Suap Rolls-Royce, dari Orde Baru hingga Reformasi

22 Januari 2017 13:15 WIB
clock
Diperbarui 14 Maret 2019 21:19 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Rolls-Royce (Foto: REUTERS/Fabrizio Bensch)
zoom-in-whitePerbesar
Rolls-Royce (Foto: REUTERS/Fabrizio Bensch)
Kantor penyidik Inggris, Serious Fraud Office (SFO), menyelidiki skandal penyuapan yang dilakukan Rolls-Royce. Pabrikan mesin pesawat itu belakangan terbukti menyuap pejabat di berbagai negara, termasuk Indonesia.
ADVERTISEMENT
Praktik lancung Rolls-Royce di Indonesia, sebagaimana tercantum di dokumen penyelidikan yang diperoleh kumparan, terendus sejak tahun 1980-an.
Tahun 1989:
Rolls-Royce disebut menggunakan jasa broker di Indonesia, SFO menggunakan istilah "intermediary" dengan nomor 1-8 (ini kemudian disebut perantara 1-8). Broker pertama Rolls-Royce, berdasarkan penyelidikan SFO, adalah purnawirawan Angkatan Udara yang dekat dengan Presiden Soeharto.
Saat itu beredar memo internal mengenai strategi di Indonesia yang dicuplik oleh SFO.
"[...] (b) menunjuk penasihat perdagangan yang memiliki kedekatan dengan Istana dan mengenal maskapai... (b) dilakukan oleh Perantara Regional dengan saran dari Perantara 2, saya akan mengingatkannya lagi tentang pentingnya memiliki pengaruh serta intelijen di semua level.."
Perantara 2 merupakan mantan komandan TNI Angkatan Udara. Dia yang menjalin kesepakatan dengan Rolls-Royce untuk membuka layanan di Indonesia. Selain itu, ada juga Perantara Regional yang menjadi konsultan untuk Rolls-Royce di Asia Tenggara.
ADVERTISEMENT
Produsen mesin pesawat Rolls-Royce (Foto: REUTERS/Paul Ellis)
zoom-in-whitePerbesar
Produsen mesin pesawat Rolls-Royce (Foto: REUTERS/Paul Ellis)
Sebulan berselang, seorang pegawai senior Rolls-Royce mengirim memo yang berisi pesan: "Kami sedang mencari cara dengan menggunakan 'Grup Istana'." 'Grup Istana' ini terdiri dari tiga kerabat dekat presiden.
Rolls-Royce kemudian melakukan kunjungan ke Indonesia, saat itu mereka memilih membayarkan sejumlah uang komisi dengan menunjuk sebuah perusahaan swasta sebagai perantara. Perusahaan ini dimiliki salah seorang dari 'Grup Istana' tersebut.
Perantara Regional lah yang memberikan rekomendasi ke Perantara 1 yang merupakan Perusahaan A namun tidak memiliki kantor.
Perantara 1 Perusahaan A dan Rolls-Royce kemudian menandatangani Kesepakatan Jasa Penasihat Perdagangan (CAA) pada Juli 1989. Perjanjian ini berisi kesepakatan pembayaran komisi sebesar 5 persen dari harga mesin-mesin baru beserta suku cadangnya.
Rolls Royce Trent 700 terpasang di Airbus. (Foto: Wikimedia commons/Laurent ERRERA)
zoom-in-whitePerbesar
Rolls Royce Trent 700 terpasang di Airbus. (Foto: Wikimedia commons/Laurent ERRERA)
Sebagai penggantinya, Perantara Regional akan menerima komisi sebesar 2 persen dari nilai transaksi tersebut, melalui Perantara 1 Perusahaan A. Komisi tersebut diluar komisi yang diperoleh karena telah memperkenalkan Perantara 2.
ADVERTISEMENT
Pembayaran tahap pertama untuk Perantara 1 Perusahaan A di dalam kontrak CAA dilakukan pada Agustus 1989. Pembayaran ini terkait dengan transaksi pembelian pesawat Fokker jenis F100.
Pembayaran komisi itu terekam dalam memo internal Rolls-Royce bertanggal 31 Agustus 1989.
"Sudah disepakati, [bahwa Perantara 1 Perusahaan A] akan menerima US$ 300 ribu secepatnya setelah mereka mendapatkan perjanjian dari Garuda untuk membeli 12 pesawat F100. Tapi untuk kepentingan taktis, lebih baik kita melakukan pembayaran sekarang."
Para perantara itu disuap Rolls-Royce hingga ratusan juta dolar demi memuluskan penjualan mesinnya untuk pesawat-pesawat yang dipesan oleh maskapai nasional terutama Garuda Indonesia
Broker ini mendapatkan persenan untuk setiap kesepakatan yang diperoleh dengan perusahaan aviasi Indonesia. Kesepakatan pertama adalah pembelian pesawat Fokker 100s bermesinkan Rolls-Royce Tay Turbofan. Untuk jasa ini, broker mendapatkan upah US$ 300 ribu.
ADVERTISEMENT
Tahun 1991:
Pada tahun 1991, agar mesin Trent 700 digunakan pada pesawat Airbus A330 pesanan Garuda Indonesia, sejumlah pegawai senior Rolls-Royce setuju memberikan uang US$ 2,25 juta. Tidak hanya itu, mereka juga memberikan sebuah mobil Rolls-Royce jenis Silver Spirit kepada seorang perantara (Perantara 1), atau perusahaan yang dikendalikan oleh perantara tersebut.
Pada 31 Januari 1991, seorang pegawai Rolls-Royce mengatakan Garuda Indonesia sudah hampir pasti membeli pesawat tersebut. Pegawai ini pun menyarankan agar Rolls-Royce berbicara dengan Perantara 1 Perusahaan A serta dua perusahaan yang dikendalikan Perantara Regional (Perantara Regional A dan Perantara Regional B).
Selanjutnya, pada 2 April 1991, kontrak pembelian pesawat A330 ditandatangani. Hasilnya dari kontrak itu, dua pembayaran dengan total US$ 2.254.044 diberikan kepada Perantara 1 Perusahaan A secara bertahap pada 15 Mei 1991 dan 13 Juni 1991.
ADVERTISEMENT
Ilustrasi dari Rolls Royce. (Foto: pixabay.com)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi dari Rolls Royce. (Foto: pixabay.com)
Tahun 1996:
Pada 14 Februari 1996, sebuah memo internal Rolls-Royce berjudul "Penangguhan Biaya Pemasaran", yang dikirimkan kepada seorang pejabat senior, menyatakan bahwa belum ada pengiriman mesin meski sejumlah komisi telah dibayarkan.
"[Perantara 1 Perusahaan A] - 1 persen dari US$ 184 juta, yang dibayarkan tiga kali: 25 persen, 25 persen, dan 50 persen. Ia menerima dua pembayaran dengan total US$ 461.147. [Perantara Regional Perusahaan B] - dengan jumlah awal 1,5 persen dari US$ 184 juta, tapi kemudian dinaikkan menjadi sekurangnya US$ 3 juta (setara 1,65 persen). Ia telah menerima dua kali pembayaran dengan total US$ 750 ribu. Jumlahnya naik menjadi US$ 2.979.000. Belum ada pengiriman mesin."
Pada Maret 1996, Garuda mengkonfirmasi hanya akan membeli enam pesawat A330. Artinya, kesepakatan Proyek Trent perlu direvisi. Komisi yang rencananya dibayarkan kepada Perantara 1 Perusahaan A sebesar US$ 4.474.000.
ADVERTISEMENT
Hubungan broker dan Rolls-Royce terjalin hingga pecah reformasi tahun 1998. Rolls-Royce saat itu khawatir pemerintahan yang baru akan menyelidiki kongsi mereka. Akhirnya, Rolls-Royce mencari lebih banyak broker yang bisa memuluskan penjualan.
Broker baru Rolls-Royce, disebut dengan "intermediary 8", memiliki perusahaan dan dekat dengan kroni-kroni Suharto. Broker baru ini beberapa kali berhasil meloloskan kesepakatan Rolls-Royce dengan maskapai penerbangan milik keluarga Suharto, Sempati Air.
Tahun 2007:
Broker ini juga yang memperkenalkan beberapa pejabat senior Garuda kepada Rolls Royce. SFO menjabarkan, para pejabat senior Garuda ini menempati posisi komisaris dan direktur di berbagai departemen Garuda. Mereka yang kemudian menjadi penentu kunci kesepakatan dengan Rolls-Royce.
Tahun 2009:
Rolls Royce kembali diduga memberikan komisi kepada para pejabat senior Garuda Indonesia saat itu. Namun dokumen SFO tak mencantumkan identitas mereka.
ADVERTISEMENT
"Setelah sudah menerima lebih dari 1,2 juta dolar AS sehubungan dengan TCA pertama, dan dalam terang permintaannya untuk uang muka tambahan 500.000 dolar AS pada 24 Juni 2009, Perantara 8 ditransfer US$ 500.000 dari rekening 8 B Perusahaan Perantara ke rekening perusahaan dimiliki oleh Perantara 8. ini adalah akun yang diberikan kepada seorang karyawan senior Garuda Indonesia
Tahun 2012:
Pada tahun 2012 melalui broker ini, Rolls-Royce disebut SFO menyuap para pejabat Garuda untuk penandatangan Total Care Agreement, dan mesin T700 bagi pesawat Airbus A330. Pembayaran dilakukan dua kali, sebesar 1 juta dolar AS, pada bulan Maret 2012.
Infografis Suap Rolls Royce di Indonesia (Foto: Ridho Robby/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Infografis Suap Rolls Royce di Indonesia (Foto: Ridho Robby/kumparan)