Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
4 November 2016. Jakarta panas. Kala itu, ratusan ribu orang menggelar aksi unjuk rasa di depan Kepresidenan selepas jumatan hingga malam hari. Aksi demo hari itu berakhir rusuh. Para demonstran memprotes Basuki Tjahaja Purnama, Gubernur DKI Jakarta saat itu, yang dianggap menista agama Islam. Mereka menuntut agar Ahok segera diproses hukum.
Sebelum unjuk rasa dimulai, demonstran bahkan sudah merangsek memenuhi jalanan depan Istana. Hari itu, Presiden Jokowi meninggalkan Istana Merdeka sejak pukul 10.00 untuk meninjau proyek kereta bandara di Soekarno-Hatta. Ia juga sekalian salat Jumat di Masjid Nurul Barkah yang berada di area bandara sebelum meninjau kereta.
Sementara Jokowi salat Jumat di Soetta, kondisi di Istana memanas. Massa semakin beringas. Perkembangan ini membuat Jokowi ingin segera kembali ke Jakarta usai meninjau kereta bandara. Namun, niat Jokowi itu langsung ditolak Mayjen TNI (Marinir) Bambang Suswantono, Komandan Pasukan Pengamanan Presiden saat itu.
Bambang menjelaskan kepada Jokowi—seperti dimuat dalam biografinya, Bambang Suswantono Memberi yang Terbaik—bahwa sekalipun mereka kembali ke Jakarta, bakal sulit untuk masuk ke Kompleks Istana Kepresidenan yang dikepung pendemo. Ia menyarankan agar Jokowi pulang ke Istana Bogor.
Jokowi setuju, namun pikirannya tak tenang. Sore hari sampai petang, kondisi di Jakarta kian rusuh. Dua mobil Brimob di depan Istana Merdeka dibakar massa.
Semua kerusuhan itu terus dipantau Jokowi dari Bogor. Ia ingin cepat-cepat ke Jakarta lagi untuk menggelar rapat terbatas dengan para menterinya soal aksi 4 November alias 411 itu. Namun, situasi ibu kota sama sekali belum kondusif.
Mensesneg Pratikno menyarankan kepada Jokowi untuk tetap di Bogor, namun sang Presiden berkeras berangkat ke Jakarta. Bambang Suswantono pun tak bisa lagi menolak keinginan Jokowi. Akhirnya ia mengusulkan agar ratas digelar di Pangkalan Udara Halim Perdanakusuma di timur Jakarta. Jokowi setuju.
Beberapa waktu kemudian, Bambang mendapat kabar bahwa massa demonstran di depan Istana telah bergerak ke arah Patung Kuda. Ini membuat akses ke Istana terbuka. Alhasil, Jokowi yang hanya dikawal dua mobil Paspampres pun langsung menuju Istana Merdeka untuk menggelar ratas bersama sejumlah menteri. Setelahnya, sekitar pukul 23.00 jelang tengah malam, Jokowi menggelar konferensi pers soal Aksi 411, menyatakan penyesalannya karena demo “menjadi rusuh dan ditunggangi aktor-aktor politik”.
411 adalah salah satu momen genting—dan penting—bagi Jokowi. Bukan cuma soal aksi demonstrasinya, melainkan juga soal para perwira di lingkarannya.
Hari itu, Komandan Paspampres Bambang Suswantono menjadi andalan Jokowi. Di sisi lain, Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo tersingkir dari daftar orang kepercayaan sang Presiden.
“411 membuka banyak hal. Ini titik balik Jokowi memilih orang kepercayaan dari TNI di lingkarannya,” kata anggota Fraksi NasDem DPR RI, Muhammad Farhan, Kamis (27/1).
Gatot tersisih karena dianggap memanfaatkan absennya Jokowi di Jakarta untuk meraih simpati massa Islam yang berdemo. Caranya, dengan menemui massa Aksi 411 sembari mengenakan kopiah putih.
Sebelum itu, Gatot sudah sering dituding berpolitik, khususnya untuk meraih simpati oposisi atau mereka yang berseberangan dengan Jokowi.
Menurut Farhan, ia mendapat cerita langsung dari Jokowi soal kemarahannya terhadap manuver Gatot. Jokowi kemudian mengetes loyalitas para kepala staf angkatannya kala itu: KSAD Jenderal Mulyono, KSAL Laksamana Ade Supandi, dan KSAU Marsekal Hadi Tjahjanto.
Kepada ketiganya, Jokowi bertanya apakah mereka mau menggantikan Gatot sebagai Panglima TNI. KSAL dan KSAD saat itu menjawab “Tidak”, namun KSAU memberikan jawaban berbeda.
“Tidak bisa Pak, saya masih junior. Tapi, saya akan amankan Bapak,” kata Farhan menceritakan ucapan Hadi ke Jokowi.
Hadi lolos seleksi loyalitas, dan Jokowi—yang ketika itu menyimpan kekecewaan terhadap panglimanya—mulai merancang proyeksi untuk membangun TNI yang pasti loyal terhadapnya.
Jokowi kembali mengandalkan Bambang dalam Aksi 212. Saat itu, ratusan ribu orang kembali berdemo di Monas, menuntut Ahok yang sudah nonaktif dari jabatannya sebagai Gubernur DKI untuk ditetapkan sebagai tersangka kasus penistaan agama.
Kali itu, Jokowi bergabung dengan lautan massa dan salat Jumat di Monas bersama para pendemo.
“Ini cerita Pak Jokowi langsung, beliau bilang, ‘Saya percaya sama Bambang untuk jaga saya,’” kata Farhan.
Selepas berdinas di Istana, karier Bambang moncer. Dia menjadi Komandan Korps Marinir pada Maret 2017–Desember 2018, kemudian menjadi Asisten Pembinaan Potensi Maritim Kepala Staf Angkatan Laut, Komandan Jenderal Akademi TNI, hingga Inspektur Jenderal TNI saat ini.
Bambang meraih pangkat tertinggi yang dapat dicapai marinir, yakni Letnan Jenderal.
Sementara Hadi Tjahjanto ditunjuk menjadi Panglima TNI menggantikan Gatot Nurmantyo—yang diberhentikan sebelum masa pensiunnya tiba.
Hadi menjadi salah satu Panglima TNI dengan masa jabatan paling lama, yakni 3 tahun 11 bulan 9 hari, sejak 8 Desember 2017 sampai 17 November 2021.
Menurut Farhan, wajar saja Jokowi menyeleksi perwira tinggi TNI di lingkar terdekatnya, karena ia harus bekerja dengan orang-orang yang ia percaya, apalagi di lingkup militer.
“Dari situ, saya berkesimpulan bahwa Jokowi sudah menyiapkan orang-orangnya untuk betul-betul jadi ‘penjaga’ dia. SBY juga dulu melakukan hal yang sama, misalnya dengan Pak Djoko Suyanto,” ujar Farhan.
Terbentuklah sebuah pola bahwa para perwira yang berada di lingkar dekat Jokowi bakal mendapat jabatan strategis. Lingkar dekat ini ialah mereka yang pernah menjadi Danpaspampres, Sesmil, ajudan Presiden, atau pernah bertugas dengan Jokowi saat ia menjabat Wali Kota Solo.
“Meritokrasi dikedepankan tapi bukan satu-satunya. Ada trust issue di dalamnya,” kata Farhan.
Tak heran kini banyak perwira tinggi TNI yang jebolan Istana.
Pola tersebut, menurut analis utama Lab-45 Andi Widjajanto, sesungguhnya sudah lama terbentuk.
“Dari masa Pak Harto sekalipun. Ring satu, apakah ajudan, pengawal, Paspampres, Sesmil, menjadi perwira bintang 3 atau 4 dan akan menduduki jabatan strategis,” kata eks Seskab Jokowi itu kepada kumparan.
Contoh yang paling dekat adalah Jenderal Andika Perkasa yang kini menjadi Panglima TNI. Perjalanan karier Andika tak bisa dilepaskan dari hari pertama Jokowi menjabat sebagai presiden. Jokowi memilih menantu AM Hendropriyono ini sebagai Komandan Paspampres pertamanya.
Andi Widjajanto, yang ketika itu Deputi Tim Transisi Jokowi-JK, terlibat dalam membantu Jokowi memilih perangkat pengamanan melekat di Istana.
Saat itulah nama Andika masuk sebagai kandidat Danpaspampres, bersama nama Maruli Simanjuntak sebagai kandidat Dangrup A Paspampres. Ada pula nama Widi Prasetijono dan Listyo Sigit Prabowo sebagai kandidat ajudan. Jokowi memilih Andika, Maruli, Widi, dan Listyo Sigit.
Andi menduga, Mabes TNI sudah melakukan riset tertentu sebelum mengusulkan nama-nama tersebut ke Jokowi sebagai presiden terpilih. “Mereka berusaha mencari tahu, ‘Oh, waktu [Jokowi] wali kota dekatnya dengan ini.’ Lalu rekam jejaknya dimasukkan,” tutur Andi.
Penasihat Senior Kantor Staf Presiden itu menilai pilihan Jokowi adalah wajar.
Andika adalah menantu Hendropriyono yang sejak awal kampanye mendukung Jokowi, sedangkan Maruli merupakan menantu Luhut Pandjaitan. Sementara Widi dan Listyo Sigit telah Jokowi kenal sejak di Solo.
“Pak Jokowi relatif baru di politik nasional. Beliau hanya kenal militer waktu bertugas di Solo. Wajar kalau belum ketika itu punya ring satu sendiri. Ini masalah trust. Ada mantu Pak Hendro, Pak Luhut, trust-nya langsung terbentuk dengan mudah,” kata Andi.
Andika dilantik sebagai Danpaspampres dua hari setelah Jokowi menjadi Presiden. Sebelumnya, Andika menjabat sebagai Kepala Dinas Penerangan Angkatan Darat. Artinya, Andika mendapatkan dua bintang dalam setahun.
Bintang Andika kian terang saat ia dipindahtugaskan menjadi Pangdam Tanjung Pura. Dalam dua tahun, ia sudah mencapai bintang 3 dengan jabatan sebagai Komandan Komando Pembina Doktrin dan Latihan Angkatan Darat (Dankodiklat AD), lalu sebagai Pangkostrad.
Puncaknya, ia diserahi jabatan sebagai Kepala Staf TNI AD pada masa kepemimpinan Hadi, dan menjadi Panglima TNI menggantikan Hadi.
Sebagai Panglima TNI, Andika baru-baru ini melakukan mutasi yang seakan menegaskan jalan mulus para pati TNI jebolan Istana. Tiga pengawal Jokowi mencapai bintang 3 pada saat bersamaan: Mayor Jenderal (Marinir) Suhartono, Mayor Jenderal Maruli Simanjuntak, dan Mayor Jenderal Agus Subiyanto.
Maruli yang merupakan Dangrup A pertama yang mengawal Jokowi, naik menjadi Danpaspampres pada 2018 hingga 2020. Sebelumnya, Maruli kerap berdinas di satuan tempur. Penugasan pertama Maruli adalah sebagai perwira di Detasemen Cakra, salah satu unit tempur milik Kostrad.
Ia sempat menjadi Komandan Grup II Kopassus yang bermarkas di Kandang Menjangan, Surakarta, dan dianggap gagal mengendalikan anak buahnya pada aksi penembakan di Lapas Cebongan pada Maret 2013.
Maruli pernah menjabat sebagai Komandan Korem 074/Warastratama yang mengemban tanggung jawab teritorial di eks Karesidenan Surakarta, kampung halaman Jokowi. Terakhir, ia menjabat sebagai Pangdam Udayana, sebelum akhirnya kini ditunjuk menjadi Panglima Komando Strategis Cadangan Angkatan Darat (Pangkostrad), membawahi unit tempur utama TNI AD yang memiliki 35.000 personel di seluruh Indonesia.
Sebagai lulusan Akademi Militer tahun 1992, Maruli adalah salah satu prajurit termuda yang dapat beroleh pangkat letnan jenderal.
Danpaspampres pengganti Maruli Simanjuntak pada 2020–2021, Mayjen Agus Subiyanto, kini diangkat menjadi Wakil KSAD.
Agus bukan orang baru bagi Jokowi. Ia menjabat sebagai Komandan Kodim 0735/Surakarta pada 2009–2011 sehingga sudah tentu banyak berhubungan dengan Wali Kota Solo saat itu: Jokowi.
Agus kembali bersinggungan dengan Jokowi pada 2020 ketika menjadi Komandan Korem 061/Suryakencana yang wilayah tugasnya meliputi Istana Bogor, kediaman Jokowi kini. Berikutnya, Agus menjadi Danpaspampres.
Sebelum itu, Agus lebih banyak berkarier di teritorial seperti Komandan Rindam II/Sriwijaya dan Komandan Korem Tadulako. Sementara pengalaman tempur ia dapat saat bertugas sebagai Komandan Batalyon 22 Grup 2 Kopassus.
Danpaspampres periode 2017–2018, antara Andika dan Maruli, ialah Mayjen (Marinir) Suhartono. Ia adalah eks Komandan Korps Marinir, dan kini mendapat promosi sebagai Komandan Komando Pendidikan dan Latihan TNI AL.
Suhartono merupakan marinir yang kenyang pengalaman tempur. Saat operasi pembebasan kapal MV Sinar Kudus di Somalia pada 2011, ia adalah Komandan Detasemen Jalamangkara (Denjaka)—unit antiteror khusus AL. Ketika itu, Suhartono tergabung dalam Satgas Merah Putih dan berhasil membebaskan MV Sinar Kudus yang disandera perompak Somalia. Pangkatnya pun naik dari letnan kolonel menjadi kolonel.
Penunjukan Suhartono sebagai Dankodiklat AL dikritisi eks Kepala Bais TNI Laksamana Muda (Purn) Soleman Ponto. Menurutnya, Marinir adalah pasukan pendarat yang bertugas merebut pantai, mengamankan lokasi pendaratan bagi pasukan utama, dan menginfiltrasi dari pantai ke sasaran musuh. Dalam latihannya, Korps Marinir tidak dibekali pengalaman untuk mengemudikan kapal.
Ponto berpendapat, Dankodiklat seharusnya dipimpin para perwira dari Korps Pelaut.
“Latihan itu bukan hanya latihan manuver laut. Ada banyak, misalnya latihan memadamkan api di kapal—apa marinir pernah melakukan? Tidak, kan marinir di darat,” kata Ponto.
Ponto menduga penunjukan Suhartono sebagai Dankodiklat AL adalah ‘ucapan terima kasih’ Jokowi atas jasanya menjadi Danpaspampres yang bisa dipercaya.
“Itu baru kelihatan intervensinya. Karena saya di Wanjakti, selalu tanya, dia apa ini Korpsnya. Tidak bisa asal pasang. Itu profesionalisme dan budaya organisasi,” kata Ponto.
Sebelumnya, KSAL Laksamana TNI Yudho Margono menilai penunjukan Suhartono yang adalah marinir sebagai Dankodiklat AL tak masalah. Sebab, Wakil Dankodiklat berasal dari Korps Pelaut.
“Jadi Gubernur Akademi Angkatan Laut, Dankodiklatal, Danseskoal, tidak harus pelaut. Kan membina siswa di situ. Siswanya kan juga ada siswa marinir juga di situ. Akademi Angkatan Laut juga demikian, ada marinir, pelaut, teknik, elektro,” ucap Yudho.
Selain para Danpaspampres, jalan mulus juga dilewati para eks ajudan Jokowi, yakni Brigjen Widi Prasetijono dan Brigjen Dedy Suryadi.
Widi adalah ajudan presiden Jokowi pada tahun 2014 hingga 2016. Ia juga sempat menjabat Dandim 0735/Surakarta pada 2011 hingga 2012, menggantikan Agus Subiyanto. Pada periode itu, Jokowi juga masih menjabat sebagai Wali Kota Solo.
Selepas jadi Ajudan, Widi mendapat penugasan teritorial, seperti Komandan Rindam III/Siliwangi, Komandan Korem 074 Warastratama, Komandan Korem Aji Surya Natakesuma, dan terakhir sebagai Kepala Staf Kodam IV/Diponegoro.
Dalam mutasi TNI AD terbaru, dari Jawa Tengah, Widi kembali dipanggil ke Jakarta. Ia bakal menjabat Komandan Jenderal (Danjen) Kopassus, menggantikan Mayjen Teguh Muji Angkasa yang hanya sebulan menjabat sebagai Danjen Kopassus. Muji akan ditugaskan sebagai Pangdam XVII/Cenderawasih.
Head of Center for Intermestic and Diplomatic Engagement (CIDE), Anton Aliabas, menilai mutasi Muji bukan hal yang ganjil. Ia menilai mutasi dilakukan karena kebutuhan operasi.
“Itu belum sebulan. kalau itu Maruli, pasti (dibilang) politisasi. Masalahnya, dia bukan siapa-siapa. Soalnya di sana daerah rawan dan memang butuh dari pasukan tempur,” kata Anton pada kumparan.
Widi Prasetijono adalah lulusan Akademi Militer tahun 1993. Ia sempat berdinas secara singkat di Kopassus sebagai Komandan Peleton Grup 2 Kopassus pada 1995, dan Kepala Seksi Logistik Grup 1 Kopassus pada 2003.
Widi dan Dedy akan bekerja bersama pada mutasi kali ini. Sebab, Dedy ditunjuk Andika sebagai Wadanjen Kopassus. Lebih menarik lagi, Dedy juga sempat menjadi ajudan presiden Jokowi pada periode 2017 sampai 2019.
Sama seperti Widi, Dedy juga pernah menjabat sebagai Komandan Korem 074 Warastratama. Yang mengendalikan wilayah Surakarta dan sekitarnya.
Kepada mereka, kumparan telah mencoba berbincang untuk menanyai soal kedekatan dan perjalanan karier. Namun, permintaan wawancara hingga saat ini belum dipenuhi.
Muhammad Farhan memprediksi, Dedy bakal dipersiapkan kembali ke Istana sebagai Danpaspampres. Itu adalah satu jalur cepat, menuju lompatan karier yang lebih tinggi lagi.
Farhan tak menampik mereka yang jebolan Istana ibarat berada di jalur cepat naik jabatan.
Wiranto pensiun sebagai Panglima TNI, Tanto Kuswanto pensiun sebagai KSAL, dan Try Sutrisno menjadi Panglima TNI kemudian wakil presiden mendampingi Soeharto.
Berikutnya di era Presiden SBY, ada Marciano Norman yang setelah menjadi Komandan Paspampres lalu menjabat sebagai Kepala Badan Intelijen Negara.
Namun, ada perbedaan pola antara SBY dan Jokowi. Jika Jokowi cenderung memilih lingkar dekatnya, Paspampres atau ajudan, SBY menjangkau orang-orang pilihannya pada lingkup lebih luas.
“SBY itu darah biru di militer, kariernya luar biasa di militer. Jadi tahu pati-patinya siapa saja. Tak hanya lingkar dekatnya,” jelas Farhan.
Misalnya, sobat kental SBY, Djoko Suyanto yang kemudian menjadi KSAU dan Panglima TNI, selepas pensiun dipercaya SBY menjadi Menko Polhukam.
SBY juga mengangkat Erwin Sudjono, suami dari Wirahasti Cendrawasih, kandung dari Ani Yudhoyono, menjadi Pangkostrad.
Direktur Institute for Security and Strategic Studies, Khairul Fahmi, mengingatkan penunjukan pucuk pimpinan TNI harus dilakukan hati-hati. Jangan sampai, para prajurit merasa kerja keras mereka percuma selama tidak dekat dengan lingkar Istana.
“Buruk kalau kemudian perwira TNI bukan berlomba-berlomba menunjukkan kinerja terbaiknya, tapi berlomba mendekati matahari-matahari ini. Karena bagaimanapun, ah percuma kerja capai-capai tapi kalau tidak dekat sama mereka, tidak dapat juga jabatan bagus,” kata Fahmi.
Presiden harusnya mempertimbangkan masukan para pimpinan TNI. Utamanya, soal kinerja lapangan. Jangan sampai, Presiden hanya percaya dengan kerja prajurit yang pernah dekat dengannya, entah sebagai Danpaspampres, ajudan, atau pejabat militer di Solo atau Bogor.
“Jangan sampai pertimbangan politik atau nepotisme lebih mengemuka ketimbang pertimbangan profesionalnya,” kata Fahmi.
Fahmi juga menyoroti faktor oligarki. Ia tidak memungkiri terjadi oligarki pada pemilihan para pimpinan TNI. Contohnya, bagaimana Jokowi begitu permisif menempatkan famili Luhut atau Hendro, dua orang yang pernah mendukungnya dalam perjalanan politik. Jangan sampai, pendapat dua orang purnawirawan ini mempengaruhi keputusan dan penentuan jabatan prajurit.
“Kalau oligarki tidak terbantahkan, sudah jadi rahasia umum, dan oligarki itu wajar-wajar saja, tapi apakah berdampak negatif atau tidak,” kata Fahmi.
Andi Widjajanto menilai, meski ada faktor subjektivitas, namun pati TNI tersebut sudah terseleksi. Sehingga, tak ada prinsip meritokrasi yang terlanggar.
“Untuk dapat jabatan itu, mereka sudah melalui seleksi yang super duper ketat. Mereka sudah spesial. Jadi wajar, dari awal mereka sudah unggul, ketika jadi ring satu Presiden, makin unggul. Jadi, jarang, ajudan presiden tiba-tiba mentok kariernya,” tutup Andi.