapar radikalisme, terorisme, dan separatisme.