Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Janji 'Surga' Listrik Kedondong di Aceh Timur
2 April 2018 15:56 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:10 WIB
ADVERTISEMENT
Masih ingat dengan kisah Naufal Raziq (15) siswa Madrasah Tsanawiyah Negeri 1 Langsa, si penemu energi listrik dari pohon kedondong ? Pencapaiannya heboh di media pemberitaan hingga PT Pertamina EP menjadi sponsor temuan Naufal.
ADVERTISEMENT
Untuk mengembangkan temuan itu, medio 2016 silam pihak Pertamina EP Rantau Field berkunjung ke desa Tampur Paloh yang berada di pedalaman Aceh Timur. Pertamina menawarkan listrik bersumber dari pohon kedondong untuk di pasang di sana. Dikabarkan saat itu ada sekitar 60 rumah warga berhasil dihidupkan atas percobaan tersebut.
Namun mimpi masyarakat Tampur Paloh yang ingin merasakan arus listrik hanya hiburan sesaat. Hingga saat ini desa yang dikelilingi gunung Punggung Leusong, Bur Bujang Selamat, Bendahara, dan Sanggapani itu masih dalam gelap gulita.
Hasbi (53) duduk bersila sambil bersandar di dinding depan rumah. Baju koko masih melekat di tubuhnya, siang itu ia baru pulang melaksanakan ibadah salat Jumat. Sebatang rokok dan kopi setengah tandas berada di depannya.
ADVERTISEMENT
kumparan (kumparan.com ) mengunjungi Desa Tampur Paloh di pengujung Maret lalu. Dari kejauhan, Hasbi tampak sudah berdiri menyambut kedatangan kami. Meski usia sudah tak lagi muda, semangatnya masih membara saat menceritakan sejumlah persoalan di desanya yang jauh dari hiruk-pikuk kota.
“Pohon kedondongnya sih ada tuh di belakang rumah, tapi energinya yang enggak ada,” ucap Hasbi, tertawa mengawali kisah desa Tampur Paloh yang menjadi bahan percobaan listrik kedondong.
Hasbi mengisahkan, sejak kampung mereka berdiri hingga saat ini warga masih dalam gelap gulita. Masyarakat belum merasakan adanya cahaya penerangan. Masyarakat di sana sempat merasakan kekecewaan karena dibohongi oleh energi bersumber dari pohon kendondong
“Kampung kami jadi tempat percobaan, pada saya pernah itu saya pernah bernah bertanya kepada pihak Pertamina apakah ini akan berdampak kepada masyarakat dalam jangka waktu panjang. Mereka katakan bisa ternyata separuh perjalanan kami tolak karena tidak bisa,” ujar Hasbi.
ADVERTISEMENT
Pada 2016 lalu Pertamina memasang instalasi listrik sekitar 30 rumah warga di Tampur Paloh, bersumber energi listrik diambil dari enam pohon batang kedondong yang ditanami di belakang rumah warga. Alhasil pemasangan itu hanya hidup saat ada kegiatan kunjungan pertamina dan pihak terkait setelah itu listrik kembali padam.
“Masyarakat sempat menikmati cahaya lampu selama dua jam waktu itu, sementara di sekolah sampai Seminggu. Kalau di rumah saya cuma dua jam, setelah itu tidak hidup sama sekali,” ucap Hasbi salah seorang tokoh masyarakat.
Hasbi merasakan kejanggalan dengan energi listrik bersumber dari pohon kendondong, pasalnya lampu di rumahnya selalu hidup saat ada acara kunjungan pihak tertentu dan setelah kegiatan tersebut lampu kembali padam.
ADVERTISEMENT
Karena penasaran kemudian Hasbi mencoba mengotak-atik ingin mencari sumber arus listri yang berada dibalik pohon kedondong tersebut. Alhasil setelah diperiksa ia menemukan baterai yang melekat pada instalasi pada bagian pohon.
“Rupanya ada baterai di dalam makanya hidup, itu memang saya sendiri yang menemukannya,” ujar Hasbi.
Kondisi gelap gulita telah dijalani warga Tampur Paloh sejak desa mereka berdiri hingga saat ini. Masyarakat di sana sama sekali belum pernah merasakan aliran listrik PLN milik negara. Namun beberapa warga sudah menggunakan genset dan sebagiannya masih menggunakan lampu teplok lantaran tidak sanggup membayar uang bulanan untuk pembelian minyak.
Bagi rumah warga yang mendapatkan aliran lsitrik tenaga disel (genset) hanya hidup mulai dari pukul 18.00 hingga 23.00 WIB malam, setelah itu minyak habis dan Tampur Paloh gelap gulita. Untuk membayar uang pembelian minyak, bagi warga yang mampu dibebani biaya 90 ribu perbulannya. Sementara bagi rumah warga memiliki televisi membayar sebanyak 150 per bulan.
ADVERTISEMENT
Di Tampur Paloh ada 8 genset milik pribadi warga. Dalam satu genset menampung sebanyak 7 hingga 10 rumah warga dengan jumlah penduduk di sana sebanyak 112 KK atau 400 jiwa.
“Dari jam 12 sampai pagi itu gelap gulita tidak ada lampu masih kayak jaman Belanda dululah kami pakai lampu teplok. Kadang-kadang ada rumah warga yang enggak pakai lampu, karena enggak sanggup beli minyak sedih enggak. Seperti ibu-ibu yang janda kita bangunin kok enggak ada orang padahal ada di dalam tapi karena gelap,” ujar Hasbi (50) tokoh masyarakat Tampur Paloh, sambil tersenyum menceritakan kondisi desanya kepada kumparan (kumparan.com) Jumat malam (30/3).
Hasbi mengaku masyarakat di Tampur Paloh belum merasakan kemerdekaan sesugguhnya. Warga di sana tidak mendapatkan posisi layaknya daerah lain di wilayah Aceh Timur. Desa mereka bak seorang anak yang dibuang oleh ayah dan ibunya.
ADVERTISEMENT
“Ya jelaslah kami belum merdeka, pertama kami lampu penerangan belum ada, jaringan komunikasi tidak ada, transportasi masih naik boat. Itu tandanya belum merdeka. Walaupun negara kita sudah merdeka tapi kami belum menikmatinya,” tutur Hasbi.
Hasbi mengatakan pembangunan tidak adil, pemerintah hanya mengutamakan pembangunan di daerah perkotaan. Sementara warga di daerah pendalaman tidak ada perhatian dan terus menderita selama bertahun-tahun.
"Pemerintah cuma ada dari pihak Bappeda yang pernah kemari. Tetapi kalau untuk Bupatinya sendiri belum pernah sama sekali. Kami hanya mendapatkan janji-janji surga, tetapi tidak pernah ditepati apa yang diucapkan itu. Dulu pernah dijanjikan pembangunan PLTA, PLN tapi sampai saat ini belum pernah kami rasakan,” sebut Hasbi.
ADVERTISEMENT