Jalur Cibatu-Garut Mati Suri karena Isu PKI

23 Januari 2019 19:23 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Peta jalur Garut-Cibatu. (Foto: dok. Ibnu Murti)
zoom-in-whitePerbesar
Peta jalur Garut-Cibatu. (Foto: dok. Ibnu Murti)
ADVERTISEMENT
Garut menjadi destinasi wisata populer di era kolonial. Tercatat, pada periode 1900-1940, banyak wisatawan Eropa, dari Inggris, Jerman, Italia, dan Belanda yang berwisata ke Garut. Mereka berkunjung untuk menikmati jalur Cibatu yang pemandangannya menakjubkan.
ADVERTISEMENT
“Sebagian besar pengunjung Eropa yang pelesir ke pedalaman Jawa Barat biasanya selain ke Bandung juga ke Garut dan Cikajang karena satu paket perjalanan,” kata periset sejarah perkeretaapian di Indonesia, Ibnu Murti ke kumparan, Rabu (23/1).
Tentang Jalur Cibatu-Garut yang Legendaris Itu
Pemerintah kolonial membangun jalur kereta juga tidak sekadar demi aksesibilitas. Mereka juga memikirkan aspek estetika. Tujuannya, membangun ekonomi melalui pariwisata. Tentu, targetnya bukan bumiputera, tetapi wisatawan mancanegara.
Jalurnya dibuat meliuk-liuk menembus bukit, menyusuri lembah di tanah Priangan. Tapi, memang dirancang agar penumpang bisa menikmati pemandangan indah lanskap Priangan di sepanjang perjalanan.
Orang-orang dari Eropa yang ingin melancong ke Garut, selalu transit ke Batavia. Mereka ada yang datang melalui Pelabuhan Tanjung Priok dan ada pula yang dari Bandara Cililitan (kini Halim Perdanakusuma).
Rute Garut ke Cibatu 1980. (Foto: dok. Rob Rickinson)
zoom-in-whitePerbesar
Rute Garut ke Cibatu 1980. (Foto: dok. Rob Rickinson)
Kereta yang digunakan di awal abad 20 sudah menggunakan tenaga listrik. Salah satu yang menonjol, diresmikannya KRL dalam kota Batavia pada 1925. Akses dari pelabuhan ke pusat kota Batavia semakin mudah
ADVERTISEMENT
Infrastruktur Batavia yang sudah memadai itu juga menjadi faktor makin banyaknya orang Eropa yang ingin membuktikan keindahan Garut.
“Brosur-brosur iklan wisata ke Jawa Barat dan tips bertransaksi dengan orang lokal termasuk tips menikmati makanan tropis sudah banyak dipajang di hotel-hotel terkenal Batavia,” ujarnya.
Brosur hotel di kawasan Priangan. (Foto: dok. Ibnu Murti)
zoom-in-whitePerbesar
Brosur hotel di kawasan Priangan. (Foto: dok. Ibnu Murti)
Meski kerap penuh, kereta untuk orang Eropa tidak pernah padat dan amburadul. Sebab, penumpang dibatasi sesuai tempat duduk.
Namun, Ibnu menjelaskan, apabila ingin pesan tiket dari Batavia menuju Priangan tidak selalu mudah. Terutama saat masa musim liburan, Juni sampai September setiap tahunnya, agar tidak kehabisan tiket.
“Siapa cepat, dia dapat,” ujar Ibnu.
Sungai Cimanuk Garut tahun 1900. (Foto: Dok. KITLV 82582)
zoom-in-whitePerbesar
Sungai Cimanuk Garut tahun 1900. (Foto: Dok. KITLV 82582)
Matinya Jalur Cibatu-Garut dan Isu PKI yang Menghantui
Kebiasaan pelesir orang Eropa menggunakan kereta api menyusuri Priangan masih berlanjut hingga dekade 1980-an.
ADVERTISEMENT
Namun, mundurnya perkeretaapian Indonesia sejak awal Orde Baru memicu penutupan banyak jalur. Lokasi-lokasi wisata di pedalaman Priangan yang sempat terkenal pada era kolonial perlahan tergantikan oleh daerah wisata lain.
"Kondisi jalan raya waktu itu belum sebagus sekarang menyebabkan wisata bertaraf internasional di Garut, Cikajang, Pangandaran semakin redup dan terlupakan oleh orang-orang Eropa. Sampai sekarang," ungkap dia.
Ibnu menjelaskan, penutupan sejumlah jalur kereta api itu sangat dipengaruhi aspek politik. Ceritanya, jumlah buruh dalam pembangunan jalur kereta api yang mencapai 80 ribu orang. Itupun belum termasuk para pekerja kontrak.
"Mereka tergabung dalam Serikat Buruh Kereta Api (SBKA) di bawah SOBSI. SOBSI ini onderbouw PKI. Jadi SBKA lekat betul dengan PKI," tutur Ibnu.
Rute Garut ke Cibatu 1980. (Foto: dok. Rob Rickinson)
zoom-in-whitePerbesar
Rute Garut ke Cibatu 1980. (Foto: dok. Rob Rickinson)
Ketika Orde Lama tumbang, pemerintah Orde Baru pun mengadakan penyaringan besar-besaran terhadap buruh tersebut. Penyaringan itu dilakukan antara 1965 hingga 1968.
ADVERTISEMENT
"Jenderal Kostrad pun ditaruh menjadi direktur kereta api ketika itu (PNKA atau Perusahaan Negara Kereta Api) untuk membersihkan pengaruh komunis. Hasilnya dua per tiga buruh dipecat dan dipenjara," ujar dia.
Ibnu menambahkan, hal itu juga dirasakan oleh pegawai-pegawai yang diduga tidak bersalah karena sekadar ikut-ikutan. Terjadilah kekurangan tenaga kerja.
"Akibatnya banyak kekurangan tenaga ahli kereta api. Banyak jalur yang ditutup. Termasuk di Cibatu-Garut, dan sebagainya," katanya.
Selain itu, pada tahun 1970-an juga sedang digalakkan energi minyak bumi akibat perang antara Arab Saudi-Israel tahun 1967. Hal itu menyebabkan, harga minyak meroket,
"Indonesia menikmati betul harga minyak tersebut. Pengembangan transportasi jalan raya pun didahulukan. Investor masuk, pabrik-pabrik mobil dibuat, sampai ada peristiwa Malari (Malapetaka 15 Januari) 1974 karena penolakan modal Jepang. Saling terkait deh pokoknya," beber Ibnu.
Nasib lokomotif depo Cibatu 1996. (Foto: Dok. Harriman Widiarto)
zoom-in-whitePerbesar
Nasib lokomotif depo Cibatu 1996. (Foto: Dok. Harriman Widiarto)
Bahkan, Ibnu menyebut tahun 1970-1980 sebagai masa suram perkeretaapian Indonesia. Pada masa itu, rute Cibatu-Garut ditutup karena kekurangan tenaga ahli kereta api. Rute Cibatu-Garut yang berstatus lintas cabang tidak menjadi prioritas lagi.
ADVERTISEMENT
Penutupan itu tidak diumumkan oleh surat kabar baik lokal maupun nasional, Hanya ada pengumuman di loket Stasiun Cibatu bahwa jalur ke Garut ditutup sementara pada 1982.
"Nyatanya tidak pernah dibuka lagi," ujarnya.
Baru pada 2019, Presiden Jokowi berencan mengaktivasi jalur legendaris tersebut. Peletakan batu pertama sudah dilakukan pada Sabtu (19/1).