Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK ) jadi sorotan. Para auditornya kerap terseret kasus korupsi . Dalam persidangan kasus korupsi mentan Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo, misalnya, terungkap bahwa auditor BPK minta duit Rp 12 milliar ke pejabat Kementan untuk membubuhkan opini WTP (Wajar Tanpa Pengecualian) pada laporan keuangan kementerian itu.
Berikutnya, muncul lagi pengakuan suap untuk BPK sebesar Rp 10,5 milliar pada proyek pembangunan Tol Layang MBZ. Tak ketinggalan jalannya persidangan terhadap anggota III BPK nonaktif Achsanul Qosasi yang diduga menerima suap Rp 40 miliar dalam kasus korupsi BTS Kominfo.
Tiga kasus itu hanya segelintir dari borok BPK. Dalam 15 tahun terakhir, setidaknya terdapat 16 kasus korupsi yang menyeret BPK, dengan 20 lebih auditor telah dipidana, dan 10 lebih auditor diduga terlibat suap pada kasus yang tengah disidangkan.
Jaring Korupsi Auditor BPK: dari Daerah sampai Pusat
November 2023, KPK melakukan operasi tangkap tangan (OTT) terhadap Pj Bupati Sorong Yan Piet Mosso. Ia menyuap beberapa pegawai BPK Sorong yang kemudian turut ditangkap KPK, yakni Kepala Perwakilan BPK Papua Barat Patric Lumumba Sihombing, Kepala Sub Auditorat BPK Papua Barat Abu Hanifa, dan Ketua Tim Pemeriksa BPK Papua Barat David Patasung.
Ketiga pegawai BPK itu menerima suap untuk “mengkondisikan” temuan mereka terkait beberapa laporan keuangan di Kabupaten Sorong yang tak dapat dipertanggungjawabkan. Untuk “menyelamatkan” laporan itu, Bupati Yan Piet menyuap para auditor BPK tersebut dengan uang Rp 940 juta dan jam tangan mewah merek Rolex. Total pemberian itu mencapai Rp 1,8 milliar.
Kasus tersebut membuat Inspektur Utama BPK Nyoman Wara meminta maaf kepada publik.
“Kami meminta maaf kepada masyarakat atas berbagai kejadian belakangan ini yang diduga melibatkan oknum BPK,” ujarnya di Gedung Merah Putih KPK, Selasa (14/11).
Kasus di Sorong tentu bukan yang pertama. Setahun sebelumnya, auditor BPK juga terjerat kasus suap di Kabupaten Bogor ketika sang bupati, Ade Yasin, memberikan uang Rp 1,9 miliar agar laporan keuangan Pemkab Bogor Tahun Anggaran 2021 mendapat opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP).
Awalnya, Ade Yasin berhubungan dengan perwakilan BPK Jabar. BPK lalu menurunkan tim pemeriksa untuk melakukan audit pendahuluan atas Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) Kabupaten Bogor Tahun Anggaran 2021. Tim tersebut terdiri dari 4 orang pemeriksa, yakni Anthon Merdiansyah, Arko Mulawan, Hendra Nur Rahmatullah, dan Gerry Ginanjar.
Hasil audit pendahuluan pun keluar. Keuangan Pemkab Bogor dinilai buruk, dan hal itu bakal jadi ganjalan untuk mendapatkan opini WTP. Merespons hasil itu, Ade Yasin meminta agar laporan keuangan pemerintahannya “diusahakan WTP”.
Berupaya meraih WTP, Kasubid Kas Daerah BPKAD Kabupaten Bogor Ihsan Ayatullah dan Sekretaris Dinas PUPR Kabupaten Bogor Maulana Adam berangkat ke Bandung menemui auditor BPK Anthon Merdiansyah sambil membawa duit Rp 100 juta. Anthon tergiur dan menyetujui untuk mengkondisikan tim pengaudit maupun materi yang diaudit. Audit disepakati hanya akan menyentuh Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) tertentu, tidak semua.
“Selama proses audit, diduga ada beberapa kali pemberian uang oleh AY (Ade Yasin) melalui IA (Ihsan Ayatullah) dan MA (Maulana Adam) pada tim pemeriksa BPK, di antaranya dalam bentuk uang mingguan dengan besaran minimal Rp 10 juta, hingga total selama pemeriksaan BPK [Februari–April 2022] telah diberikan sekitar Rp 1,9 miliar,” kata Ketua KPK saat itu, Firli Bahuri.
Di level provinsi, auditor BPK pernah terjerat kasus suap di Sulawesi Selatan pada 2020. Ketika itu BPK hendak mengaudit laporan keuangan Pemprov Sulsel Tahun Anggaran 2020. Salah satu objeknya adalah proyek yang dilakukan Dinas Pekerjaan Umum dan Tata Ruang (PUTR).
Pemeriksaan dilakukan oleh auditor BPK Yohanes Binur Haryanto Manik. Namun sebelum pemeriksaan, Yohanes berhubungan erat dengan para auditor yang pernah menjadi tim pemeriksa laporan keuangan Pemprov Sulsel pada 2019, yakni Andy Sonny, Wahid Ikhsan Wahyudin, dan Gilang Gumilar.
Mereka berbincang seputar cara memanipulasi pos-pos anggaran yang diaudit. Wakil Ketua KPK Alexander Marwata menduga, laporan keuangan Pemprov Sulsel pada 2019 juga dimanipulasi para auditor tersebut.
Yohanes sendiri saat memeriksa laporan keuangan Sulsel tahun 2020 menemukan beberapa kejanggalan seperti markup anggaran dan hasil pekerjaan yang tak sesuai kontrak. Namun, Sekretaris Dinas PUTR Sulawesi Selatan Edy Rahmat memohon kepada Yohanes agar temuan tersebut direkayasa, termasuk dengan tidak memeriksa item pekerjaan dan mengubah nilai proyek menjadi kecil.
“Dalam proses pemeriksaan tersebut, ER (Edy Rahmat) selaku Sekretaris Dinas PUTR aktif melakukan koordinasi dengan GG (Gilang Gumilar) yang dianggap berpengalaman dalam pengondisian temuan item pemeriksaan, termasuk teknis penyerahan uang untuk tim Pemeriksa [BPK],” terang Alex.
Gilang menyampaikan permohonan rekayasa laporan dari Edy ke Yohanes. Yohanes pun bersedia, asal ia menerima sejumlah imbalan yang ia sebut dengan kode ‘dana partisipasi’.
Wahid, dan Gilang, anggota BPK ini menyarankan kepada Edy, agar ia meminta uang kepada para kontraktor yang memenangkan proyek anggaran 2020, untuk memenuhi permintaan Yohanes. Besaran ‘dana partisipasi’ itu adalah 1 % nilai proyek.
“Setelah terkumpul, Edy akan mendapatkan 10%,” kata Alex.
Alhasil, para auditor negara itu mendapatkan duit sebesar Rp 2,8 milliar yang dibagi tiga antara Yohanes, Gilang dan Wahid. Sementara Andy Sonny menerima Rp 100 juta. Edy sendiri juga mendapat Rp 324 juta, dari persekongkolan jahat tersebut.
Tak hanya menerima suap di level daerah saja, beberapa anggota BPK juga terjerat kasus suap di level nasional. Awal tahun ini, ada Achasanul Qosasi, anggota III BPK, yang menerima suap sebesar Rp 40 miliar dari Komisaris PT Solitech Media Sinergy, Iwan Hermawan melalui direktur PT Multimedia Berdikari Sejahtera, Windi Purnama.
Tujuannya, memberikan status WTP pada proyek BTS Kominfo. Harapannya, dengan status WTP, Kejaksaan Agung menghentikan penyelidikan dan proyek ini jalan terus.
Achsanul awalnya memeriksa proyek ini dan membentuk tim, Hasilnya, mereka menemukan catatan buruk pada proyek BTS. Mulai dari proses perencanaan, pemilihan jenis, dan pelaksanaan kontrak yang belum sepenuhnya ketentuan. Lalu perbedaan nilai kontrak pembangunan BTS 4G untuk paket 1, 2 dan 3, serta pemborosan uang negara yang mencapai Rp 1,5 triliun.
Temuan Achsanul disampaikan ke Dirut BAKTI Kominfo, selaku pemegang proyek BTS. Pada pertemuan yang terjadi di ruangan Achsanul, Juni 2022, itu, Achsanul minta disiapkan uang Rp 40 miliar.
Anang lalu telepon Irwan dan Windi untuk menyiapkan uang itu. Uang diambil oleh Sadikin Rusli, orang suruhan Achsanul di parkiran Hotel Grand Hyatt, Jakarta pada 19 Juli 2022. Uang itu disimpan di sebuah rumah elite di Kemang.
Belakangan, pada persidangan Achsanul, ia mengaku bingung untuk mengembalikan uang tersebut. Berikut bunyi pengakuan Achsanul di hadapan majelis hakim Tipikor Jakarta.
"Tujuannya menyimpan di rumah itu, di Kemang, itu apa tujuannya?" tanya hakim anggota Alfis Setyawan, dalam persidangan di Pengadilan Tipikor, Jakarta Pusat, Selasa (14/5).
"Sedang berpikir bagaimana caranya mengembalikannya," jawab Achsanul.
"Oh, sedang berpikir bagaimana cara mengembalikannya?" tanya hakim.
"Iya, kesalahan terbesar yang ada Saya lakukan...," jawab pria kelahiran Sumenep, 10 Januari 1966 ini.
Sementara itu, baru-baru ini terungkap lagi bagaimana eks anak buah Syahrul Yasin Limpo menyebut ada anggota BPK, bernama Victor Daniel Siahaan dan Toranda Saifullah meminta uang sebesar Rp 12 milliar, agar status WTP bisa diberikan.
Hermanto, Sekretaris Direktorat Jenderal Prasarana dan Sarana Pertanian (PSP) Kementan, menyampaikan informasi tersebut di hadapan para jaksa KPK yang mencecarnya di sidang Tipikor Jakarta, pada Rabu (8/5).
“Waktu itu, disampaikan, untuk disampaikan kepada pimpinan untuk nilainya (WTP) kalau enggak salah diminta Rp 12 milliar untuk Kementan,” kata Hermanto.
Saat itu, Kementan sedang berupaya mendapat status WTP untuk periode 2022-2023.
Awalnya, Victor minta Rp 10 milliar, tapi menurut Hermanto, jumlah tersebut terlalu kecil untuk Kementan. Lalu, Victor minta tambahan lagi Rp 2 milliar.
Sementara itu, Kementan hanya bisa memberi Victor sebesar Rp 5 milliar saja. Alhasil, Victor pun terus mengejar duit sisa yang belum dibayar.
“Ya, ditagih terus,” kata Hermanto.
Yang terakhir adalah kasus permintaan duit Rp 10,5 milliar oleh oknum BPK terkait dengan proyek tol MBZ. Duit itu disiapkan oleh Sugiharto, Mantan Supervisor Divisi Infra II PT Waskita Karya (Persero) Tbk.
Sugiharto diminta oleh Direktur Operasional, Bambang Riyanto untuk mempersiapkan duit tersebut. Caranya, dengan membuat proyek fiktif senilai Rp 10,5 milliar. Sugiharto dan beberapa rekannya, mengumpulkan dan membuat dokumen, seolah-olah ada pekerjaan senilai uang tersebut.
Sementara temuan BPK pada pembangunan Tol MBZ ini adalah pengurangan volume bangunan dan pengaturan pemenang lelang. Kerugian negara pada proyek ini mencapai Rp 1,5 triliun.
WTP, Dagangan Utama Oknum Tamak BPK
Melihat sederet kasus di atas, suap kebanyakan disebabkan oleh kewenangan kasus BPK untuk memberi predikat WTP. WTP sendiri begitu kuat bagi institusi tertentu, untuk mencairkan anggaran dari pemerintah. WTP juga memperkuat citra institusi di hadapan publik.
Ironisnya, begitu kuatnya WTP, beberapa oknum BPK mengubahnya menjadi barang dagangan.
“Harusnya untuk dapat WTP ada seperangkat kriteria dan peraturan yang dipatuhi. Tapi yang terjadi, kepala daerah atau kepala lembaga, itu memandang, dikasih uang semua beres. Istilahnya seperti itu,” kata Trubus Rahardiansyah, pakar kebijakan publik.
WTP juga jadi syarat yang harus dipenuhi agar pemerintah daerah atau institusi terkait dapat dana bantuan dari negara. Ini yang jadi celah, para pejabat mencari anggota BPK yang sama buruknya, untuk disuap demi predikat WTP.
“Mereka berupaya dengan cara yang kotor, yaitu dengan pendekatan dan lobi-lobi, perilaku koruptif yang diperankan anggota BPK. Artinya di situ kan ada celah aturan, ada kebutuhan. Di situ ada kesempatan untuk mengambil. Ada aji mumpung, karena butuh juga,” kata Trubus.
Eks penyidik KPK Yudi Purnomo menggambarkan cara BPK ‘menjual’ WTP tersebut ke pihak-pihak terkait. Ia mencontohkan yang terjadi pada kasus di Kementan.
“Saya curiga temuan itu gede. Bisa jadi temuan itu besar banget. Hampir mencapai Rp 100 miliar, gitu kan, kalau hitung 10 persen dari hasil temuan. Dan ingat lho, ini dari Rp 10 milliar jadi Rp 12 milliar . Artinya temuannya makin banyak lho disitu,” ucap Yudi.
Sambil bercanda, Yudi bahkan menyebut oknum BPK itu layaknya debt collector.
“Jadi sudah menerima suap, kaya debt collector nagih-nagih gitu,” ucap Yudi.
Sementara itu, kata Yudi, negara rugi dua kali dengan modus BPK yang menghilangkan atau meniadakan substansi pemeriksaan.
“Jadi negara rugi 2 kali. Sudah korup, rugi juga ada temuan yang dihilangkan demi WTP,” kata Yudi.
WTP menjadi syarat bagi institusi pemerintah untuk terus mendapat bantuan keuangan dari negara, dan ini adalah kewenangan mutlak BPK. Alhasil, BPK menjadi semacam superbody. Tidak ada yang mengawasi sehingga banyak celah-celah bagi para oknum untuk bermanuver memeras para pejabat.
BPK hanya diawasi oleh Majelis Kehormatan Kode Etik (MKKE). Bagi Trubus, model pengawasan ini kurang efektif.
“Ya ada lembaganya, tapi kurang efektif. Sehingga mereka banyak melakukan penyimpangan itu, tapi tanpa ada penindakan. Jadi berulang seperti itu. Saya melihat kaya laten. Sudah kronis. Ketika bicara laporan keuangan selalu muncul, atau terkait perilaku korupsi oleh pejabat negara. Ada keterlibatan BPK di situ,” tutup Trubus.