Jalan Terjal Guru Pedalaman Aceh Mengajar hingga Diadang Gajah

1 September 2022 14:40 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Kondisi kelas di SMA Negeri 19 Takengon Kelas Jauh, di Aceh Tengah. Foto: Zuhri Noviandi/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Kondisi kelas di SMA Negeri 19 Takengon Kelas Jauh, di Aceh Tengah. Foto: Zuhri Noviandi/kumparan
ADVERTISEMENT
Sebuah balai desa di pedalaman Aceh Tengah tampak berdinding tripleks, terpaut sekitar dua meter dari bibir sungai. Jaraknya hanya dibatasi semak belukar dan beberapa jenis tumbuhan. Meski sudah terlihat tua, bangunan berkonstruksi kayu itu masih berdiri kokoh.
ADVERTISEMENT
Bangunan balai desa itu disekat menjadi tiga bagian, masing-masing di dalamnya terisi kursi dan meja serta satu papan tulis. Bangunan itu tak hanya sebagai balai diskusi warga, tetapi juga dimanfaatkan menjadi sekolah.
Siang itu, Jumat (26/8), Muhammad kaget saat rombongan Dinas Pendidikan (Disdik) Aceh yang sudah tiba ke Desa Merandeh Paya, Kemukiman Pameu, Kecamatan Rusip Antara, Aceh Tengah.
Muhammad semringah berjalan tergopoh-gopoh menghampiri Kepala Disdik Aceh, Alhudri. Dengan semangat, Muhammad menceritakan kondisi bangunan balai desa yang kini telah dimanfaatkan sebagai 'sekolah kelas jauh' SMA Negeri 19 Takengon di Kemukiman Pameu.
SMA Negeri 19 Takengon Kelas Jauh, di Aceh Tengah. Foto: Zuhri Noviandi/kumparan
Kemukiman Pameu merupakan salah satu wilayah pedalaman di Kecamatan Rusip Antara, Aceh Tengah. Di sini hanya terdapat lima desa yaitu Paya Tumpu, Merandeh Paya, Kuala Rawa, Tanjung, dan Laut Jaya. Kebanyakan anak-anak di sana putus sekolah setelah menyelesaikan pendidikan di bangku SMP.
ADVERTISEMENT
'Sekolah kelas jauh' itu digagas Muhammad dan warga Desa Pameu sejak tiga tahun silam. Namun, proses pembelajaran dimulai aktif pada tahun ajaran baru 2021 lalu setelah diluncurkan secara resmi oleh pihak Disdik Aceh.
“Di Pameu ini tidak ada sekolah SMA, anak-anak yang ingin melanjutkan pendidikan harus keluar dari desa dan itu jauh. Makanya kebanyakan dari mereka berhenti sekolahnya,” kata Muhammad.
Muhammad bercerita, jauh sebelum 'sekolah kelas jauh' itu dibuka sudah ada Madrasah Aliyah Swasta (MAS) yang terlebih dulu berdiri di Kemukiman Pameu. Namun, sekolah tersebut terpaksa ditutup karena minimnya minat belajar siswa maupun guru yang sulit hadir mengajar ke sana.
Muhammad, Kepala Sekolah SMA Kelas Jauh di Pameu, Kecamatan Rusip Antara, Aceh Tengah. Foto: Zuhri Noviandi/kumparan
Sebagian siswa yang tetap ingin bersekolah akhirnya terlun-lunta dan ikut berhenti. Beberapa orang tua kemudian mengeluh, meminta kepada Muhammad untuk mencari solusi agar sang anak bisa kembali sekolah.
ADVERTISEMENT
Usai proses belajar-mengajar di MAS terhenti, tokoh masyarakat, kepala desa, dan sejumlah orang tua murid lalu mendatangi sekolah induk SMAN 19 Takengon di Kecamatan Angkup. Dari Kemukiman Pameu harus menempuh jarak sekitar dua jam perjalanan.
Mereka memohon kepada guru di sana, salah satunya Muhammad. Warga meminta agar Muhammad segera membuka 'sekolah kelas jauh' di Pameu yang sebelumnya telah ia rencanakan.
Pada saat itu, Muhammad tak langsung mengiyakan. Ia lebih dulu meminta kepastian komitmen dan dukungan penuh dari masyarakat di Kemukiman Pameu.
“Kalau memang SMA kelas jauh harus didirikan ayo dukung. Mana tempatnya, lalu kami turun ke lapangan dan warga menunjukkan balai desa,” kata Muhammad.
Beranjak dari semangat itu, warga kemudian bergotong royong membersihkan balai desa. Menjadikan bangunan tersebut ruang pendidikan bagi anak-anak di Pameu. Namun, saat hari-hari tertentu seperti Maulid Nabi dan perayaan hari besar lainnya, kelas yang telah disekat itu harus dibongkar.
ADVERTISEMENT
Muhammad mengungkapkan, saat pertama kali 'sekolah kelas jauh' mulai dibuka hanya ada sembilan siswa. Kini, seiring berjalannya waktu jumlah anak didiknya bertambah sebanyak 31 orang.
Kondisi kelas di SMA Negeri 19 Takengon Kelas Jauh, di Aceh Tengah. Foto: Zuhri Noviandi/kumparan
Perjuangan Muhammad mencari peserta didik tidak mudah. Faktor kurangnya minat belajar dan dukungan sebagian orang tua membuat Muhammad harus jemput bola. Ia mendatangi rumah warga dari pintu ke pintu, meyakinkan mereka tentang pentingnya pendidikan.
“Saya bekerja untuk membina sekolah kelas jauh itu dengan ikhlas, sabar, dan kerja keras. Kerja keras itu, saya mengunjungi dari rumah ke rumah,” kata Muhammad yang juga kepala 'sekolah kelas jauh' SMA Negeri 19 Takengon ini.
Menurut Muhammad, kendala yang dihadapi selama ini adalah minimnya semangat belajar anak-anak di sana. Ditambah, kebanyakan orang tua dan warga di Pameu tidak tamat SD sehingga hal itu ikut mempengaruhi.
ADVERTISEMENT
“Semangat membina anak untuk pendidikan agak lemah. Tapi saya ajak pelan-pelan, bukan hanya sekali. Tidak bisa berhasil sekali, dua kali sampai tiga kali. Bahkan kami pernah berkunjung ke satu tempat, waktu itu ada anak sedang memanjat rambutan, lalu saya minta dia turun dan mengajaknya berbicara,” sebut Muhammad.
“Nak, kamu sudah tamat SMP? Sudah Pak, kenapa tidak mau lanjut. Pertama SMA belum ada di sini, kedua ekonomi, ketiga kalau keluar biayanya mahal. Kemudian saya sampaikan, Nak alhamdulillah tahun ini sudah kita buka SMA kelas jauh di sini,” lanjutnya.
SMA Negeri 19 Takengon Kelas Jauh, di Aceh Tengah. Foto: Zuhri Noviandi/kumparan
Muhammad mengelus dada saat mengingat pertama kali dirinya berkunjung ke rumah warga. Ajakannya tak langsung mendapat respons baik dari beberapa anak yang ia datangi.
ADVERTISEMENT
“Waktu datang ke rumah-rumah itu kalau dari para orang tua tidak ada penolakan. Tetapi dari anaknya yang ada. Ah malas sekolah pak,” kenang Muhammad.
Menurut Muhammad, selain faktor dukungan orang tua, rendahnya minat belajar di Pameu juga disebabkan lantaran mayoritas anak-anak di sana sudah terbiasa bekerja sejak kecil.
“Enak cari duit pergi ke hutan cari jernang, selama satu minggu dapat satu Rp 1–2 juta. Kalau enggak cari ikan atau memburu rusa. Jadi, mereka ini sudah terbiasa dari kelas 1 SMP mencari uang, begitu tamat kita ajak sekolah mereka merasa enggan karena sudah enak mencari uang,” tuturnya.

Cerita Muhammad Diadang Gajah hingga Keinginannya Wakafkan Tenaga dan Pikiran untuk Pendidikan

Kondisi kelas di SMA Negeri 19 Takengon Kelas Jauh, di Aceh Tengah. Foto: Zuhri Noviandi/kumparan
Langkah yang dilalui Muhammad untuk mengajar dan membina sekolah kelas jauh di Pameu tidak mudah. Saban hari, ia harus menempuh waktu 1,5-2 jam perjalanan dari Kecamatan Angkup dengan kondisi jalan diapit pegunungan dan jurang.
ADVERTISEMENT
Bahkan, Muhammad pernah diadang rombongan gajah di tengah perjalanan menuju ke Pameu. Muhammad tercengang, seketika langsung menghentikan mobil. Ia pun berencana untuk berbalik arah, namun para gajah itu ternyata tidak mengganggu.
Menurut pengakuan warga kepada Muhammad, rombongan gajah itu memang kerap muncul. Tapi, tidak pernah mengganggu asalkan manusia juga tak mengusiknya.
“Saya menggunakan mobil, tiba-tiba muncul delapan ekor gajah sedang berjalan rombongan melintasi jalan. Kata warga tidak usah lari atau membunyikan klakson, biarkan dia jalan masuk ke hutan,” ucapnya.
Kepala Disdik Aceh, Alhudri, saat berdiskusi dengan Muhammad, Kepala Sekolah SMA Kelas Jauh. Foto: Zuhri Noviandi/kumparan
Dengan segala upayanya membangun semangat pendidikan di Kemukiman Pameu, Muhammad berkinginan jika sudah pensiun, tetap ingin mewakafkan seluruh pikiran dan tenaganya demi memajukan pendidikan anak-anak di pedalaman.
Bukan tanpa alasan, ia telah berjuang dari nol hingga sekolah berkembang seperti saat ini. Selain itu, Pameu juga merupakan tanah kelahiran kedua orang tuanya.
ADVERTISEMENT
“Walaupun jarak jauh kadang dalam kondisi hujan, pulang malam. Tapi karena dukungan istri dan keluarga di rumah, kemudian tokoh masyarakat mendukung. Hanya saja kendala saya kemauan siswa masih minim, mungkin wajar karena faktor lingkungan tetapi saya tetap terus berjuang,” ungkapnya.