Jejak Legenda Putri Hijau di Aceh

28 Januari 2018 11:47 WIB
clock
Diperbarui 14 Maret 2019 21:12 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Nisan-nisan berukuran unik tertata rapi, sebagian nisan tampak tak lagi utuh dan tertumpuk begitu saja hanya ruput-ruput hijau menyelimuti nisan milik Raja Kesultanan Aceh itu. Dari luar perkarangan sebuah tulisan menyebutkan komplek Makam Putroe Ijo (Putri Hijau).
ADVERTISEMENT
Siang itu tak ada pengunjung yang datang ke sana. Makam terlihat sepi. Hanya suara alunan zikir dari masjid di samping makam sedang merayakan Maulid Nabi Muhammad SAW. Komplek makam ini terletak di Gampong Pande, Kecamatan Kutaraja, Banda Aceh, Aceh.
Dari dalam perkarangan makam sebuah monumen menyebutkan, makam Putroe Ijo merupakan sebuah komplek pemakaman yang diperkirakan merupakan peristirahatan terakhir seorang putri Sultan Kesultanan Aceh Darussalam.
Putri tersebut dinamakan Putroe Ijo dikarenakan kecantikan dan keindahannya yang terkenal hingga ke pelosok negeri mulai dari Aceh, Malaka, hingga pulau Jawa.
Selain makam Putroe Ijo, juga terdapat makam lainnya anggota-anggota keluarga kesultanan Aceh Darussalam. Makam ini telah direposisi batu-batu nisannya pada tahun 2013 setelah rusak berat akibat gempa dan tsunami Aceh 2004 lalu.
ADVERTISEMENT
Legenda
Kisah Putri Hijau sendiri hingga kini belum memiliki catatan sejarah yang pasti. Terdapat banyak versi berkembang di tengah masyarakat. Kisah Putri Hijau lebih populer dibicarakan kalangan masyarakat Sumatera Utara atau karo. Pasalnya, di sana terdapat sebuah prasasti peninggalan yang kerap dipercayai memiliki ikatan sejarah kuat dengan Putri Hijau, yaitu Meriam Puntung.
Dikisahkan dalam legenda hikayat Putri Hijau, Meriam Puntung atau Meriam Buntung dalam bahasa Karo adalah penjelmaan dari adik Putri Hijau dari Kerajaan Haru yang memerintah sekitar tahun 1594. Meriam Puntung ini berada di dalam komplek Istana Maimun, Medan dan kerap diziarahi warga.
Dikutip dari berbagai sumber, dikisahkan suatu hari pada masa itu Putri Hijau mendapatkan pinangan dari Sultan Aceh, tetapi pinangan itu ditolak sehingga membuat Raja Aceh betul-betul marah hingga memutuskan untuk menyerang Kerajaan Haru.
Situs cagar budaya Makam Putro Ijo (Foto: Zuhri Noviandi/kumparan)
Lalu Sultan Aceh mengirimkan Panglima Gocah Pahlawan untuk menyerang Kerajaan Haru. Tapi karena bentengnya sangat kokoh, pasukan Aceh gagal menembusnya. Menyadari jumlah pasukannya makin menyusut setelah banyak yang terbunuh, panglima-panglima perang Aceh memakai siasat baru. Mereka menyuruh prajuritnya menaburi uang emas ke arah prajurit benteng yang bertahan di balik pintu gerbang.
ADVERTISEMENT
Suasana menjadi tidak terkendali karena para penjaga benteng itu berebutan uang emas dan meninggalkan posnya. Ketika mereka tengah sibuk memunguti uang emas, tentara Aceh menerobos masuk dan dengan mudah menguasai benteng.
Pertahanan terakhir yang dimiliki adalah Meriam Puntung. Tapi karena ditembaki terus-menerus, meriam ini pun menjadi panas, meledak, terlontar, dan terputus dua.
Sementara Sang Puteri Hijau dibawa oleh kakaknya yang berubah menjadi ular besar ke atas punggungnya dan menyelamatkan diri melalui sebuah terusan memasuki Sungai Deli, dan langsung ke Selat Malaka. Hingga sekarang kedua kakak beradik ini dipercaya menghuni sebuah negeri dasar laut di sekitar Pulau Berhala.
Versi lain menyebutkan bahwa Puteri Hijau sempat tertangkap dia ditawan dan dimasukkan dalam sebuah peti kaca yang diangkut ke dalam kapal untuk dibawa ke Aceh. Ketika kapal sampai di Ujung Jambo Aye, Aceh Utara, Putri Hijau memohon diadakan satu upacara untuknya sebelum peti diturunkan dari kapal. Atas permintaannya, dia diberikan berkarung-karung beras dan beribu-ribu telur.
ADVERTISEMENT
Tetapi setelah beberapa saat upacara dimulai, tiba-tiba berembus angin yang maha dahsyat, disusul gelombang tinggi dan ganas. Dari dalam laut muncul jelmaan saudaranya, ular besar. Lalu Putri Hijau dilarikan ke dalam laut dan mereka bersemayam di perairan Pulau Berhala.
Pendapat Para Ahli
Dikisahkan dalam rangka perebutan kekuasaan terutama di perairan Selat Malaka. Pada saat itu semua orang ingin merebut kawasan Selat Malaka karena dianggap sebagai kawasan strategis jalur masuk lalulintas Internasional.
Ketika mereka ingin merebut itu setiap orang menunjukkan kekuasaannya. Di sana ada Portugis, Belanda, dan Aceh. Pada saat itu Aceh menunjukkan kekuatan besar, salah satunya juga ingin memperebutkan seorang putri dari kerajaan lain.
Pada saat itu ada tiga kawasan Aceh yang paling besar, ada kawasan inti, daerah taluk, dan daerah fazar. Daerah taluk, adalah daerah-daerah yang ditaklukkan kemudian. Sehingga kekuasaannya besar dan luas dan berlanjut sampai dengan pemerintahan raja-raja berikutnya.
Situs cagar budaya Makam Putro Ijo (Foto: Zuhri Noviandi/kumparan)
Sampai pada saat masa kerajaan Aceh melemah, banyak daerah-daerah lain melepaskan diri tapi kemudian masih ada kekuatan-kekuatan Aceh. Salah satu caranya dengan menjalin hubungan perkawinan. Ada orang yang menikah dengan putri Aceh, dan juga orang Aceh menikah dengan putri di luar Aceh.
ADVERTISEMENT
“Termasuklah seperti daerah Deli, Siak, Arokan, Haru, dan Pariaman. Semua itu adalah kekuasaan Aceh sebenarnya, jadi ada kekuatan sehingga timbul cerita yang melegenda yaitu tentang Putri Hijau,” kata Dr Husaini Ibrahim, dosen Ilmu Sejarah, FKIP Unsyiah, saat ditemui kumparan (kumparan.com) di rumahnya, Sabtu (27/1).
Merujuk pada silsilah keturunan raja Aceh seperti dalam buku “Tarikh Aceh dan Nusantara” halaman 576, disebutkan Putri Hijau adalah anak dari Raja Putri yang menikah dengan Sulthan Mansyursyah bin S. Ahmad Perak. Keturunan Sulthan Ala Uddin Riayat Syah atau Saidin Mukammil. Beliau memiliki Enam orang anak, Maharaja Diraja, Raja Putri, Puteri Diraja Indra Ratna Wangsa, Mahmud Syah, Raja Hussain Syah, dan Meurah Upah.
Situs cagar budaya Makam Putro Ijo (Foto: Zuhri Noviandi/kumparan)
“Salah satu di antaranya adalah Putri dari Raja Puteri yaitu Putri Hijau kemudian menikah dengan Raja Umar S Abdul Jalil Johor yang kemudian melahirkan keturunan Radja Hasjim. Jadi saya lebih yakin yang dimaksud dengan Putri Hijau seperti legenda yang berkembang hari ini adalah Putri Hijau yang dimaksud dalam silsilah ini,” kata Husaini.
ADVERTISEMENT
Berdasarkan hasil bacaannya, Husaini mengatakan silsilah tersebut masih berhubungan dengan Sultan Iskandar Muda, karena Putri Hijau adalah anak dari Raja Puteri sementara Sultan Iskandar Muda anak dari Puteri Diraja Indra Ratna Wangsa.
“Raja Puteri dan Puteri Diraja Indra Ratna Wangsa adalah adik kakak. Sementara Putri Hijau dan Sultan Iskandar Muda mereka adalah sepupuan.”
Kendati demikian, Husaini tidak menepis bahwa cerita tentang Putri Hijau memiliki banyak versi, sebutnya, hal itu biasa terjadi dalam sejarah. Ketika ada cerita yang dianggap memiliki kekuatan batin maka orang menganggap sebagai semacam legenda.
“Hal ini bisa digali dan untuk melihat tentang kebenaran legenda dalam sejarah atau sastra sejarah harus sangat berhati-hati. Karena ini bisa memisahkan antara fakta dengan mitos yang berkembang. Namun demikian cerita ini sangat penting sebuah sejarah menjadi besar juga karena ada legenda,” tambahnya.
Situs cagar budaya Makam Putro Ijo (Foto: Zuhri Noviandi/kumparan)
Husaini melihat, sejarah tentang Puteri Hijau adalah sebuah fakta sejarah namun memang belum ada bukti secara sains. Maka dari itu, beberapa ahli sejarah di Aceh saat ini sedang menggali termasuk menelusuri jejak-jejak perjuangan Puteri Hijau apakah di Aceh ataupun di Sumatera Utara.
ADVERTISEMENT
“Kalau di Aceh khususnya di Gampong Pande ada makam Putri Hijau dan di Lamuri di kawasan bukit Lamreh, Aceh Besar ada kolam Putroe Ijo dan kita akan menelusuri ke sana. Saya sangat meyakini hal ini adalah sejarah fakta bukan legenda namun harus ditelusuri dengan berbagai sumber yang ada.”
Sementara itu, Ketua Masyarakat Peduli Sejarah Aceh (Mapesa), Mizuar Mahdi menyebutkan kisah tentang Putri Hijau belum memiliki dokumen autentik. Kisah itu hanya ada dalam cerita hikayat atau legenda.
“Belum ada bukti yang ditemukan untuk bisa dipertanggung jawabkan,” kata Mizuar kepada kumparan.
Ia menceritakan, berdasarkan hasil bacaan dan temuannya selama ini tidak ada makam yang menyebutkan Putroe Ijo seperti yang tertera di Gampong Pande saat ini. Makam di sana sudah ada dari abad 16, sedangkan penamaan komplek makam tersebut dengan Putroe Ijo baru muncul sekitar tahun 1970-1980.
ADVERTISEMENT
“Merujuk ke peta yang digambar Belanda akhir abad 19 dan awal abad 20, buka Putroe Ijo nama komplek makam itu. Tetapi komplek kandang Raja kalau tidak salah saya,” ujarnya.