Jair Bolsonaro, Presiden Paling Berandal dalam Perang Melawan Corona

26 Juni 2020 17:22 WIB
clock
Diperbarui 8 Juli 2020 18:49 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Presiden Brasil Jair Bolsonaro. Foto: Sergio Lima/AFP
zoom-in-whitePerbesar
Presiden Brasil Jair Bolsonaro. Foto: Sergio Lima/AFP
Kalau anda punya presiden seperti Jair Bolsonaro, anda harus siap-siap mati.
Bolsonaro tak takut dengan corona. Ia mungkin juga tak peduli pada pandemi—meski angka infeksi COVID-19 di negaranya mencatatkan kenaikan teramat tinggi: puluhan ribu dalam 24 jam, dengan seribu orang lebih mati dalam sehari.
“So what?” kata Bolsonaro kepada para wartawan yang suatu hari menanyainya tentang jumlah kematian kasus corona di Brasil yang terus meningkat. “Anda ingin saya melakukan apa?”
Tanpa tedeng aling-aling, seperti dilansir The Guardian, politisi sayap kanan itu berkata, “Nama (tengah) saya Messias, tapi saya tak bisa mendatangkan mukjizat.”
Messias atau messiah, dalam Kristen dan Yahudi, ialah sang pembebas atau penyelamat.
Namun Jair Messias Bolsonaro lebih seperti pembawa petaka bagi rakyat Brasil.
Presiden Brasil Jair Messias Bolsonaro. Foto: REUTERS/Adriano Machado
Bolsonaro memang punya rekam jejak kontroversial sejak menjabat sebagai Presiden Brasil pada 1 Januari 2019. Tapi, gerak-geriknya semakin ganjil ketika corona melanda.
Pada 9 Mei 2020, ketika jumlah kematian akibat corona di Brasil pertama kali menyentuh angka 10.000 dan negeri itu muncul sebagai episentrum coronavirus baru di dunia, Bolsonaro terlihat sedang bermain jet ski di Danau Paranoá. Ia lalu terdengar berkelakar mengenai orang-orang Brasil yang mengkhawatirkan virus corona.
“Tak ada yang bisa dilakukan (soal corona),” ujarnya saat itu sambil mengangkat bahu, seperti dilaporkan Time.
Sejak corona menghantam Brasil, para pendukung Jair Bolsonaro kerap menghabiskan akhir pekan untuk berkonvoi di Brasília dan São Paulo. Mereka menuntut pembukaan sektor ekonomi yang dikunci sebagian (partial lockdown), menuntut pembubaran Mahkamah Agung dan Kongres, serta menuntut kembalinya kediktatoran militer era 1964–1985.
Beberapa dari massa demonstran itu bersenjata, dan Bolsonaro kerap bergabung dengan mereka—berpelukan dan berjabat tangan erat yang bertentangan dengan protokol kesehatan di masa pandemi. Tidak ada seorang pun dari mereka yang mengenakan masker di wajah, termasuk Bolsonaro.
Tak heran jurnal medis terkemuka, The Lancet, menyebut Bolsonaro sebagai ancaman terbesar bagi Brasil dalam memerangi pandemi virus corona.
Begini kata Bolsonaro:
Soal obat corona, Bolsonaro mendorong penggunaan klorokuin—obat malaria dan autoimun—secara bebas. Padahal, WHO justru meminta pemakaian klorokuin untuk penderita corona dihentikan karena efek sampingnya bagi jantung.
God is Brazilian! Obat corona ada di sini! Klorokuin ampuh di mana-mana,” ujar Bolsonaro di hadapan kerumunan pendukungnya akhir Maret lalu.
Presiden yang pensiunan tentara itu kemudian memerintahkan angkatan bersenjata untuk memproduksi klorokuin secara massal di laboratorium farmasi militer. Ia juga memesan bahan pembuat klorokuin dalam jumlah besar dari India.
Bolsonaro mendorong rakyatnya untuk mengonsumsi klorokuin tanpa pemantauan medis dan kembali bekerja. Seruan sembrono ini bertentangan dengan pendapat para dokter dan Menteri Kesehatan. Dua Menteri Kesehatan yang berlatar belakang dokter dan berseberangan pandangan dengan Bolsonaro—Luiz Mandetta dan Nelson Teich—dipecat.
“Presiden ingin orang-orang bisa membawa pulang obat itu (klorokuin) tanpa tindak lanjut medis. Saya tidak membolehkannya. Penerus saya juga tidak membolehkannya. Namun militer yang sekarang duduk di kursi Menteri Kesehatan membolehkannya,” kata Mandetta dalam wawancara dengan France 24.
Menteri Kesehatan Brasil yang sekarang dipegang oleh Eduardo Pazuello. Ia salah satu jenderal di angkatan bersenjata negeri itu—dan menteri kesepuluh dalam kabinet Bolsonaro yang berasal dari militer.
Mandetta dicopot dari jabatannya pada 16 April 2020 karena berbeda pendapat dengan Bolsonaro—bukan hanya soal penggunaan klorokuin, tapi juga terkait kebijakan menjaga jarak (social distancing) yang dianggap sang presiden bakal berimbas buruk ke sektor ekonomi.
Penggantinya, ahli onkologi Nelson Teich, menjabat sebagai Menteri Kesehatan tak sampai sebulan. Ia juga tak sejalan dengan Bolsonaro dan mengkritik penggunaan anggaran negara besar-besaran untuk klorokuin.
“Keputusan dibuat bukan berdasarkan bukti dan data empiris, tetapi lelucon. Bolsonaro menginvestasikan sejumlah besar uang untuk tindakan yang belum terbukti efektif. Ia mengorbankan perlunya peningkatan tes corona dan pelacakan kontak,” kata Denise Garett, ahli epidemiologi Brasil-Amerika yang bekerja di Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit AS, seperti dikutip dari The New York Times.
Para ahli kesehatan menuding Bolsonaro membawa Brasil ke jalur berbahaya. Ia mengabaikan bahaya penularan virus corona, menyabotase kebijakan karantina wilayah oleh para gubernur, mendukung demonstrasi massa, menolak penggunaan masker, bahkan menghentikan pengungkapan statistik virus corona di negaranya. Data-data itu baru kembali dibuka ke publik setelah Mahmakah Agung memerintahkan Kementerian Kesehatan untuk melakukannya.
Luiz Mandetta, Menteri Kesehatan Brasil yang dipecat Bolsonaro. Foto: REUTERS/Adriano Machado
“Ini bukan lagi Kementerian Kesehatan, tapi Kementerian Kesehatan yang diduduki militer,” sindir Mandetta tentang kebijakan Bolsonaro menempatkan jenderal yang tunduk padanya di kursi menteri.
“Demokrasi Brasil dalam ancaman serius,” kata Oscar Vilhena Vieira, dekan sekolah hukum di Fundação Getúlio Vargas, kepada The Economist.
Bolsonaro dianggap mendorong munculnya kelompok-kelompok kekerasan yang berkonvoi di sana sini menentang kebijakan lockdown para gubernur. Ia juga semakin bergantung pada kader-kader tua di militer.
Pandemi corona semakin menunjukkan ketidakmampuan Bolsonaro dalam memerintah. Ia menolak karantina wilayah dan protokol jaga jarak, menyebabkan lonjakan angka kematian di Brasil. Imbasnya, Bolsonaro mulai kehilangan dukungan. Popularitasnya turun meski kini ia masih didukung sekitar 30 persen pemilih.
Masalah Bolsonaro kian berat karena Mahkamah Agung tengah menggelar penyelidikan terhadapnya usai ia memecat kepala polisi federal—sebuah langkah yang membuat Menteri Kehakiman Sergio Moro mundur dari kabinet dan menuding sang presiden berupaya menghalangi penyelidikan terhadap putranya, Carlos Bolsonaro, yang diduga melakukan intimidasi.
“Karakter Bolsonaro sangat tidak cocok untuk mengatasi pandemi. Dia tak bisa mempersatukan bangsa,” ujar pakar politik Brasil, Gustavo Ribeiro.
Kini, ulah berandalan Bolsonaro membuat seruan pemakzulan terhadapnya kian bergema.
***
Simak panduan lengkap corona di Pusat Informasi Corona.
Tonton video menarik di bawah ini.