Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
ITAGI Sorot Vaksinasi Lansia hingga Heran Warga Pilih-pilih Vaksin
24 Juli 2021 8:56 WIB
·
waktu baca 5 menitADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Salah satu yang terlihat adalah tingkat kematian akibat COVID-19 pada lansia masih tinggi. Hal ini salah satunya terjadi karena belum banyak lansia yang menerima suntikan vaksin corona.
"Kalau kita lihat kematian juga banyak yang sepuh-sepuh, lansia, karena itu masih rendah ini. Saya yakin sekali ini karena lansia ini kan tidak bisa datang sendiri, sehingga harus diantar oleh anaknya harus diantar oleh cucunya," jelas Sri kepada kumparan, Jumat (23/7).
Menurut Sri, masih sulitnya akses vaksinasi lansia ini membuat penyuntikan belum maksimal. Ia pun mengingatkan masyarakat yang memiliki anggota keluarga lansia dan belum divaksin untuk segera dibawa ke faskes terdekat.
"Nah ini harus dibantu gitu [vaksinasinya], dan itu yang kurang perhatian. Justru kematian kebanyakan dari orang tua di atas 60 [tahun] itu banyak sekali," imbuhnya.
ADVERTISEMENT
Ia kemudian mencontohkan bisa dalam satu RT di satu wilayah mengumpulkan lansia-lansia yang belum divaksinasi. Kemudian, mereka sama-sama dibawa ke sentra vaksinasi terdekat.
Dengan cara gotong royong ini, Sri yakin para lansia bisa lebih terlindungi dari paparan COVID-19.
"Anak-anak itu yang membawa bapaknya, ibunya, neneknya, kakeknya, tantenya, itu diantar. Atau yang bagus satu RT kumpul terus dibawa satu mobil bersama-sama. Itu bagus sekali. Tetap penyuntikan ada di puskesmas atau di sentra vaksinasi. Jadi lansianya yang diangkut ke sana. Itu yang harus swadaya masyarakat," tutupnya.
ITAGI: COVID-19 Kelihatannya Jadi Endemi Seperti Flu, tapi Kematian Harus Turun
COVID-19 telah menjadi pandemi hampir 1,5 tahun terakhir ini. Banyak negara termasuk Indonesia yang masih harus berjuang mengendalikan penularan penyakit yang disebabkan oleh virus SARS-CoV-2 ini.
ADVERTISEMENT
Namun, para ahli melihat bahwa ada kemungkinan COVID-19 akan menjadi sebuah endemi. Endemi sendiri artinya merupakan penyakit yang terjangkit di suatu daerah atau pada suatu golongan masyarakat. Contoh endemi yang masih cukup sering ditemukan di Indonesia yakni seperti malaria dan cacar.
"Memang kelihatannya ke arah sana (jadi endemi). Jadi ya nanti kayak flu gitu. Flu itu kan ada terus dan itu imunisasinya harus ada tiap tahun," jelas Ketua Indonesia Technical Advistory Group on Immunization (ITAGI), Prof Sri Rezeki Hadinegoro, pada kumparan, Kamis (23/7).
Kemungkinan itu sepertinya bisa saja terjadi. Namun menurut Prof Sri, saat ini yang harus difokuskan adalah membuat virus ini tidak mematikan dengan memiliki imunitas yang diperoleh melalui vaksinasi.
ADVERTISEMENT
"Tapi yang penting itu tidak ganas, tidak mematikan, itu yang penting. Tidak menularnya hebat karena kita sudah punya imun. Ini yang kita usahakan," tambahnya.
Untuk itu, selama suatu penyakit masih menimbulkan angka kematian yang cukup tinggi, maka itu yang harus segera ditangani dengan serius. Saat ini di Indonesia bahkan kematian akibat COVID-19 mencapai di atas 1000 setiap harinya dan merupakan yang tertinggi di dunia.
"Karena yang harus diturunkan itu kematian dulu, itu yang tinggi. Penyakit kalau masih menimbulkan kematian berarti masih hebat, harus ditanggulangi dengan baik," pungkasnya.
ITAGI Heran Ada Warga yang Pilih-Pilih Vaksin Corona di Masa Pandemi
Sejumlah merek vaksin corona dengan berbagai tingkat efikasi saat ini telah tersedia di Indonesia. Walaupun begitu, vaksin pada intinya memiliki tujuan yang sama, yakni memberikan perlindungan terhadap COVID-19.
ADVERTISEMENT
Dalam program vaksinasi, cukup sering ditemukan adanya pihak yang menolak vaksin tertentu dengan alasan efikasi yang dinilai rendah.
Ketua Indonesia Technical Advistory Group on Immunization (ITAGI), Prof Sri Rezeki Hadinegoro, menegaskan seluruh vaksin yang tersedia sudah mendapatkan izin yang sama dari WHO. Sehingga tak perlu terlalu memikirkan efikasinya. Makanya ia heran kalau ada yang pilih-pilih, padahal pandemi masih berlangsung.
"Semuanya, kan, sudah diuji apalagi sudah ada sertifikat dari WHO itu, kan, semua. Sinovac juga, termasuk Astrazeneca juga. Astrazeneca sama Sinovac juga, kan, enggak begitu jauh bedanya. Jadi sebetulnya kira-kira kita enggak usah mikirin efikasi berapa," katanya kepada kumparan, Jumat (23/7).
Ia menjelaskan vaksinasi sudah sering dijumpai masyarakat sejak mereka masih kecil. Namun, selama ini tak pernah ada yang mengomentari atau menanyakan berapa nilai efikasi dari vaksin yang diberikan. Sehingga ia yakin vaksin yang dipilih pemerintah pasti yang terbaik.
ADVERTISEMENT
"Kalau dulu anak-anak disuntik, apa pernah ada yang nanya berapa efikasi suntikannya? Enggak pernah, kan. Itu yang dipilih oleh pemerintah, dipilih oleh dokternya, itu yang terbaik untuk anak-anak kita," ungkapnya.
Untuk itu, dalam kondisi pandemi seperti ini masyarakat tak perlu repot memikirkan mencari vaksinasi dengan efikasi yang tertinggi. Sebab vaksin yang terbaik adalah vaksin yang tersedia dan bisa segera didapatkan.
"Pokoknya yang terbaik itu adalah vaksin yang tersedia untuk Anda. Itu sudah karena kita tidak mungkin memberikan vaksin yang jelek," pungkas Prof Sri.
Pfizer Harus Disimpan di Kulkas Khusus, Pilih Daerah yang Paling Butuh
Ketua Indonesia Technical Advisory Group on Immunization (ITAGI), Prof Sri Rezeki Hadinegoro, mengungkapkan pemerintah memiliki tantangan untuk menyimpan vaksin corona Pfizer yang sudah ada di Indonesia. Sebab, vaksin Pfizer membutuhkan penyimpanan rantai dingin (cold chain) dengan suhu di bawah -70 derajat celsius.
ADVERTISEMENT
"Pfizer itu tidak mudah penyimpanannya ya, harus di bawah -70 [derajat celsius]. Nah, ini yang lebih sulit lagi untuk pemerintah," kata Sri kepada kumparan, Jumat (23/7).
Sri menyebut ketersediaan alat penyimpanan dengan suhu sangat rendah ini masih minim dan terbatas. Terlebih, cold chain membutuhkan daya listrik yang tinggi. Kebutuhan penyimpanan inilah yang dinilai Sri tidak semua daerah memilikinya.
"Ada cuma kan enggak banyak. Itu kan listriknya aja harus tinggi, [disimpan di suhu] -70 [derajat celsius]. Itu kemudian juga mahal, enggak mungkin di daerah punya [tempat penyimpanan] -70 [derajat celsius]," jelas Prof Sri.
Ia pun mengkhawatirkan pendistribusian vaksin Pfizer tidak bisa merata karena tidak semuanya memiliki tempat penyimpanan sesuai standar. Maka dari itu, diperkirakan hanya daerah-daerah tertentu saja yang akan didistribusikan vaksin tersebut.
ADVERTISEMENT
"Jadi tidak merata, mesti dipilihlah [daerah] mana yang paling membutuhkan," tutupnya.