Jalur Keretaku, Biang Macetku

18 Oktober 2018 12:55 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Benang kusut Pasar Minggu (Foto: Cornelius Bintang/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Benang kusut Pasar Minggu (Foto: Cornelius Bintang/kumparan)
ADVERTISEMENT
Ada lagu daerah berbunyi demikian, “Pepaya mangga pisang jambu. Dibawa dari Pasar Minggu. Di sana banyak penjualnya. Di kota banyak pembelinya.”
ADVERTISEMENT
Lagu daerah berjudul Pepaya mangga pisang jambu itu adalah representasi dari masyhurnya Pasar Minggu sebagai pusat perdagangan di Ibu Kota Jakarta. Dengan komoditas utama berupa buah-buahan, Pasar Minggu ramai didatangi khalayak.
Pasar Minggu adalah denyut ekonomi yang tumbuh di selatan Jakarta. Tak hanya dari daerah sekitar, masyarakat dari luar daerah pun banyak mengunjungi tempat ini. Sebut saja dari ujung-ujung barat, utara, timur Jakarta hingga dari daerah lebih ke selatan, semisal Depok dan Bogor.
Dengan denyut ekonomi yang kuat, Pasar Minggu menyimpan rupa kelabu. Rupa ini berupa kemacetan dan kesemrawutan lalu lintas yang akarnya sulit dicabut.
kumparan mengulik akar kemacetan yang sulit dicabut dari Pasar Minggu. Dengan bantuan sejarawan lulusan Universitas Leiden Belanda, Ghamal Satya Mohammad, musabab dari ramainya Pasar Minggu tertelusuri.
Sejarawan Universitas Indonesia, Ghamal Satya Mohammad (Foto: Nesia Qurrota A'yuni/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Sejarawan Universitas Indonesia, Ghamal Satya Mohammad (Foto: Nesia Qurrota A'yuni/kumparan)
Dari penuturan Ghamal, sekitar awal abad 20 Pasar Minggu sudah cukup dikenal masyarakat. Pasar Minggu yang terletak di selatan Jakarta terus berkembang menjadi pusat ekonomi yang besar kala itu.
ADVERTISEMENT
“Untuk wilayah selatan dia itu menjadi semacam pintu masuk. Jadi daerah-daerah yang ada di bawahnya sampai ke Bogor itu Tanjung Barat itu jadi titik aktivitas dari pedagang-pedagang,” urai dosen Sejarah Universitas Indonesia itu, Rabu (17/10).
Tak hanya berdagang lalu pulang, beberapa di antara mereka ada yang menetap di sana. Satu per satu orang menetap hingga seterusnya Pasar Minggu menjadi wilayah yang padat.
Sementara, pada awal abad ke-20, Pemerintah Kolonial Belanda adalah pemangku kekuasaan di Jakarta, dulu disebut Batavia. Belanda cenderung membangun Jakarta sesuai dengan lanskap yang ada.
Terkait dengan Pasar Minggu, wilayah ini adalah belahan barat dari bentangan Sungai Ciliwung.
“Dulu itu ada wilayah namanya yang namanya Tanjung West sama Tanjung Oost. Tanjung West itu adalah Tanjung Barat. Tanjung Oost itu Tanjung Timur, sekarang Tanjung Barat tempatnya di mana? Ya di situ sampai ke Pasar Minggu itu daerah Tanjung Barat,” papar Ghamal.
ADVERTISEMENT
Wilayah Tanjung Barat ini pada dulunya lebih ramai dibanding Tanjung Timur. Salah satu musababnya adalah dibukanya jalur kereta Jakarta-Bogor di depan Pasar Minggu.
Dikutip dari buku Sejarah Perkeretaapian Indonesia, jalur kereta Jakarta-Bogor mulai dibangun pada 15 Oktober 1869. Jalur ini dibangun sepanjang 58.560 meter. Di sepanjang jalur tersebut, ada sekiranya 15 stasiun dibangun, antara lain Stasiun Jakarta Kota, Sawah Besar, Pintu Air (Noordwijk), Gambir, Pegangsaan, Jatinegara, Pasar Minggu, Lenteng Agung, Pondok Cina, Depok, Citayam, Bojong Gedeh, Cilebut, dan Bogor.
Jalur kereta itu dibangun untuk memudahkan mobilitas penduduk saat itu demi menunjang kegiatan perekonomian. Pasar Minggu menjadi salah satu titik tuju dari banyak orang saat itu. Tak ayal, keramaian adalah rupa-rupa yang selalu ada dalam sejarah Pasar Minggu.
ADVERTISEMENT
“Pasar Minggu itu letaknya di jalur kereta. Jalur kereta ada kaitannya. Dan permukiman berkembang dengan seiring baiknya sistem transportasi. Jadi Pasar Minggu ada di situ, kereta ada di situ itu mendukung semakin ramai,” Ghamal menguraikan.
Keramaian yang ada membuat wilayah Pasar Minggu tak terhindarkan dari macet. Apalagi, setelah Indonesia merdeka, pembangunan besar-besaran mulai dilakukan untuk wilayah ini sehingga masyarakat pun datang menyerbu. Prinsipnya, semakin sebuah kota ditata, semakin dia menjadi primadona.
“Macet di Jakarta sebenarnya dimulai sejak pembangunan besar-besaran yang tertumpu pada Kota Jakarta,” kata Ghamal.
Melihat hal tersebut, tampak ada suatu kesalahan dalam penataan Jakarta.
“Kurangnya penataan, perencanaan yang jauh ke depan. Itu yang menyebabkan kemacetan ke depan. Ditambah dengan bagaimana padatnya Kota Jakarta itu sendiri,” ungkap Ghamal.
Sejarawan Universitas Indonesia, Ghamal Satya Mohammad (Foto: Nesia Qurrota A'yuni/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Sejarawan Universitas Indonesia, Ghamal Satya Mohammad (Foto: Nesia Qurrota A'yuni/kumparan)
Kesalahan tersebut sebenarnya masih bisa ditangani. Ghamal memberi opsi, dengan memisahkan pusat aktivitas politik dan ekonomi negara akan menjadi solusi mengurangi kemacetan. Ya, di Indonesia kini, pusat politik dan ekonomi masih berada di Jakarta. Padahal, banyak di luar sana wilayah yang potensial menggantikan peran Jakarta.
ADVERTISEMENT
Pada dasarnya, Jakarta termasuk Pasar Minggu dalam perkembangannya tidak pernah menjadi sebuah tempat yang eksklusif. Heterogenitas adalah napas Jakarta. Semua orang dari mana pun bisa tinggal di sana.
Akan tetapi, inilah yang menjadi biang dari kemacetan yang terjadi. Kemacetan yang kadang kala membuat sebal siapa pun yang menjumpainya.
Pelanggar lalu lintas di simpang Pasar Minggu (Foto: Muhammad Fadli Rizal/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Pelanggar lalu lintas di simpang Pasar Minggu (Foto: Muhammad Fadli Rizal/kumparan)
Macet sendiri sebenarnya juga disebabkan karena perilaku tak patuh lalu lintas dari masyarakat. Di Pasar Minggu, bisa dibilang sistem lalu lintas yang ada masih sering dilanggar. Inilah celah yang mau tak mau harus segera dibenahi.
“Masyarakat itu mengikuti apa yang ada (sistem atau kebiasaan),” ungkap Ghamal.
Oleh sebab itu, Ghamal memberi contoh, Indonesia bisa meniru Jepang dalam urusan ketertiban, khususnya dalam hal berkendara.
ADVERTISEMENT
Dewasa ini orang mengenal Jepang adalah negara dengan penduduk yang tertib. Namun, bila dilihat kembali ke belakang, masyarakat Jepang bukanlah mereka yang patuh terhadap aturan alias semrawut. Butuh waktu yang panjang untuk mendidik masyarakat Jepang supaya tertib. Semua tak bisa instan.
Jepang, salah satu negara yang ramah difabel. (Foto: Jezael Melgoza/Unsplash)
zoom-in-whitePerbesar
Jepang, salah satu negara yang ramah difabel. (Foto: Jezael Melgoza/Unsplash)
Adanya Olimpiade Tokyo 1964, menjadi momentum yang membuat masyarakat Jepang benar-benar menjadi bangsa yang tertib. Mereka ingin membuktikan kepada dunia bisa menjadi tuan rumah yang baik dengan aspek ketertiban penduduknya.
Dan, setelah berhasil menjadi tuan rumah, kebiasaan untuk tertib itu pun terus menggema. Bahkan terus menjadi kebiasaan hingga menjadi ciri khas saat ini.
Indonesia pun tak ada salahnya meniru Jepang, menjadi bangsa yang tertib dalam segala hal. Keberhasilan menjadi tuan rumah Asian Games dan Asian Para Games tempo hari lalu juga bisa dijadikan momentum.
ADVERTISEMENT
Simak selengkapnya dalam konten spesial Benang Kusut Pasar Minggu.