Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.1
ADVERTISEMENT
Jumlah pisang yang dikonsumsi warga Belanda bisa mencapai 720 juta buah per tahunnya. Akan tetapi, sebelum beredar di pasaran, Belanda menerapkan serangkaian proses yang ketat terhadap penjualan pisang.
ADVERTISEMENT
Setidaknya ada tiga macam sertifikasi kelestarian yang harus dilalui sebelum pisang sampai di tangan konsumen. Mulai dari sertifikasi fairtrade, rainforest alliance, dan organik. Separuh sisanya diperkirakan masuk Belanda tanpa sertifikasi dengan harga jual lebih murah.
“Di Belanda kita mengonsumsi jenis pisang yang sama yakni varietas pisang yang mudah diangkut dari Amerika Latin dan Afrika ke supermarket-supermarket,” kata Tara Scally dari Yayasan Max Havelaar di nu.nl dikutip kumparan Den Haag, Sabtu malam atau Minggu (31/5) WIB.
Yayasan Max Havelaar adalah pihak yang berwenang menentukan produk atau komoditas mana saja yang layak memperoleh dan menyandang logo sertifikasi fairtrade. Logo sertifikasi itu persis dengan gambar keseimbangan Yin dan Yang.
“Jenis pisangnya sama, tapi ada perbedaan signifikan pada kondisi bagaimana pisang tersebut dibudidayakan, terutama dalam hal lingkungan dan hak-hak asasi manusia,” ucap Scally.
ADVERTISEMENT
Pisang dengan sertifikasi fairtrade mengharuskan pembeli membayar harga minimum. Pembeli juga harus membayar uang premi tambahan kepada koperasi. Sementara para pekerja nantinya akan memutuskan secara demokratis uang permi itu akan digunakan untuk apa.
Sementara pisang dengan sertifikasi rainforest alliance, atau dengan logo bergambar kodok, mengharuskan para pekerja dibayar dengan mematuhi kebijakan upah minimum dan syarat sekunder ketenagakerjaan. Sertifikasi ini tidak menentukan harga jual.
Sedangkan pisang dengan sertifikasi biologisch atau organik, pada prinsipnya mensyaratkan komoditas yang diproduksi harus menganut konsep perdagangan yang adil. Namun tidak ada garansi dalam hal ini.
Scally menjelaskan, perbedaan antara pisang tanpa sertifikasi dan pisang dengan sertifikasi fairtrade terletak pada harga jual yang nanti dibayar dan tambahan komponen uang premi yang disalurkan kepada para pekerja.
ADVERTISEMENT
Selain gaji, para pekerja juga mendapat premi $ 1 per dus pisang dan mereka secara bersama-sama bisa menentukan untuk apa uang premi tersebut.
“Sering kali uang premi digunakan untuk kebutuhan sekolah anak-anak. Di Columbia misalnya, sekolah gratis. Tapi mereka memerlukan buku dan seragam. Tanpa seragam anak-anak tidak bisa sekolah,” papar Scally.
Sementara itu Fedes van Rijn, peneliti bidang kelestarian pada Wageningen Economic Research, mengatakan perbedaan antara pisang bersertifikasi dan tidak akan terlihat pada harga jual di tingkat konsumen.
“Pisang dengan sertifikasi logo rainforest atau fairtrade secara umum harganya lebih mahal, walaupun kadang kala pisang bersertifikat juga dijual dengan harga sale,” ucap dia.
Meski begitu, van Rijn mengatakan harga tidak bisa menjadi indikasi yang memadai seberapa adil dan lestari pisang tersebut. Sebab, supermarket sengaja mempertahankan harga artifisial rendah seperti di Inggris yang menjual pisang di bawah harga biaya.
ADVERTISEMENT
Menurutnya, yang dapat dijadikan indikasi adalah sertifikasi. Dalam penelitiannya, van Rijn menyelidiki hubungan para petani dan pekerja dalam rantai perdagangan bersertifikasi nasibnya lebih sejahtera daripada petani dan pekerja yang tidak ikut dalam sistem tersebut.
"Tidak hanya semata-mata mereka berpenghasilan lebih banyak, namun juga mereka memiliki akses lebih luas ke layanan kesehatan, air bersih, dan lain sebagainya. Selain itu mereka juga lebih sadar akan hak-haknya,” imbuh Van Rijn.
"Apakah dengan itu dapat diasumsikan bahwa pisang dengan harga termurah merupakan pilihan terburuk? “Hal itu tidak bisa dikatakan dengan pasti. Sebaliknya sebagai konsumen anda dapat berkeyakinan bahwa pisang bersertifikasi merupakan pilihan yang lebih lestari,” jelas Van Rijn.
Namun, disebut pisang yang benar-benar berkelestarian pun tidak. Selama supermarket masih tetap mempertahankan harga artifisial rendah, maka selama itu pula tidak bisa dikatakan pisang berkelestarian.
ADVERTISEMENT
"Pisang yang benar-benar berkelestarian itu tidak ada, setidaknya tidak sebagaimana rantai jaringannya dikelola seperti saat ini,” demikian Van Rijn.
Laporan dari kontributor kumparan di Den Haag Eddi Santosa
***
(Simak panduan lengkap corona di Pusat Informasi Corona )
Yuk! bantu donasi atasi dampak corona!