Jadi Saksi di MK, Ketua MUI Tegaskan Nikah Beda Agama Haram

26 September 2022 16:12 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
4
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi Pernikahan. Foto: Edwin Hadi Prasetyo/Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Pernikahan. Foto: Edwin Hadi Prasetyo/Shutterstock
ADVERTISEMENT
Ketua Bidang Dakwah dan Ukhuwah Majelis Ulama Indonesia (MUI) KH Cholil Nafis menjadi saksi ahli di sidang Mahkamah Konstitusi (MK). Sidang Judicial Review itu membahas soal pernikahan beda agama.
ADVERTISEMENT
Cholil mengatakan di Indonesia banyak pernikahan beda agama dilakukan secara diam-diam atau terang-terangan, bahkan dicatatkan dalam dalam data kependudukan sebagai pasangan yang terdaftar. Namun heboh soal nikah beda agama ini mencuat setelah ada putusan Pengadilan Negeri Surabaya.
Putusan untuk mengizinkan pencatatan nikah beda agama ini ditetapkan dalam Penetapan Nomor 916/Pdt.P/2022/PN.Sby. Alasannya karena adanya kekosongan hukum, demi Hak Asasi Manusia (HAM) dan menghindari kumpul kebo. Padahal, menurut Cholil, saat yang bersamaan hal tersebut telah melanggar hukum yang berlaku, tidak memenuhi HAM dan melegalkan kumpul kebo.
Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia di bagian Bab hak untuk berkeluarga dan melanjutkan keturunan pasal 10 dikatakan, “Perkawinan yang sah hanya dapat berlangsung atas kehendak bebas calon suami dan istri yang bersangkutan, sesuai dengan ketentuan perundang- undangan”. Sementara ketentuan undang-undang perkawinan menyebutkan bahwa sahnya perkawinan apabila sesuai dengan hukum masing-masing agama dan kepercayaan.
ADVERTISEMENT
"Ini jelas tidak sesuai ajaran agama Islam yang melarang pernikahan beda agama," kata Cholil dalam keterangan tertulis yang diterima kumparan, Senin (26/9).
Di Indonesia, secara yuridis formal, perkawinan diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam. Kedua produk perundang-undangan ini mengatur masalah-masalah yang berkaitan dengan perkawinan termasuk perkawinan beda agama.
Dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan pasal 2 ayat (1) disebutkan: "Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu". Dalam rumusan ini diketahui bahwa tidak ada perkawinan di luar hukum masing-masing agama dan kepercayaan. Ketentuan pasal ini menunjukkan bahwa perkawinan dinyatakan sah manakala ditetapkan berdasarkan hukum agama yang dipeluknya.
ADVERTISEMENT
"Bagi yang beragama Islam maka acuan sah dan tidaknya suatu perkawinan adalah berdasarkan ajaran agama Islam," katanya.
Hal senada diterangkan beberapa pasal dalam Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI). Pasal 4 menjelaskan bahwa, "Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum Islam sesuai dengan pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan". Lebih tegas lagi larangan menikah beda agama terdapat pada Pasal 44 yang berbunyi"Seorang wanita Islam dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang pria yang tidak beragama Islam".
Selain dalam aturan perundang-undangan, organisasi Islam seperti Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah juga telah menetapkan aturan terkait nikah beda agama.
NU dalam fatwa yang ditetapkan pada Muktamar ke-28 di Yogyakarta akhir November 1989 menegaskan bahwa nikah antara dua orang yang berlainan agama di Indonesia hukumnya tidak sah.
ADVERTISEMENT
Sedangkan Muhammadiyah dalam keputusan Tarjih ke-22 tahun 1989 telah mentarjihkan/menguatkan pendapat yang mengatakan tidak boleh menikahi wanita non-muslimah atau ahlul kitab, dengan beberapa alasan, Ahlul Kitab yang ada sekarang tidak sama dengan Ahlul Kitab yang pada zaman Nabi SAW.
Begitupun dengan MUI dalam Keputusan MUI no. 4/MUNAS VII/MUI/8/2005 menyatakan tentang hukum larangan pernikahan beda agama sebagai berikut: Perkawinan beda agama adalah haram dan tidak sah. Perkawinan laki-laki muslim dengan wanita ahlu kitab, menurut qaul mu’tamad adalah haram dan tidak sah.
"Ulama sepakat pernikahan beda agama antara pasangan laki-laki muslim maupun perempuan muslimah dengan orang musyrik atau musyrikah hukumnya tidak sah dan haram. Begitu juga pernikahan perempuan muslimah dengan musyrik, kafir atau kitabi hukumnya tidak sah dan haram," kata Cholil.
ADVERTISEMENT
"Saya tegaskan para ulama di organisasi Islam Indonesia sepakat bahwa pernikahan beda agama tidak sah dan haram," imbuh Dosen Hukum Islam PSKTTI Universitas Indonesia dan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta itu.