Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Zainul Munasichin tak habis pikir. Ia sudah lama mengamati seniornya di PKB, Imam Nahrawi, jarang bermalam di rumah sepanjang kampanye Pemilu Legislatif 2019. Usai jam kerja, Menteri Pemuda dan Olahraga itu bertolak ke Jakarta Timur untuk menyusuri kampung-kampung serta menghadiri majelis taklim.
Namun rutinitas tersebut ternyata tak membuahkan hasil terhadap elektabilitas Imam dalam Pileg. Suara Imam selaku caleg DPR dari PKB diperkirakan redup. Modal ketekunan menyambangi konstituen dan jabatan menteri kabinet tak menjamin ia lolos di daerah pemilihan Jakarta I.
“Ternyata belum cukup. Untuk dapil sekeras Jakarta Timur, sosialisasi aktif seperti yang dilakukan Pak Menteri nggak cukup,” kata Zainul kepada kumparan, Selasa (7/5).
Perkiraan meleset. Imam kalah. Padahal, menurut Zainul, PKB memprediksi Imam bakal lolos dengan mudah. Sebab Imam punya modal popularitas sebagai menteri. Apalagi gelaran Asian Games 2018 dianggap sukses.
PKB sengaja menempatkan Imam sebagai calon anggota legislatif dari dapil DKI I. Pemilihan dapil ini berbeda dengan Pileg 2014. Saat itu, Imam terdaftar di Jawa Timur I dan berhasil mendapatkan tiket ke Senayan. Namun pada Pileg 2019 kini, dapil Imam digeser ke pusat karena PKB ingin mengembangkan basisnya bermodal kader yang menjabat menteri.
Apa boleh buat, strategi itu gagal. “Kenyataannya itu belum berhasil, kami sudah berupaya. Modal popularitas semula diharapkan menjadi kursi baru bagi PKB,” ujar Wasekjen PKB, Jazilul Fawaid.
Imam hanya satu dari tiga menteri PKB yang menempuh jalan terjal ke Senayan. Dua lainnya adalah Menteri Ketenagakerjaan Hanif Dakhiri dan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Eko Putro Sandjojo.
Hanif menempuh ketekunan yang sama seperti Imam. Ia duduk sebagai caleg PKB di dapil Jabar VI yang meliputi Kota Bekasi dan Kota Depok. Program khas kementerian seperti seminar dan pelatihan kerja, hingga Job Fair Nasional pada 4 April 2019, jadi andalan Hanif.
Seharusnya popularitas Hanif sebagai Menteri Tenaga Kerja lebih berpotensi meraup suara ketimbang identitasnya sebagai warga Nahdlatul Ulama. Sebab, program kementerian Hanif dekat dengan kebutuhan masyarakat Depok dan Bekasi yang merupakan kawasan industri.
“Kalau punya kegiatan yang sinkron di dapilnya kan enggak masalah, tidak melanggar aturan. Itu untuk kepentingan umum, bukan kepentingan kampanye itu. Wajar saja seorang menteri ingin memperlihatkan,” kata Jazilul.
Pekerjaan besar Hanif kala kampanye adalah merangkul basis massa NU di Depok dan Bekasi yang selama ini masuk ke PKS dan Golkar. Di Depok dan Bekasi, PKB hanya kebagian pemilih Sunda yang loyal namun jumlahnya sedikit. Ditambah, dua kota tersebut dihuni banyak pendukung Prabowo Subianto—capres yang tak diusung PKB.
Pada 2014, di Depok dan Bekasi, PKB hanya menempati peringkat 11 untuk suara DPR RI, dan cuma kebagian satu kursi DPRD. Dua kota ini memang bukan ladang subur bagi PKB. Padahal di dapil Hanif sebelumnya, Jawa Tengah X yang melingkupi Batang, Pekalongan, dan Pemalang, jaringan kultural NU telah akrab menjadi lumbung suara PKB.
Alhasil, di Jawa Barat suara Hanif di ujung tanduk. Ia mesti beradu dengan caleg-caleg PKS dan PAN hanya untuk berebut jatah kursi paling bontot. Rapat pleno rekapitulasi KPU Kota menjadi harapan terakhir.
Menteri Eko Putro Sandjojo di dapil Bengkulu mengalami nasib serupa Hanif. Pula Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin asal PPP yang berada di dapil sama seperti Hanif—Depok dan Bekasi.
Lukman memang tak begitu aktif berkampanye di dapilnya. Ia, menurut Sekjen PPP Arsul Sani, diterpa banyak badai dalam proses pencalegannya. Lukman kecipratan sentimen negatif masyarakat Jawa Barat terhadap pemerintahan Jokowi, plus ikut terseret kasus suap yang menjerat mantan Ketua Umum PPP Romahurmurziy.
“Kasus Mas Romy itu memiliki pengaruh signifikan terhadap pencalegan Pak Lukman,” kata Arsul kepada kumparan.
Kesulitan yang dialami sejumlah menteri Jokowi di Pileg 2019 pernah dialami Menkumham era SBY, Amir Syamsuddin. Kala itu, Sekretaris Majelis Tinggi Partai Demokrat ini maju di daerah pemilihan Sulawesi Tenggara, namun tak berhasil.
Amir menganggap posisi menteri sama sekali bukan jaminan bakal dipilih. Malah, suara Amir kalah dengan kader partai yang lebih rajin hadir di tengah masyarakat.
“Karena harus siap untuk lebih banyak hadir di dapil. Itu yang membuat sulit. Waktu itu tugas sebagai menteri sangat kecil peluangnya untuk bisa merawat dapil,” kata Amir kepada kumparan.
Mereka yang sukses merawat dapil sembari menjabat menteri pun ada. Menko PMK Puan Maharani dan Menkumham Yasonna Laoly, misalnya. Keduanya—yang sama-sama dari PDIP—menjadi contoh menteri Jokowi yang kembali lolos ke Senayan.
Puan Maharani dianggap memanfaatkan momentum politik bangkitnya kader PDIP mengamankan dapil Jateng V (Solo Raya) yang menjadi kandang banteng di Pemilu 2019. Padahal, di awal Pilpres, kubu Prabowo-Sandi menyatakan bakal merebut suara PDIP di Jawa Tengah.
Itu membuat PDIP makin rajin menandingi kampanye Prabowo-Sandi dan koalisinya di Jateng. Kader-kader PDIP di Jawa Tengah sigap menggelar barikade. Upaya kampanye digenjot lebih giat dua kali lipat.
Puan sebagai putri Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri sekaligus cucu Bung Karno mendapat “penjagaan” spesial. Kader PDIP di Jateng mengejar dua target: menjaga kemenangan Jokowi sekaligus menjaga suara Puan.
“Mbak Puan adalah ikon partai. Tanpa disuruh, pasukan akan menjaga. Itu memang PDIP,” kata Ketua PDIP Jawa Tengah, Bambang Wuryanto, ketika berbincang dengan kumparan di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta.
Militansi pasukan banteng di Jawa Tengah berbuah manis. Terlepas dari seperti apa kinerja Puan sebagai Menko PMK, suaranya di pileg mencatat rekor nasional dengan raihan 420 ribu suara. Jumlah kursi PDIP di Solo Raya juga bertambah dari 3 menjadi 5.
Di Pileg 2019, Yasonna kembali maju di wilayahnya, Sumatera Utara. Di sana pula ia berhasil nyaleg sejak 2009. Nama Yasonna sudah dikenal di dapil itu sejak menjadi dosen di Universitas Sumatera Utara. Ia juga relatif punya modal sosial yang membantunya saat maju kembali di Pileg 2019.
“Pergaulan sudah banyak, komunitas saya juga aktiflah sejak zaman mahasiswa. Itulah modal. Sekarang bertemu dengan teman-teman setelah maju, banyak yang bantu,” kata Yasonna kepada kumparan.
Jabatan menteri sedikit banyak membantu kerja Yasonna. Beberapa kebijakan Kemenkumham seperti pembebasan Siti Aisyah dalam kasus pembunuhan Kim Jong Nam—kakak tiri Kim Jong Un—di Malaysia, serta perjanjian kerja sama hukum dengan pemerintah Swiss, memberi percik citra positif bagi Yasonna.
“Kebetulan dapil saya di Medan dan Deli Serdang, sehingga masyarakat lebih terekspose dengan media sosial maupun media mainstream,” ucap Yasonna.
Selain urusan konstituen, pejabat juga harus harmonis dengan pengurus partai di daerah pemilihan. Hal ini pun berlaku untuk Johan Budi, Juru Bicara Presiden, yang baru pertama kali maju sebagai caleg PDIP di dapil Jawa Timur VII (Ponorogo, Trenggalek, Magetan, Ngawi, dan Pacitan).
Johan Budi adalah mantan jubir KPK, dan jabatan itu mempermudah kampanyenya sekaligus mengerek suara PDIP yang sempat direbut Demokrat di dapil itu. Elite PDIP serta menteri kabinet banyak memberi bantuan alat peraga kampanye, dan Johan tinggal datang melakukan sosialisasi.
“Tujuan saya itu menambah suara PDIP, bukan hanya fokus ke suara saya. Saya juga nggak mau istilahnya memancing dalam kolam sendiri,” kata Johan Budi.
Pada akhirnya, meski nama seorang tokoh sebagai menteri atau pejabat terlihat mentereng, hitung-menghitung politik tak sesederhana itu. Kerja di lapangan menjadi penentu apakah ia sebagai caleg bisa sukses melanggeng ke Senayan.