Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 ยฉ PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Jejak Abu Sayyaf di Filipina, dari Penculikan hingga Bom Gereja
28 Januari 2019 11:33 WIB
Diperbarui 21 Maret 2019 0:05 WIB
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Menurut laporan polisi Filipina dikutip media Filipina GMA News, Minggu (27/1), pelaku pengeboman di gereja provinsi Sulu itu adalah kelompok Ajang-ajang, salah satu faksi Abu Sayyaf. ISIS melalui media Amaq juga mengklaim serangan tersebut.
Ini adalah serangan terbesar kelompok simpatisan ISIS dalam setahun terakhir. Sejak pertempuran selama lima bulan di kota Marawi pada 2017, tidak pernah terdengar lagi serangan besar Abu sayyaf. Serangan di Marawi menewaskan lebih dari 1.000 orang, termasuk Hapilon.
Cikal Bakal Abu Sayyaf
Kelompok Abu Sayyaf awalnya tergabung dalam organisasi bersenjata Front Pembebasan Nasional Moro (MNLF) yang bertujuan membentuk negara Islam Moro di Mindanao, Filipina. Pada 1989, MNLF teken kesepakatan dengan pemerintah untuk Wilayah Otonomi Muslim Mindanao (ARMM).
ADVERTISEMENT
Beberapa anggota MNLF menolak kesepakatan itu dan ingin membentuk negara Islam sendiri. Menurut lembaga anti-teror The Counter Extremism Project (CEP), tokoh yang menolak kesepakatan itu adalah Abdurajak Janjalani yang dikenal dengan nama alias "Abu Sayyaf" atau "ayah pedang".
Janjalani keluar dari MNLF dan membentuk al-Harakah al-Islamiyyah yang belakangan dikenal dengan nama Abu Sayyaf. Kelompok yang didukung Al-Qaeda ini memiliki banyak faksi yang terdiri dari klan-klan di Filipina Selatan.
Kebanyakan aktivitas mereka adalah menebar teror dengan penyerangan dan penculikan. Untuk mendanai aksi mereka, kelompok ini meminta tebusan senilai miliaran rupiah atas sandera anak buah kapal atau warga asing yang mereka culik.
Abu Sayyaf tidak segan mengeksekusi mati sanderanya, di antaranya warga Jerman dan Kanada pada 2017 lalu. Sejak 2016, ada 36 warga negara Indonesia yang disandera Abu Sayyaf. Sebanyak 34 di antaranya berhasil dibebaskan, dua lainnya masih dalam penyekapan.
ADVERTISEMENT
Ketika ISIS mendeklarasikan kekhalifahan di Irak pada 2014, Abu Sayyaf terpecah dua. Kelompok Radulan Sahiron yang berbasis di Sulu menolak ISIS dan kelompok Isnilon Hapilon di Basilan yang mendukung ISIS.
Pada 2014, Hapilon berbaiat kepada Abu Bakar Baghdadi dan dinyatakan sebagai amir ISIS di Filipina Selatan. Pada 2017, Hapilon terbunuh dalam pertempuran Abu Sayyaf dan kelompok Maute melawan tentara Filipina di kota Marawi.
Menurut pengamat terorisme Al Chaidar kelompok Abu Sayyaf saat ini hanya berjumlah tinggal sedikit di Filipina selatan. Sejak awal, misi mereka memang membentuk negara Islam sendiri, menolak otonomi dan kesepakatan damai.
ADVERTISEMENT
"Mungkin baru sekarang disetujui oleh dewan dan komandan mereka melakukan serangan seperti itu," kata dosen di Universitas Malikussaleh Aceh ini.
Dampak Kekalahan ISIS di Irak
ISIS di Irak dan Suriah menemui kekalahan setelah pasukan koalisi Amerika Serikat melancarkan serangan udara besar-besaran. Kota-kota besar yang sebelumnya dikuasai ISIS berhasil direbut.
Kelompok ISIS terpojok, Baghdadi dilaporkan kabur dan bersembunyi entah di mana. Namun kekalahan ISIS ini justru dikhawatirkan membuat para anggotanya kabur ke Filipina.
Februari tahun lalu, menurut laporan Ebrahim Murad, pemimpin Front Pembebasan Islam Moro (MILF) yang telah berdamai dengan Filipina, banyak anggota ISIS asal Indonesia, Malaysia, dan Timur Tengah datang ke Mindanao.
"Berdasarkan informasi intelijen kami, milisi asing yang terusir dari Timur Tengah terus memasuki perbatasan kami dan mungkin merencanakan serangan ke dua kota di selatan - Iligan dan Cotabato," kata Murad seperti dikutip Reuters.
Ketika itu dia mengatakan, ISIS akan semakin berani jika referendum Bangsamoro tidak disetujui.
ADVERTISEMENT
Referendum yang menghasilkan otonomi khusus Bangsamoro di Filipina disebut akan menghilangkan ketimpangan sosial yang menjadi "amunisi" kelompok ekstremis untuk merekrut anggota.
Dengan disetujuinya referendum, wilayah Mindanao akan memiliki kekuatan lebih besar dalam mengatur sendiri sumber daya mereka, menghasilkan kesejahteraan bagi rakyat. Dua kelompok separatis, MILF dan MNLF juga sepakat dengan hasil referendum.