Jalan Panjang Pelemahan KPK: Revisi UU, Pimpinan Bermasalah, hingga TWK

30 September 2021 13:56 WIB
ยท
waktu baca 6 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Warga memotret tulisan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang tertutup kain hitam di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Senin (9/9/2019). Foto: ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra
zoom-in-whitePerbesar
Warga memotret tulisan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang tertutup kain hitam di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Senin (9/9/2019). Foto: ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Pernyataan itu disampaikan Hakim Wahiduddin Adams dalam sidang gugatan terkait revisi UU KPK pada Mei 2021. Ia menilai bahwa revisi itu mengubah KPK dalam berbagai aspek.
ADVERTISEMENT
Sebab, revisi yang terjadi pun dipandang bukan sekadar perubahan semata. Melainkan seperti membuat UU baru bagi KPK. Proses revisi pun dinilai dilakukan dengan tergesa-gesa.
Hakim Wahiduddin menilai bahwa MK seharusnya membatalkan UU KPK hasil revisi. Namun, ia hanya satu-satunya hakim MK yang berpendapat itu. Delapan hakim lainnya tetap menolak revisi UU KPK dibatalkan karena dinilai konstitusional.

Revisi UU KPK

Aksi pegawai KPK menolak revisi UU KPK dan capim bermasalah di Gedung KPK, Jakarta, Jumat (6/9). Foto: Helmi Afandi/kumparan
Dalam beberapa tahun terakhir, KPK selalu dilanda polemik. Revisi UU yang menjadi awalnya. Berdiri sejak 2003, UU KPK pertama kali berhasil diubah pada 2019, era Presiden Jokowi.
Meski ada sejumlah penolakan, Jokowi dan DPR bergeming. Revisi tetap dilakukan. Meski belakangan Jokowi tidak meneken UU tersebut tanpa diketahui alasannya, perubahan tetap terjadi. UU Nomor 30 Tahun 2002 diubah oleh UU Nomor 19 Tahun 2019 yang mulai berlaku pada Oktober 2019.
ADVERTISEMENT
Perubahan pun menyasar beberapa hal mendasar di KPK. Seperti adanya organ baru bernama Dewan Pengawas yang salah satu tugasnya menggantikan posisi penasihat sekaligus Pengawas Internal.
Hal krusial lainnya ialah bahwa pegawai KPK yang selama ini independen harus beralih menjadi ASN. Aturan ini yang belakangan membuat ada 57 pegawai dipecat.
Polemik soal revisi UU KPK tersebut kemudian berdampak pada skor Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia.
IPK Indonesia 2020 berada di peringkat 102 dari 180 negara dengan skor 37. Nilai tersebut turun dibanding 2019 yang berada di peringkat 85 dengan skor 40.
IPK 2020 dinilai merupakan yang terburuk sejak era reformasi. Skor IPK 1999 yang turun 3 poin sama seperti IPK 2020. Kondisi Indonesia pada 1999 tengah bergejolak dihantam krisis politik dan ekonomi.
ADVERTISEMENT
Menko Polhukam, Mahfud MD, pun mengakui revisi UU KPK berdampak pada persepsi masyarakat buruk di sektor pemberantasan korupsi.
Meski demikian, Mahfud menilai revisi UU KPK ini bisa diperdebatkan apakah melemahkan dan memperkuat. Tergantung sudut pandang yang digunakan dalam melihatnya. Menurut dia, hal itu tergantung pada persepsi.
"Meskipun faktanya bisa iya bisa tidak menurunkan atau melemahkan gitu, tinggal tergantung sudut apa yang mau dilihat," kata Mahfud.

Seleksi Pimpinan KPK yang Kontroversi

Pimpinan KPK saat acara serah terima jabatan dan pisah sambut Pimpinan dan Dewan Pengawas KPK di Istana Negara, Jakarta, Jumat (20/12). Foto: Irfan Adi Saputra/kumparan
Bersamaan dengan polemik revisi UU KPK pada akhir 2019, seleksi Pimpinan KPK periode 2019-2023 pun berlangsung. Proses ini pun tak terlepas dari kontroversi.
Firli Bahuri merupakan calon yang paling disorot pada waktu itu. Ia merupakan mantan Deputi Penindakan KPK.
Sorotan terjadi lantaran Firli Bahuri melanggar etik ketika menjabat deputi pada 2018. Namun, belum sempat ada vonis dijatuhkan, Polri keburu menarik Firli Bahuri yang kemudian menjadi Kapolda Sumatera Selatan.
ADVERTISEMENT
Pelanggaran etiknya itu terkait 4 pertemuan dengan pihak yang berkaitan dengan perkara ataupun pihak yang memiliki risiko independensi serta tidak melaporkan seluruh pertemuan tersebut kepada pimpinan KPK. Dua pertemuan di antaranya terjadi dengan Tuan Guru Bajang (TGB) selaku Gubernur NTB pada 2018.
Terkait dugaan pelanggaran etik ini, Firli sudah pernah membantahnya pada saat wawancara terbuka capim KPK. Firli sempat dikonfirmasi hal tersebut oleh Pansel. Dalam jawabannya, Firli mengakui soal adanya pertemuan dengan TGB. Namun ia menyatakan tak pernah menghubungi TGB.
Meski menuai protes sejumlah pihak, ia tetap melenggang mulus terpilih menjadi salah satu komisioner. Bahkan, Komisi III DPR yang dipimpin Azis Syamsuddin ketika itu secara aklamasi memilih Firli Bahuri menjadi Ketua KPK.
Wakil Ketua DPR dari Fraksi Partai Golkar Azis Syamsuddin memakai baju tahanan usai pemeriksaan di Gedung KPK Merah Putih, Jakarta, Sabtu (25/9/2021) dini hari. Foto: Aditia Noviansyah/kumparan
Berikut hasil pemilihan di Komisi III DPR saat itu: Nawawi Pomolango (50 suara), Lili Pintauli Siregar (44 suara), Nurul Ghufron (51 suara) Alexander Marwata (53 suara), dan Firli Bahuri (56 suara). Mereka kemudian dilantik pada Desember 2019.
ADVERTISEMENT
Selang enam bulan usai dilantik, Firli Bahuri langsung melanggar etik terkait penggunaan helikopter ke Baturaja, Sumatera Selatan, pada 20 Juni. Ia dinilai melanggar poin integritas dan kepemimpinan dalam kode etik KPK. Meski dinyatakan melanggar etik, Firli hanya dijatuhi sanksi ringan berupa teguran tertulis II.
Lili Pintauli kemudian menyusul jejak Firli Bahuri dengan melanggar etik. Pelanggarannya lebih berat: berkomunikasi dengan tersangka korupsi dan menyalahgunakan posisinya untuk kepentingan pribadi.
Ia dihukum pemotongan gaji pokok 40% selama setahun. Meski mengakui perbuatan, Lili Pintauli tidak merasa menyesal.

TWK Berujung Pemecatan

Kaus hitam bertuliskan 'Berani Jujur Pecat' dipakai oleh perwakilan 75 pegawai KPK yang tidak lolos TWK usai audiensi dengan Komisioner Komnas HAM di Jakarta. Foto: M Risyal Hidayat/Antara Foto
Polemik tidak berakhir sampai di situ. Perubahan status pegawai KPK menjadi ASN berbuntut panjang. Hal ini tak terlepas dari adanya Tes Wawasan Kebangsaan.
Kontroversi tak terlepas dari materi TWK yang dipandang penuh kejanggalan. Termasuk soal materi pertanyaannya yang dinilai merupakan ranah pribadi.
ADVERTISEMENT
Misalnya apakah salat subuh memakai doa qunut, bila pacaran ngapain saja, kenapa belum menikah, hingga "Islamnya, Islam apa".
Selain itu, para pegawai KPK yang menjalani tes pun diminta untuk memberikan pernyataan sikap atas sejumlah isu. Mulai dari isu terorisme, HTI, FPI, hingga Habib Rizieq.
Ombudsman menilai ada malaadministrasi dalam pelaksanaan TWK. Temuan Komnas HAM bahkan lebih mendetail.
Komnas HAM mengkonfirmasi adanya upaya untuk menyingkirkan pegawai KPK melalui TWK. Sebagian besar di antaranya sudah dilabeli "Taliban". Padahal, stigma itu merupakan isu yang tidak jelas kebenarannya.
Baik Komnas HAM dan Ombudsman meminta Presiden Jokowi mengambil alih proses TWK dan membatalkannya. Lalu turut mengangkat pegawai KPK yang tak lulus TWK menjadi ASN.
Total ada 75 pegawai KPK yang tidak lulus TWK. Satu di antaranya masuk usia pensiun tak lama setelah pengumuman hasil TWK. Sebanyak 18 orang kemudian dibina dan lulus. Mereka sudah turut dilantik menjadi ASN.
ADVERTISEMENT
Tersisa 56 pegawai KPK yang akan dipecat. Mereka diberhentikan per 30 September 2021. Daftar ini bertambah satu orang yang mengikuti TWK susulan yakni Lakso Anindito. Maka total pegawai yang akan dipecat menjadi 57 orang.
Perwakilan 75 pegawai KPK yang dinyatakan tidak lolos TWK berfoto bersama usai audiensi dengan Komisioner Komnas HAM di Jakarta, Senin (24/5). Foto: M Risyal Hidayat/Antara Foto
Para pegawai KPK yang masuk daftar ini bukan pegawai sembarangan. Mulai dari deputi, direktur, hingga penyidik dan penyelidik yang menangani kasus korupsi besar. Misalnya Novel Baswedan, Yudi Purnomo, Rizka Anungnata, Rieswin, hingga Harun Al Rasyid yang sempat dijuluki Raja OTT.
Disebut-sebut ada beberapa klaster pegawai yang masuk daftar ini. Termasuk mereka yang memeriksa etik Firli Bahuri pada 2018 serta pengurus Wadah Pegawai KPK yang sempat menyuarakan penolakan revisi UU KPK.
Namun, KPK bergeming. Firli Bahuri dkk tetap memecat para pegawai itu.
ADVERTISEMENT
KPK kembali berdalih bahwa keputusan ini berdasarkan rapat pada 13 September 2021. Rapat ini menindaklanjuti putusan MK dan MA terkait TWK.
Jokowi melalui staf khususnya, Dini Shanti Purwono, sebelumnya menyatakan masih menunggu putusan MA dan MK. Namun kini, meski sudah ada putusan MA dan MK, Jokowi tidak bersikap.
Infografik Terima Kasih Pahlawan Antikorupsi. Foto: kumparan