Jalan Sukar Merawat "Ibu Bumi"

13 Februari 2017 17:33 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Potret ibu-ibu dan alam (Foto: Pixabay)
Ibu bumi wis maringi, ibu bumi dilarani.
Ibu bumi sudah memberi, ibu bumi disakiti.
ADVERTISEMENT
Kalimat tersebut terus disenandungkan oleh puluhan ibu di pinggir jalan Rembang-Semarang. Saat itu mereka sedang menempuh jalan darat dengan kaki mereka.
Nyanyian yang mengiringi perjalanan mereka itu mewakili dentuman kegelisahan atas rencana eksploitasi Pegunungan Kendeng oleh pabrik semen.
Maka keresahan berbuah nyanyian “ibu bumi disakiti.”
Tapi, kenapa bumi harus diawali kata “ibu”?
Bumi difemininkan karena sifatnya yang merawat kehidupan, seperti seorang ibu yang merawat anak-anaknya. Bumi juga dipandang sebagai kerahiman, sesuatu yang mengandung, guna mengalirkan sesuatu yang dapat menyemai kehidupan.
Bersandingnya kata “ibu” dengan “bumi” adalah hasil olah rasa yang telah berlangsung sekian abad. Hingga muncul Ibu Bumi dan Bapak Angkasa yang ditelurkan dari zaman nenek moyang. (Baca: )
ADVERTISEMENT
Dalam buku Staying Alive: Women, Ecology and Development yang ditulis oleh Vandana Shiva, dituliskan bahwa perempuan dan alam saling bertaut. Hal itu kemudian menjelma menjadi kepercayaan.
Patung Ibu sebagai lambang mother earth (Foto: Amber Avalona/Pixabay)
Sejarah India banyak menempatkan perempuan dalam imajinasi manusia tentang alam. Konon, dasar terbentuknya bumi adalah benturan --benturan antara baik dan buruk, lembut dan keras, persatuan dan perceraian, yang dinamikanya disebut Shakti.
Manifestasi dari segala energi tersebut berasal dari alam atau Prakriti. Dan hubungan Prakriti dengan prinsip maskulin, yaitu Purusha, menciptakan bumi dan kehidupan.
Aspek feminin Prakriti, menurut Vandana Shiva, muncul di kitab Kulacudamim Kubama. Dalam kitab tersebut, Prakriti berujar:
Tidak ada yang lain selain saya
sebagai ibu yang melahirkan kehidupan
Sentuhan emosional yang bersifat “menyayangi”, “merawat”, dan “menghidupi” terjalin antara manusia dan buminya. Bumi menyediakan air, menjernihkan udara, menghidupi hewan dan tumbuhan --yang semuanya itu dibutuhkan dalam kehidupan manusia.
ADVERTISEMENT
Dan manusia tidak perlu mengajari alam bagaimana melangsungkan jalan kehidupan. Secara alami, bumi tahu bagaimana merawat kehidupan.
Hanya saja, manusia dengan otak terbalut nafsu ingin menggurui alam. Manusia terlalu merasa gagah dan melemahkan alam. Mereka lupa Prakirti menyiratkan sifat yang penting dan kuat, bukan lemah dan renta.
Hari ini kita menyaksikan pembangunan berbanding lurus dengan kerusakan alam. Badan Antariksa Amerika Serikat NASA menyebutkan bahwa tahun lalu, 2016, bumi masih memanas 1,3 derajat Celcius.
Peningkatan suhu bumi atau pemanasan global terus terjadi akibat pertumbuhan populasi, industri, dan teknologi yang berdampak negatif terhadap bumi, sementara kerusakan lingkungan meluas.
Dalam hal ini, Indonesia menempati urutan ketiga di dunia sebagai negara penyumbang polusi global setelah China dan Brazil. Kontribusi Indonesia dalam polusi global disebabkan oleh kebakaran hutan yang menjadi bencana tahunan.
ADVERTISEMENT
World Wildlife Fund mencatat, rata-rata setiap tahun Indonesia kehilangan 1,1 juta hektar hutan. Senada, Forest Watch Indonesia menyebut bahwa Indonesia tahun 1970 hingga 1990 mengalami penurunann 1,2 juta hektar hutan per tahun. Sementara pada 2000 hingga 2009, laju penggundulan hutan di negeri ini 1,5 juta hektar per tahun.
Ilustrasi penggundulan hutan. (Foto: Wikimedia Commons)
Kerusakan hutan terus melaju seiring tumbuhnya kebutuhan manusia. Data Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) tahun 2013 menyebut bahwa kerusakan alam disebabkan oleh arus pembangunan yang dimotori masyarakat, pemerintah, dan korporasi. Mereka saling bertalian dalam kepentingan komersial.
Yang paling kentara dari semuanya adalah jumlah konflik agraria --benturan pikiran manusia dengan alam yang mereka huni.
Angka konflik agraria meningkat tajam. Berdasarkan catatan Konsorsium Pembaruan Agraria, pada 2015 terdapat 252 konflik agraria. Angka tersebut meningkat hingga 450 pada 2016.
ADVERTISEMENT
Perlawanan masyarakat Tegaldowo, Rembang, terhadap kehadiran pabrik semen adalah salah satu potret konflik agraria. Sebuah penegasan bahwa banyak konflik agraria merupakan pertarungan gagasan tentang kehidupan manusia di alam.
Warga yang melawan menghendaki kemurnian alam. “Jika itu dibiarkan, alam akan habis. Kasihan generasi penerus,” ujar Bu Sukinah, salah satu motor penggerak warga desa Tegaldowo.
Pun dari ratusan konflik agraria yang ada, hampir seluruhnya serupa dengan konflik di Rembang. Di luar Rembang, ada masyarakat Bali menolak reklamasi Teluk Benoa, warga Maros yang berkonflik tentang air.
Mereka memiliki napas serupa: menjaga kemurnian alam.
Indonesia serupa dengan India, memiliki kesamaan kosmologi dalam menjalani hidup. Struktur bahasa ibu bumi yang diucapkan dari generasi ke generasi menyiratkan keinginan manusia Indonesia untuk hidup selaras dengan alamnya.
ADVERTISEMENT
Hilangnya kesadaran untuk merawat bumi adalah pengabaian kita terhadap makna kata “ibu” yang tersemat kepada bumi.
Tentu saja, kita semua punya “rasa” berbeda ketika mengaitkan “ibu” dengan bumi tempat kita berpijak --atau merusak.
Potret kerusakan alam (Foto: Pixabay)
Simak juga:
Infografis Konflik Agraria 2016 (Foto: Bagus Permadi/kumparan)