Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.92.0
Awal terkuaknya guyuran uang dalam kasus Ronald Tannur ialah ketika tiga hakim Pengadilan Negeri Surabaya, yakni Erintuah Damanik, Heru Hanindyo, dan Mangapul, mengeluarkan putusan kontroversial dengan membebaskan terdakwa Ronald Tannur pada 24 Juli 2024.
Kejaksaan langsung mengajukan kasasi atas vonis bebas Ronald Tannur. Vonis bebas itu juga menuai sorotan publik karena pertimbangan hakim dinilai mengada-ngada. Majelis hakim pun dinilai tidak mempertimbangkan sejumlah fakta yang ada seperti rekaman CCTV.
Tiga bulan setelah vonis bebas Ronald Tannur, Kejaksaan Agung menangkap tiga hakim pengadil Ronald Tannur. Kejaksaan juga meringkus pengacara Ronald, Lisa Rachmat. Rupanya, dalam proses kasasi, sekitar bulan Oktober, Lisa berkomunikasi dengan Zarof. Ia meminta agar kliennya tetap bebas. Lisa menjanjikan duit Rp 5 miliar sebagai pelicin.
Dalam vonis kasasi, Ronald Tannur “hanya” dijatuhi hukuman lima tahun penjara oleh hakim MA. Vonis kasasi diketok pada 22 Oktober 2024. Esoknya, 23 Oktober, Lisa dan tiga hakim (Erintuah, Heru, Mangapul) diringkus dalam operasi tangkap tangan Kejaksaan Agung di Surabaya. Sehari sesudahnya, 24 Oktober, menyusul Zarof Ricar ditangkap di Bali.
“LR menyampaikan kepada ZR akan menyiapkan dana sebesar Rp 5 miliar untuk Hakim Agung, dan kepada ZR akan diberikan fee Rp 1 miliar atas jasanya,” kata Direktur Penyidikan Jampidsus Kejagung Abdul Qohar, Jumat (25/10).
Lisa, Zarof, dan tiga hakim kini ditetapkan sebagai tersangka. Saat penyidik Kejagung menggeledah kediaman Zarof di Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, 24 Oktober, mereka menemukan uang Rp 920 miliar dan emas batangan 51 kg.
Zarof diduga terlibat sebagai makelar kasus dalam banyak pengurusan perkara di MA selama sepuluh tahun. Jubir MA, Yanto, mengatakan “MA berkomitmen tidak akan melindungi anggota yang tidak benar.”
Sebelum kasus Zarof mencuat, dua pejabat MA lain juga pernah terjerat karena memanfaatkan jabatan mereka untuk bermain dalam kasus hukum dan memengaruhi keputusan hakim. Kedua pejabat itu ialah Nurhadi Abdurrachman (Sekretaris MA 2011–2016) dan Hasbi Hasan (Sekretaris MA 2020–2023)
Juni 2020, Nurhadi dan menantunya, Rezky Herbiyono, ditangkap KPK karena menerima suap dan gratifikasi senilai total Rp 83 miliar dalam menangani sejumlah perkara di MA selama masa jabatannya sebagai Sekretaris MA.
Nurhadi didakwa menerima suap dari Direktur Utama PT Multicon Indrajaya Terminal (MIT), Hiendra Soenjoto, sebesar Rp 45,7 miliar untuk menangani perkara melawan PT Kawasan Berikat Nusantara (KBN).
Dalam dakwaan pertama, suap Rp 45,7 miliar yang menjerat Nurhadi berkaitan dengan perjanjian sewa-menyewa depo kontainer milik PT KBN seluas 57.330 meter persegi dan 26.800 meter persegi.
Kasus bermula pada 27 Agustus 2010 saat Hiendra mengajukan gugatan perbuatan melawan hukum ke PN Jakarta Utara terkait pemutusan sepihak atas perjanjian sewa-menyewa depo kontainer milik PT KBN di Cilincing, Jakarta Utara.
Gugatan lalu dikabulkan pada 16 Maret 2011; dinyatakan perjanjian sewa-menyewa depo kontainer pada 2003 tetap sah dan mengikat. PT KBN dihukum membayar ganti rugi materiil kepada PT MIT sebesar Rp 81,7 miliar.
PT KBN yang tak puas mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi DKI Jakarta. Namun ditolak dan akhirnya menempuh upaya kasasi ke MA. PT KBN kemudian meminta PN Jakut melakukan eksekusi lahan dengan teguran terhadap PT MIT.
Mengetahui lahan yang disewa akan dieksekusi, Hiendra kemudian meminta bantuan Hengky Soenjoto untuk dikenalkan kepada advokat bernama Rahmat Santoso yang tak lain adalah adik ipar Nurhadi.
Pada 20 Agustus 2014, Hiendra menunjuk Rahmat sebagai kuasa PT MIT dalam upaya Peninjauan Kembali (PK) ke MA sekaligus mengurus penangguhan eksekusi.
“[Hiendra] memberikan uang kepada Rahmat Rp 300 juta dan cek OCBC NISP atas nama PT MIT sejumlah Rp 5 miliar yang bisa dicairkan setelah permohonan PK didaftarkan ke MA melalui PN Jakut,” ucap jaksa.
Kemudian pada 25 Agustus 2014, Rahmat mendaftarkan PK ke MA melalui PN Jakut. Di samping itu, Rahmat juga mengajukan permohonan penangguhan eksekusi lahan depo container kepada PN Jakut. Namun, Ketua PN Jakut tetap menerbitkan penetapan eksekusi pada 9 Oktober 2014.
Nurhadi dan Rezky kemudian mengupayakan penundaan eksekusi berdasarkan surat permohonan penangguhan yang diajukan Rahmat. Akhirnya atas dugaan intervensi tersebut, PN Jakut menerbitkan penetapan untuk menangguhkan eksekusi pada 26 November 2014. Eksekusi ditunda sampai upaya PK Hiendra dan gugatan kedua di PN Jakut diputus.
Awal 2015, Rezky memperkenalkan Hiendra Soenjoto dengan Iwan Cendekia Liman. Dia menyampaikan bahwa Iwan bisa membantu Hiendra mendapatkan pendanaan dari Bank Bukopin Surabaya yang akan digunakan untuk membiayai pengurusan perkara PT MIT.
“Untuk merealisasikan kesepakatan pengurusan perkara PT MIT, pada 22 Mei 2015, terdakwa II menerima uang Rp 400 juta dari Hiendra sebagai uang muka,” ucap jaksa.
Selanjutnya awal Juni 2015 di Surabaya, Rezky meminjam uang kepada Iwan senilai Rp 10 miliar. Rezky mengutarakan uang tersebut akan digunakan untuk mengurus perkara PT MIT. Sebab Hiendra belum membayarkan fee pengurusan perkara sesuai perjanjian.
Lalu pada 4 Juni 2015, PN Jakut menolak gugatan kedua PT MIT melawan PT KBN sehingga Hiendra memutuskan banding. Begitu pula upaya PK yang diajukan PT MIT ditolak MA pada 18 Juni 2015. "Meski gugatan kedua di PN Jakut dan PK ditolak, namun terdakwa I melalui terdakwa II tetap menjanjikan kepada Hiendra akan mengupayakan pengurusan perkara lahan depo container yang masih dalam proses," kata jaksa.
Pada 19 Juni 2015, Iwan mentransfer uang Rp 10 miliar yang dipinjam Rezky untuk mengurus perkara PT MIT. Setelah menerima uang tersebut, Rezky menyerahkan 8 lembar cek Bank QNB Kesawan atas nama PT MIT senilai Rp 30 miliar dan 3 lembar cek Bank Bukopin atas nama Rezky kepada Iwan sebagai jaminan.
Menurut jaksa KPK, pemberian uang dilakukan 21 kali transfer melalui rekening Rezky Herbiyono maupun beberapa rekening lain. Transfer pertama terjadi pada 22 Mei 2015 sementara yang terakhir pada 5 Februari 2016. Jaksa mengungkapkan uang suap Rp 45,7 miliar dipergunakan Nurhadi untuk membeli tas mewah, mobil hingga lahan sawit.
Sementara dalam dakwaan kedua, Nurhadi melalui Rezky didakwa menerima gratifikasi selama kurun 2014-2017. Dia disebut menerima gratifikasi melalui Rezky dari para pihak yang berperkara di pengadilan mulai dari pengadilan tingkat pertama, banding, kasasi, hingga peninjauan kembali (PK). Para pihak pemberinya yakni Handoko Sutjitro; Renny Susetyo Wardani; Direktur PT Multi Bangun Sarana, Donny Gunawan; Freddy Setiawan; dan Riady Waluyo. Jumlah gratifikasi mencapai Rp 37,3 miliar.
Bila ditotal penerimaan suap dan gratifikasi, jumlahnya mencapai Rp 83 miliar. Atas perbuatannya, KPK menuntut Nurhadi dengan pidana penjara selama 12 tahun dan denda Rp 1 miliar subsider kurungan 6 bulan. Sementara Rezky dituntut 11 tahun penjara dan denda Rp 1 miliar subsider 6 bulan penjara.
KPK juga menuntut Nurhadi dan Rezky membayar uang pengganti kerugian korupsi kepada negara sebesar Rp 83 miliar. Tuntutan hukum KPK berbanding terbalik dengan keputusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi di PN Jakarta Pusat pada Maret 2021 yang justru memvonis ringan Nurhadi dan Rezky dengan masing-masing hukuman 6 tahun penjara dan denda 1 miliar subsider 6 bulan penjara. Majelis hakim juga tidak mewajibkan keduanya untuk membayar denda sebesar Rp 83 miliar.
KPK pun mengajukan banding atas keputusan tersebut, namun upaya itu kandas. Majelis banding Pengadilan Tinggi Jakarta tetap tidak mewajibkan Nurhadi dan Rezky mengembalikan uang pengganti Rp 83 miliar. Mereka juga tetap dipenjara selama 6 tahun seperti vonis Pengadilan Tipikor.
Selain Nurhadi, ada pula Hasbi Hasan yang ditahan KPK pada 12 Juli 2023. Pengabdiannya selama 31 tahun di lembaga peradilan Indonesia berakhir pahit dengan kasus hukum. Dia terbukti melakukan korupsi berupa penerimaan suap dan gratifikasi.
Dalam dakwaan, setidaknya ada 5 penerimaan gratifikasi Hasbi Hasan sejak Januari 2021 hingga Februari 2022 yang diduga terkait dengan tugas dan wewenang jabatan Hasbi Hasan selaku Sekretaris MA. Hasbi Hasan terlibat dalam kasus pengurusan perkara di MA terkait Koperasi Simpan Pinjam (KSP) Intidana dan penerimaan gratifikasi.
Hasbi didakwa menerima suap Rp 11,2 miliar dari Heryanto Tanaka melalui eks Komisaris PT Wika Beton, Dadan Tri Yudianto terkait pengurusan perkara di MA. Hasbi pun didakwa bersama Dadan Tri Yudianto. Mereka menerima uang tersebut dari debitur Koperasi Simpan Pinjam (KSP) Intidana Heryanto Tanaka yang ketika itu sedang berperkara di MA.
Suap dimaksud agar Hasbi dan Dadan mengupayakan pengurusan perkara kasasi Nomor: 326K/Pid/2022 atas nama Budiman Gandi Suparman dapat dikabulkan oleh hakim agung serta agar perkara kepailitan KSP Intidana yang berproses di MA dapat diputus sesuai keinginan Heryanto. Kasus ini juga melibatkan seorang hakim agung nonaktif Gazalba Saleh yang sudah menjadi tersangka.
Selain itu, dakwaan juga menyebutkan ada penerimaan gratifikasi dalam berbagai bentuk seperti fasilitas perjalanan wisata dan penginapan dari Dirut PT Wahana Adyatma, Menas Erwin Djohansyah kepada Hasbi Hasan yang diduga masih terkait pengurusan perkara di MA.
Fasilitas menginap di Fraser Residence, Menteng, pada 5 April sampai 5 Juli 2021. Hasbi Hasan mendapat fasilitas sewa kamar nomor 501 tipe apartemen senilai Rp 120 juta. Pada sidang tuntutan di PN Jakarta Pusat 14 Maret, Jaksa KPK turut membeberkan bukti kedekatan Hasbi Hasan dengan Windy Yunita Bastari Usman atau Windy Idol. Salah satunya mengenai penyewaan kamar nomor 510 di Hotel Fraser Menteng tersebut.
Jaksa memunculkan istilah-istilah yang mewarnai hubungan keduanya yakni ‘short time’ sebagai kode untuk menunjukkan Hasbi Hasan dan Windy Idol bahwa tengah berada di Hotel Fraser Menteng kamar 510. Bahkan Jaksa KPK mengungkapkan adanya kedekatan Hasbi dengan Windy Idol bahkan ada kode 'Tuan Putri' dalam hubungan keduanya meski berulang kali dibantah Windy.
Tak hanya itu, Hasbi juga menerima fasilitas penginapan di The Hermitage Hotel Menteng pada 24 Juni hingga 21 November 2021. Hasbi Hasan mendapat fasilitas penginapan dua unit kamar nomor 111 tipe junior suite dan nomor 2015 tipe executive suite. Nilai totalnya sebesar Rp 240,5 juta. Kemudian fasilitas penginapan di Novotel Cikini, Jakarta Pusat, pada 21 November 2021 hingga 22 Februari 2022 dengan kamar 0601 dan nomor 1202 tipe executive suite bernilai Rp 162,7 juta.
Pada 5 Maret 2024 lalu, KPK juga mengembangkan perkara suap pengurusan perkara yang menjerat Hasbi Hasan. Pengembangan itu mengarah kepada pengusutan dugaan tindak pidana pencucian uang (TPPU). Windy Idol ditetapkan KPK sebagai tersangka oleh KPK terkait dugaan pencucian uang tersebut.
Pengadilan Tipikor pada PN Jakarta Pusat menghukum Hasbi 6 tahun penjara. Hukuman ini lebih rendah daripada tuntutan Jaksa Penuntut Umum KPK yang menuntut hukuman selama 13 tahun 8 bulan penjara Serta denda sebesar Rp 1 miliar subsider pidana kurungan pengganti selama 6 bulan.
Jaksa juga menuntut Hasbi Hasan membayar uang pengganti Rp 3,8 miliar. KPK menilai Hasbi terbukti menerima suap Rp 11,2 miliar dari Heryanto Tanaka melalui eks Komisaris PT Wika Beton, Dadan Tri Yudianto terkait pengurusan perkara di MA.
Namun saat putusan di pengadilan tingkat pertama, Hasbi Hasan dijatuhi hukuman lebih ringan. Hanya divonis 6 tahun penjara dan denda sebesar Rp 1 miliar serta uang pengganti sebesar Rp 3,8 miliar. Pengabdian 31 tahun Hasbi di MA menjadi poin yang dipertimbangkan untuk meringankan hukuman.
Selama berkiprah, Hasbi dinilai tidak pernah berbuat tercela dan tidak pernah dikenai tindakan indisipliner, apalagi melanggar hukum. Sebagai pejabat struktural, ia juga dianggap banyak berkontribusi untuk MA. “Majelis hakim perlu mempertimbangkan masa pengabdian terdakwa [Hasbi Hasan] kepada negara di lembaga Mahkamah Agung RI yang lebih kurang 31 tahun lamanya,” kata majelis hakim Toni Irfan, Rabu 3 April 2024.
KPK mengajukan banding namun ditolak. Pengadilan Tinggi DKI Jakarta menguatkan hukuman 6 tahun penjara terhadap Hasbi Hasan. Pengadilan Tinggi menilai hukuman yang dijatuhkan oleh Pengadilan Tingkat Pertama yakni Pengadilan Tipikor Jakarta sudah tepat.
Sistem Peradilan Perlu Diperbaiki
Peneliti ICW Diky Anandya mengatakan makelar kasus di MA memiliki pola yang sama. “Kami lihat polanya [Zarof] itu hampir mirip dengan yang dilakukan oleh jaringan mafia peradilan lainnya yaitu Sekretaris MA Nurhadi. Meskipun kedua orang ini bukan merupakan hakim agung, tapi kan mereka pejabat yang memperdagangkan pengaruhnya untuk menjadi tadi perantara antara pihak yang berperkara dengan hakim yang sedang menangani perkara,” kata Diky.
Diky berpandangan perlu ada keseriusan untuk memperbaiki sistem peradilan Indonesia, salah satunya dengan memperketat pengawasan setiap perkara hukum di MA. Saat ini pengawasan dilakukan oleh dua pihak, yakni Badan Pengawas MA dan Komisi Yudisial, namun menurutnya keduanya tidak berperan aktif.
Menurutnya, peran KY seharusnya diperkuat sebagai lembaga pengawas kehakiman. Sebab, KY saat ini tak memiliki taring untuk memberikan sanksi secara langsung kepada hakim yang bermasalah karena hanya diberikan kewenangan memberikan rekomendasi kepada MA
“Nah pertanyaan lebih lanjutnya bagaimana kemudian majelis kehormatan yang memeriksa rekomendasi dari Komisi Yudisial kalau yang terperiksa itu merupakan pejabat tinggi di Mahkamah Agung. Pasti ada potensi konflik kepentingan di situ. Sehingga ke depan rasanya bagi ICW perlu ada penambahan atau memperkuat kewenangan KY untuk bisa memberikan sanksi kepada hakim agung,” kata Diky.
Juru Bicara Solidaritas Hakim Indonesia (SHI) Fauzan Arrasyid mengatakan pihaknya mendorong 3 langkah konkret untuk memutus praktik makelar kasus hukum yakni: (1) pengesahan RUU Jabatan Hakim; (2) peningkatan kesejahteraan hakim; dan (3) kampanye masif ihwal hakim yang bersih.
Fauzan menjelaskan salah satu poin penting yang diperlukan RUU Jabatan Hakim ialah penguatan pengawasan dalam kelembagaan hukum. Menurutnya, RUU bisa mengatur proses rekrutmen hingga evaluasi agar kerja kehakiman bekerja baik. Dia senang RUU itu masuk dalam prioritas legislasi nasional 2025 DPR.
Sementara ihwal kesejahteraan hakim, Presiden Jokowi sudah meneken Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2024 tentang Perubahan Ketiga atas PP Nomor 94 Tahun 2012 mengenai hak keuangan dan fasilitas hakim di bawah MA jelang masa purnatugasnya 20 Oktober lalu.
Presiden Prabowo pun sudah menyatakan komitmennya terhadap kesejahteraan hakim. Janji Prabowo itu ia ucapkan melalui sambungan telepon dengan Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad saat DPR menerima audiensi dari perwakilan hakim beberapa waktu lalu.
“Kalau RUU Jabatan Hakim itu sudah menjadi UU, ada banyak sekali teori hukum di dalamnya yang mengatur tentang proses rekrutmen, mutasi, promosi, evaluasi, dan pengawasan” kata Fauzan.