Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Arsitek legendaris Oscar Niemeyer tak pernah menyesali berdirinya kota yang ia rancang pada 1956—Brasilia. Tapi, perkembangan ibu kota Brasil itu kini membuatnya waswas. Laju kota kian buas.
Brasilia dibangun untuk menggantikan peran Rio de Janeiro selaku ibu kota Brasil. Brasilia dirancang menampung 500.000 orang, tetapi mendekati perayaan 50 tahun usia kota itu pada 2008 lalu, populasi kota meledak menjadi 2,2 juta jiwa.
Kekurangan infrastruktur, menjamurnya permukiman kumuh, dan merebaknya kejahatan menghiasi keseharian penduduk Brasilia.
“Cara Brasilia berevolusi menyimpan masalah. Seharusnya ia berhenti tumbuh beberapa waktu lalu. Sekarang lalu lintas menjadi lebih sulit, jumlah penduduk telah melampaui target. Batas terlrwati,” kata Niemeyer kepada The Guardian, 12 Maret 2008.
Brasilia dibangun pada 1956 oleh Presiden Juscelino Kubitschek dalam waktu 41 bulan. Ibu kota Brasil yang lama, Rio de Janeiro, dianggap terlalu sesak. Pada 1960, Brasilia diresmikan sebagai ibu kota baru menggantikan Rio de Janeiro.
Apa pun, rasa khawatir yang dirasa Niemeyer itu sepertinya tak tampak dalam Kajian Pemindahan Ibu Kota yang disusun oleh Tim Nawa Cipta.
Tim Nawa Cipta menyusun sebuah analisis kebijakan yang diserahkan kepada Presiden Joko Widodo pada 20 Maret 2017. Laporan yang sama dikembangkan lalu diserahkan kepada Badan Perencanaan Pembangunan Nasional pada 24 Januari 2018.
Brasil, dalam catatan Tim Nawa Cipta, masuk pada kolom negara yang berhasil memindahkan ibu kota. Mereka menggunakan tiga kriteria. Pertama, terbentuknya ekosistem fisik pemerintahan yang lebih baik.
Kedua, terciptanya keseimbangan perkembangan sosial, ekonomi, dan politik antarkawasan. Ketiga, terwujudnya kesinambungan keunggulan kompetitif dari negara tersebut secara global.
Tak hanya Brasil yang tercantum pada data Tim Nawa Cipta. Terdapat 52 negara pada daftar contoh pemindahan ibu kota negara. Kajian itu kemudian menjadi salah satu bahan pertimbangan Presiden Jokowi saat menggelar Rapat Terbatas tentang Tindak Lanjut Rencana Pemindahan Ibu Kota, Senin (29/4).
Pemerintah menilai Jakarta sudah terlalu berat memikul dua beban sekaligus: sebagai pusat pemerintahan dan bisnis.
Dengan kondisi Jakarta yang kini mengkhawatirkan dan makin mencemaskan di masa depan, maka pergi meninggalkan Jakarta boleh jadi semacam aksi sambil menyelam minum air—menyelesaikan permasalahan kota sembari mendorong pemerataan pembangunan ekonomi.
Alasan ini pula yang digunakan ketika pemerintah Brasil memindahkan ibu kota dari Rio de Janeiro ke Brasilia.
“Pemindahan ibu kota ke Brasilia pada 1950-an berhasil menjadikan Brasilia kota terbesar ketiga di Brasil. Kota Brasilia itu terletak di daerah yang tergolong remote—jauh ke tengah negara Brasil, dibanding Rio de Janeiro atau São Paulo yang terletak di pantai. Praktik itu barangkali bisa diterapkan di Indonesia,” kata Kepala Bappenas Bambang Brodjonegoro kepada kumparan, Rabu (1/5).
Jokowi sudah mengembuskan wacana pemindahan ibu kota sejak 2017. Namun kala itu, anggaran kajian yang diajukan pemerintah sebesar Rp 7 miliar melalui rapat anggaran APBN Perubahan ditolak oleh DPR. Kajian itu dianggap tak urgen.
Meski begitu, kajian ternyata berjalan. Bambang Brodjonegoro menyatakan, pembangunan ibu kota baru membutuhkan waktu antara 10 sampai 15 tahun dengan perkiraan biaya sebesar Rp 466 triliun. Pemerintah berencana melibatkan pihak swasta dalam pembiayaan agar tak membebani APBN.
Ada tiga kandidat kota di Kalimantan yang potensial menjadi ibu kota baru. Pulau itu dipilih karena berada di titik tengah Indonesia. Selain itu, Kalimantan dipandang paling aman dari ancaman bencana.
Ia satu-satunya pulau besar di Indonesia yang berada di luar lingkar api Pasifik (ring of fire)—wilayah dengan pergerakan lempeng tektonik aktif sehingga rawan gempa, tsunami, dan letusan gunung api.
Kalimantan bukannya bebas sepenuhnya dari bencana. Menurut Manajer Kampanye Pangan, Air, dan Ekosistem Esensial Wahana Lingkungan Hidup Indonesia, Wahyu Perdana, Kalimantan—termasuk Palangka Raya yang kerap disebut sebagai kandidat terkuat ibu kota—rawan kebakaran hutan dan banjir.
Merujuk laporan Tinjauan Lingkungan Hidup Walhi 2019, terdapat 2.423 titik panas di Kalimantan pada tahun 2018. Dari jumlah itu, 420 titik berada di Kalimantan Tengah—provinsi tempat Palangka Raya berada. Total titik panas yang terekam di Kalimantan hampir dua kali lipat dibanding titik panas di Sumatera.
Titik-titik panas yang menjadi sumber bencana di Kalimantan itu, menurut Wahyu, kebanyakan akibat ulah manusia sehingga semestinya masih dapat dihindari.
Walau begitu, Manajer Kampanye Perkotaan dan Energi Walhi, Dwi Sawung, khawatir bila kebiasaan buruk memperlakukan lingkungan seenaknya tak jua hilang. Jika itu yang terjadi sementara salah satu wilayah di Kalimantan menjadi ibu kota, maka pembangunan tak terkontrol dapat mengancam kawasan hutan lindung yang berada di pulau itu.
“Kalau model pembangunan kota sama dengan yang dilakukan di Jakarta, maka sama saja memindahkan masalah di Jakarta ke ibu kota baru itu. Dan tetap saja Jakarta harus diperbaiki,” ujarnya di Kantor Walhi, Jakarta Selatan, Jumat (3/4).
Tanpa ada ibu kota di Kalimantan pun, pulau itu berdasarkan prediksi World Wildlife Fund mengalami laju deforestasi tak terkendali yang berisiko memusnahkan 75 persen hutannya pada tahun 2020. Artinya, Kalimantan terancam kehilangan 10-13 juta hektare hutan selama periode 2015-2020.
“Kalau tidak bagus di perencanaan (pemindahan ibu kota), pembangunan kota bisa tiba-tiba meluas. Hutan-hutan Kalimantan juga bisa habis. Belum lagi konflik sosial. Kalau dulu orang Betawi terpinggirkan di Jakarta, mungkin penduduk asli Kalimantan bisa terpinggirkan juga,” ujar Dwi.
Menata Jakarta
Dwi menyarankan agar rencana pemindahan ibu kota perlu dipertimbangkan ulang. Menurutnya, lebih baik pemerintah menyelesaikan segudang persoalan di Jakarta ketimbang memindah ibu kota.
Pemerintah bisa mencontoh pengalaman negara lain seperti Korea Selatan dan Jepang. Kedua negara tersebut berhasil mengurangi masalah yang menimpa ibu kota mereka.
Di Seoul, pemerintah memaksa warga menggunakan transportasi publik dengan merobohkan sejumlah jalan layang. Sejak 2002, tercatat 15 jalan layang telah dirobohkan oleh Pemerintah Kota Seoul.
Sementara Tokyo berhasil memperlambat penurunan muka air tanahnya dengan menerapkan regulasi ketat sejak akhir dekade 1960. Di kota itu, penggunaan air tanah pada bangunan memerlukan izin pemerintah. Tiap bangunan pun wajib membangun tempat resapan air hujan.
Hasilnya, laju penurunan muka air tanah di Tokyo melambat dari 24 sentimeter pada 1968 menjadi 1 cm pada 1970.
Direktur Rujak Center for Urban Studies, Elisa Sutanudjaja, sependapat dengan Walhi. Menurutnya, ibu kota mestinya tetap dipertahankan di Jakarta, sebab Jakarta bukan tak mungkin dibenahi. Syaratnya: komitmen penuh pemerintah dalam menata Jakarta.
Lebih lanjut, Elisa mengkritik sejumlah kebijakan pemerintah yang justru kontraproduktif dalam menyelesaikan masalah di Jakarta. Misalnya, membangun jalan tol untuk mengatasi kemacetan Jakarta.
Tahun ini saja, pembangunan enam tol dalam kota sepanjang 69,77 kilometer dengan nilai investasi Rp 41,17 triliun justru sedang dimulai. Pembangunan ini masuk dalam Proyek Strategis Nasional yang dicanangkan pemerintah pusat.
Padahal, menurut Elisa, pemerintah seharusnya menangani kemacetan Jakarta dengan membatasi penjualan kendaraan bermotor dan terus membangun transportasi publik memadai.
“Jakarta masih bisa dan harus diperbaiki. Masalahnya hanya pada political will pemerintah. Kalau punya political will, pasti anggaran berapa pun bisa dicari,” ujar Elisa.
Argumen serupa dilontarkan ahli tata kota Nirwono Joga. Ia menilai, ketimbang bersusah payah membangun ibu kota baru, pemerintah sebaiknya fokus menyelesaikan persoalan Jakarta. Seperti Elisa, Nirwono juga menyoroti inkonsistensi pemerintah dalam membenahi berbagai persoalan di ibu kota.
“Persoalannya adalah kita tidak pernah tuntas untuk membenahi Jakarta. Ganti pemimpin, ganti kebijakan. Jadi programnya tidak konsisten,” kata dia.
Dari sisi anggaran, perkiraan biaya pindah ibu kota senilai Rp 466 triliun dianggap mubazir. Angka itu setara 95 persen anggaran pendidikan di APBN 2019, 379 persen anggaran kesehatan, dan 112 persen anggaran infrastruktur.
Ekonom INDEF Bhima Yudhistira memprediksi pembiayaan pemindahan ibu kota akan dilakukan lewat skema pembiayaan multiyears selama 10 atau 15 tahun. Namun, ia menduga pihak swasta tidak terlalu tertarik untuk berpartisipasi karena sifat proyeknya yang semikomersial.
“Mungkin swasta tertarik bikin perumahan untuk PNS. Tapi untuk bangunan-bangunan lainnya yang tidak komersil, saya kira tidak akan tertarik,” ujarnya, Kamis (2/4).
Bhima menilai, alasan pemerataan ekonomi terlalu dangkal untuk memindah ibu kota. Menurut Bhima, pemindahan ibu kota tak serta-merta melahirkan pusat-pusat pertumbuhan ekonomi baru.
Ia menekankan, ketimpangan pembangunan antarwilayah tidak tergantung pada letak ibu kota, melainkan kebijakan ekonomi pemerintah. Meskipun ibu kota dipindah ke luar Jawa, selama industri ekonomi masih berpusat di Jawa, pemerataan ekonomi tak mungkin tercapai.
“Selama kepentingan-kepentingan pengusaha yang berkelindan dengan politik itu masih didominasi kepentingan di Jawa, ibu kota pindah ke Merauke pun tidak berpengaruh. Jadi ini masalah policy untuk pemerataan, bukan ibu kota-nya ada di mana,” kata Bhima.
Memindahkan ibu kota memang belum tentu berhasil menggerakkan perekonomian. Upaya Junta Militer Myanmar memindah ibu kota dari Yangoon ke Naypyidaw pada 2005 bisa menjadi contoh.
Naypyidaw dibangun Jenderal Than Shwe di lahan seluas 7.054 km persegi atau hampir empat kali luas ibu kota Inggris, London, 1.569 km persegi. Tak jelas benar alasan pembangunan ibu kota baru itu. Namun The Guardian menuliskan, Naypyidaw merupakan politik mercusuar sang junta.
Rumor mengatakan pembangunan Naypyidaw menelan biaya USD 4 milyar. Sayangnya, kota itu malah menjelma kota hantu. Penduduk menolak pindah ke ibu kota baru yang terletak 369 km di utara Yangoon itu.
Catatan resmi pemerintah Myanmar menunjukkan, Naypyidaw hanya dihuni 1 juta jiwa. Artinya, jumlah penduduk kota itu 9 kali lebih kecil dari populasi London, padahal luas Naypyidaw 4 kali luas London.
Jumlah penduduk Naypyidaw bahkan diduga The Guardian jauh lebih kecil dari klaim pemerintah Myanmar.
Ketimbang menghabiskan biaya untuk memindah ibu kota, Bhima menganggap lebih baik anggaran dialokasikan untuk membuka kawasan industri baru di timur Indonesia.
Pendapat Bhima itu diamini Nirwono. Ia sepakat bila anggaran pembangunan ibu kota dialokasikan untuk membangun pusat-pusat ekonomi di berbagai daerah, untuk menekan angka urbanisasi yang makin menyesakkan Jakarta.
“Dana pemindahan ibu kota bisa dioptimalkan untuk membangun pusat ekonomi baru di luar DKI Jakarta dengan cara berlapis. Lapis pertama di wilayah Bodetabek (Bogor Depok Tangerang Bekasi). Lapis kedua di kota-kota besar di Jawa, dan lapis ketiga di kota-kota besar di luar Jawa,” kata Nirwono.
Jangan sampai memindahkan ibu kota menjadi alasan untuk berpaling dari runyamnya masalah Jakarta. Apalagi jika hanya memindah kejamnya ibu kota ke Kalimantan.