Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Janteloven, Koper Raja Swedia, dan Mewahnya Kesederhanaan
22 Mei 2017 7:16 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:17 WIB
ADVERTISEMENT
Sabtu (20/5) lalu, saat segala megah meriah telah dipersiapkan baginya, Donald Trump tiba-tiba menolak begitu saja untuk mengunjungi Benteng Masada, Israel. Alasannya remeh temeh: ia tak mau naik kereta gantung.
ADVERTISEMENT
Ia, yang merupakan pemimpin tertinggi kekuatan militer terbesar dunia itu, hanya mau naik helikopter.
Entah apa alasannya --apakah karena ia takut ketinggian, ataukah ia tak ingin terlihat seperti rakyat biasa dengan menaiki kereta gantung untuk para turis itu-- ia benar-benar menolak mengunjungi situs sejarah berusia 2000 tahun apabila tak naik helikopter dan memilih membatalkan rencana kunjungannya ke sana.
Padahal, presiden-presiden Amerika Serikat sebelum Trump seperti Bill Clinton dan George Bush, mau-mau saja naik kereta gantung untuk mencapai benteng yang berada di wilayah Judea, selatan Israel. Mereka tak memaksa naik helikopter, apalagi membatalkan kunjungannya.
Patut diketahui, helikopter memang tak bisa mendarat di atas situs sejarah yang telah rapuh tersebut. Angin keras dari baling-baling helikopter akan merusak struktur bangunan.
ADVERTISEMENT
Tentunya, pengelola cagar budaya tersebut tak mau mengorbankan warisan masa Raja Judaea, Harod yang Agung, hanya untuk seorang presiden Amerika Serikat.
Sementara itu, kemarin (21/5) di belahan bumi yang lain, seorang raja sebuah bangsa dari Eropa Utara, justru menunjukkan perangai yang jauh berbeda dari kesan royal maupun mewah berlebih.
Ia adalah Carl XVI Gustaf dari Kerajaan Swedia. Alih-alih minta dijadikan spesial layaknya Trump, laki-laki berumur 71 tahun itu dengan rendah hati melakukan apa yang sebenarnya mudah saja ia perintahkan buat orang lain.
Saat mengunjungi Indonesia bersama dengan istrinya, Ratu Silvia, Raja Gustaf benar-benar menunjukkan kesederhanaan. Pertama, ia sama sekali tak menggunakan pesawat ataupun jet pribadi. Ia dan rombongannya hanya menunggangi maskapai komersial biasa yaitu Qatar Airways dan harus turun di Bandara Soekarno-Hatta, bukan di Halim layaknya tamu negara lainnya. Padahal, ia melakukan perjalanan panjang dari Stockholm, Swedia, yang menghabiskan waktu sekitar 17 jam.
ADVERTISEMENT
Yang kedua, ia terlihat menenteng koper pribadinya sendiri. Bukan sebuah koper yang besar pula, hanya sebuah koper jinjing cokelat biasanya yang, menurut sumber istimewa, berisi pakaian pribadi Raja Gustaf sendiri. Perilaku sederhana dan cenderung rendah hati, sungguh cocok apabila dikaitkan dengan falsafah hidup orang Skandinavia.
Falsafah yang dimaksud adalah Hukum Jante, atau yang di negeri-negeri asalnya disebut dengan Janteloven. Hukum, atau norma opresif Jante tersebut sederhananya memaksa orang-orang untuk mempertahankan nilai egalitarianisme masyarakatnya: bahwa untuk menjaga harmoni di masyarakat tersebut, tak ada yang boleh lebih menonjol dari yang lain.
Hukum Jante ini sendiri berasal dari sebuah novel-autobiografis karya seorang Norwegia bernama Aksel Sandemose (1899-1965) berjudul A Fugitive Crosses His Tracks (1933). Jante sendiri adalah nama sebuah kota imajiner, tempat tokoh utama dalam novel tersebut --bernama Espen Arnakke-- mengembara untuk mencari ketenangan jiwa atas kegelisahan akibat pembunuhan yang ia lakukan di masa muda.
ADVERTISEMENT
Jante, kota kecil kelahiran Arnakke tersebut, memiliki 10 peraturan yang mencerminkan ketakutan masyarakat akan hadirnya individualisme atau kemenonjolan satu orang dibanding masyarakat yang lain. Beberapa di antara 10 peraturan tersebut adalah: jangan pernah berpikir bahwa kita ini spesial; jangan pernah berpikir bahwa kita ini sebaik dan sepintar orang lain; jangan pernah menertawakan orang lain; dan rumus-rumus lain agar tak muncul gejolak dan kecemburuan di masyarakat.
Pada praktiknya, Janteloven tak hanya terbatas di Norwegia. Ia, seperti yang dirumuskan dalam novel Sandemose sendiri, tak pernah terbatas di Jante, “Jante was everywhere, it lay on the prairie in Canada, it sprawled over the U.S.A, [and] it bloomed at Jevnaker and flourished in Jylland.” Hukum yang seharusnya merupakan sumber self-depreciation itu, ironisnya, menjadi sumber kebanggaan bagi orang-orang Skandinavia, yaitu Denmark, Swedia, dan Norwegia.
ADVERTISEMENT
Mungkin, dan hanya mungkin, apa yang dilakukan oleh Raja Gustaf di Bandara Sukarno-Hatta tersebut adalah perwujudan dari falsafah Janteloven itu. Bahwa meskipun ia adalah raja, perilakunya tak boleh mencuat dibandingkan masyarakat biasa: maka ia menenteng koper sendiri, dan menggunakan maskapai komersil bersama orang-orang lain.
Sederhana, jangan-jangan, hanya bisa kita lakukan ketika sudah berada dalam keadaan yang mewah terlebih dahulu.