Jalan Panjang Sengketa Lahan Hotel Sultan antara Indobuild Vs BPN Dkk

8 Juli 2022 22:54 WIB
·
waktu baca 7 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi Palu Sidang. Foto: Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Palu Sidang. Foto: Shutterstock
ADVERTISEMENT
Sengketa Badan Pertanahan Nasional (BPN) dengan PT Indobuild seakan tak pernah berujung. Saling klaim atas lahan di kawasan Gelora Bung Karno ini sudah sejak 2006 masuk pengadilan. Melewati sejumlah persidangan. Bahkan hingga 4 kali gugatan Peninjauan Kembali (PK).
ADVERTISEMENT
Lantas, apakah sebenarnya yang menjadi objek sengketa?
Diolah dari berbagai sumber putusan di situs Mahkamah Agung, sengketa ini terkait dengan sertifikat Hak Guna Bangunan (HGB) yang dimiliki Indobuild dan Surat Keputusan Hak Pengelolaan yang diterbitkan BPN. Keduanya terkait lahan yang sama yakni di kawasan GBK, tempat berdirinya Hotel Sultan (dulu bernama Hotel Hilton).
The Sultan Hotel & Residence Jakarta. Foto: Rino Muhammad/Shuttestock
PT Indobuild berdiri pada Januari 1971. Perusahaan itu kemudian diberi tugas oleh Pemerintah DKI Jakarta untuk membangun Gedung Konferensi (conference hall) serta hotel bertaraf internasional. Pembangunan harus selesai pertengahan tahun 1974. Terkait tugas itu, terjalin kerja sama. Termasuk izin penggunaan tanah seluas 13 hektare.
Indobuild kemudian mengajukan permohonan hak atas tanah itu. Kemudian terbit SK Mendagri pada 3 Agustus 1972 tentang pemberian HGB untuk jangka waktu 30 tahun.
ADVERTISEMENT
Selanjutnya Kantor Sub Direktorat Agraria Jakarta Pusat (kini Kantor Pertanahan Jakarta Pusat) menerbitkan sertifikat HGB. Jangka waktunya 30 tahun terhitung 13 September 1973 hingga 4 Maret 2003.
Sertifikat atas nama Indobuild itu dipecah menjadi dua, yakni HGB nomor 26 seluas 57.120 m² dan HGB nomor 27 seluas 83.666 m².
Pada 10 Januari 2000, Indobuild mengajukan permohonan perpanjangan HGB. Kepala Kanwil BPN DKI Jakarta kemudian menerbitkan SK Perpanjangan HGB pada 13 Juni 2002. Jangka waktunya ialah 20 tahun terhitung 4 Maret 2003.
Kembali ke tahun 1989, BPN menerbitkan SK tentang Pemberian Hak Pengelolaan kepada Sekretariat Negara cq Badan Pengelola Gelanggang Olah Raga Bung Karno.
SK itu turut memasukkan tanah HGB nomor 26 dan 27. Kala itu, HGB itu masih dipegang Indobuild dan baru berakhir pada 2003.
ADVERTISEMENT
Sengketa pun terjadi. Saling klaim sebagai pihak yang paling berhak atas tanah tersebut berujung gugatan perdata ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada 2006.

Kemenangan Indobulild

Ilustrasi Palu Sidang. Foto: Shutterstock
Indobuild mengajukan gugatan perdata selaku Penggugat. Sementara selaku Tergugat ialah BPN (Tergugat I); Setneg cq Badan Pengelola Gelanggang Olah Raga Bung Karno (Tergugat II); Kejaksaan Agung (Tergugat III); Kanwil BPN DKI Jakarta (Turut Tergugat I); dan Kantor Pertanahan Jakpus (Turut Tergugat II).
Pada 8 Januari 2007, PN Jaksel mengeluarkan putusan perkara nomor 952/PDT.G/2006/PN.JAK.SEL. Indobuild memenangkan gugatan.
Hakim menyatakan perpanjangan HGB yang diajukan Indobuild ialah sah dan berdasar hukum. Sementara SK BPN tentang Hak Pengelolaan dinyatakan cacat hukum.
Berikut poin putusan hakim:
ADVERTISEMENT
Atas putusan itu, Para Tergugat yang kalah kemudian mengajukan banding. Namun, Pengadilan Tinggi DKI Jakarta menolak banding tersebut.
Dalam vonis perkara nomor 262/PDT/2007/PT.DKI tanggal 22 Agustus 2007, Indobuild masih menang. Bahkan hingga tingkat kasasi.
Para Tergugat sempat mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung atas sengketa ini. Namun, dalam vonis perkara nomor 270 K/PDT/2008 tanggal 18 Juli 2008, MA menolak kasasi itu.

Kalah di PK

Bendera Merah Putih berkibar di Gedung MA Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan
Sengketa tidak berhenti hanya di tahap kasasi. Melainkan berlanjut hingga Peninjauan Kembali (PK).
Mereka yang tadinya menjadi Tergugat kemudian mengajukan permohonan PK. Bukti baru terkait perkara pun disertakan dalam pengajuan itu.
Salah satunya ialah bahwa Indobuild dinilai belum memenuhi syarat-syarat khusus ketika mengajukan permohonan perpanjangan HGB.
Selain itu, mereka menyertakan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat terkait kasus yang menyeret Robert Jeffrey Lumempouw selaku Kepala Kanwil BPN Jakarta yang menerbitkan perpanjangan HGB.
ADVERTISEMENT
Pada 2007, Robert dinyatakan terbukti bersalah melakukan korupsi atas penerbitan perpanjangan HGB yang disebut merugikan negara Rp 1,9 triliun. Ia dihukum 3 tahun penjara hingga tingkat kasasi.
Dalam putusannya, hakim menyatakan perbuatan Robert yang memperpanjang HGB nomor 26/Gelora dan nomor 27/Gelora secara menyalahgunakan kewenangan. Putusan ini dinilai belum pernah dipertimbangkan dalam perkara gugatan perdata BPN dkk vs Indobuild.
(Catatan: pada Mei 2014, PK Robert dikabulkan MA. Ia pun bebas)
Bukti-bukti ini kemudian menjadi pertimbangan majelis hakim PK. Hakim kemudian berpendapat bahwa SK Kepala BPN memberikan Hak Pengelolaan merupakan sah. Indobuild dinilai tidak dapat membuktikan SK itu cacat hukum.
Menurut hakim PK, Indobuild seharusnya bernegosiasi dengan BPN sebelum perpanjangan HGB. Sebab, BPN dinilai merupakan pihak yang mempunyai hak pengelolaan atas tanah tersebut.
ADVERTISEMENT
Negosiasi dipandang perlu dilakukan lantaran Indobuild sudah melakukan investasi di atas tanah tersebut. Sehingga negosiasi dinilai akan menjadi jalan tengah bagi kedua belah pihak memperoleh hasil yang adil.
"Bahwa dari pertimbangan tersebut di atas, maka tidak ada alasan untuk membatalkan hak pengelolaan yang sudah ada di tangan Tergugat [BPN]," bunyi pertimbangan PK dikutip dari situs MA.
Selain itu, hakim PK menilai putusan pidana Robert membuat landasan putusan PN Jaksel yang memenangkan gugatan Indobuild menjadi gugur.
"Menjadi lumpuh karena dasar hukum beserta pengeluaran HGB No. 26/HGB dan No. 27/HGB tidak berada di atas HPL, sehingga kewajiban-kewajibannya terhadap pemegang HPL menjadi hilang dan mengakibatkan timbulnya kerugian negara," bunyi pertimbangan PK.
Dengan pertimbangan itu, hakim PK menilai perpanjangan HGB nomor 26/Gelora dan nomor 27/Gelora cacat hukum dan dapat dibatalkan. Sebab, perpanjangan diberikan atas dasar penyalahgunaan kewenangan.
ADVERTISEMENT
Alhasil, SK Kepala BPN No. 169/HPL/BPN/89 tanggal 15 Agustus 1989 terkait pemberian Hak Pengelolaan ialah sah.
Putusan PK nomor 276/PK/PDT/2011 pada November 2011 memenangkan BPN dkk. Berikut petikan amarnya:
MENGADILI
MENGADILI KEMBALI
Dalam Rekonvensi:
ADVERTISEMENT

PK Berulang Kali

Gedung Mahkamah Agung Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan
Dalam keadaan yang berbalik ini, giliran Indobuild yang mengajukan PK. Bahkan tercatat hingga berkali-kali.
Salah satunya PK dengan nomor perkara 187 PK/Pdt/2014. Mereka berpendapat bahwa putusan Hakim PK sebelumnya melebihi posita maupun petitum gugatan dianggap telah melampaui batas wewenang atau ultra vires yakni bertindak melampaui wewenangnya (beyond the power of his authority). Mereka beralasan putusan itu harus dinyatakan “cacat (invalid)”, dan karenanya salah menerapkan hukum, sehingga putusan dimaksud haruslah dibatalkan.
Namun, hakim PK menilai putusan sebelumnya tidak melebihi daripada yang dituntut. Selain itu, hakim PK juga menilai tidak ada kekhilafan hakim atau kekeliruan nyata dalam putusan perkara itu. Sehingga, permohonan PK Indobuild dipandang layak ditolak.
"Permohonan peninjauan kembali yang diajukan oleh Pemohon Peninjauan Kembali PT INDOBUILD CO, tersebut harus ditolak," bunyi putusan yang diketok pada 19 Desember 2014.
ADVERTISEMENT
Indobuild kembali mengajukan PK pada tahun 2020. Namun berdasarkan keterangan dari situs MA, perkara nomor 837 PK/Pdt/2020 itu tidak dapat diterima.
"Menyatakan permohonan peninjauan kembali ketiga dari Pemohon Peninjauan Kembali Ketiga PT INDOBUILD CO. tersebut tidak dapat diterima," bunyi putusan perkara pada Desember 2020.
Tak berhenti sampai di situ, Indobuild kembali mengajukan PK untuk keempat kalinya. Gugatan itu tercatat dengan nomor perkara 408 PK/PDT/2022. Namun, lagi-lagi, PK itu kandas.
"Tolak PK Ke-4," dikutip dari situs MA.
Putusan itu diketok pada 21 Juni 2022. Pihak Indobuild serta BPN dkk belum berkomentar atas sengketa panjang ini. Termasuk apakah akan ada upaya hukum lanjutan.