Jemparingan Mataraman, Seni Panahan Kuno Yogyakarta yang Tetap Lestari

30 Juli 2022 20:42 WIB
·
waktu baca 2 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Sejumlah pemanah tradisional jemparingan tengah membidik sasaran di Alun-alun Kidul, Yogyakarta pada Sabtu (30/7/2022). Foto: Arfiansyah Panji Purnandaru/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Sejumlah pemanah tradisional jemparingan tengah membidik sasaran di Alun-alun Kidul, Yogyakarta pada Sabtu (30/7/2022). Foto: Arfiansyah Panji Purnandaru/kumparan
ADVERTISEMENT
Jemparingan Mataraman atau memanah gaya tradisional Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat tetap lestari di berbagai zaman. Tak sekedar olahraga, jemparingan memiliki filosofi yang mendalam.
ADVERTISEMENT
KRT Jatiningrat salah satu kerabat Kraton Yogyakarta menjelaskan bahwa jemparingan ini adalah salah satu ajaran yang diberikan oleh Sri Sultan Hamengku Buwono I.
"Bahwa jemparingan atau memanah ini merupakan salah satu pelajaran yang diberikan oleh Sri Sultan Hamengku Buwono I sejak beliau mendirikan sekolah namanya Tamanan pada waktu itu tahun 1757," kata KRT Jatiningrat saat membuka kegiatan Panahan Gaya Mataraman Piala Eka Laya di Alun-Alun Kidul Yogyakarta, Sabtu (30/7/2022).
Jemparingan menjadi salah satu mata pelajaran bukan tanpa alasan. KRT Jatiningrat menjelaskan bahwa ada falsafah dari kegiatan jemparingan.
"Jadi 2 tahun sesudah perjanjian Giyanti beliau sudah mendirikan sekolah ini, mata pelajaran yang ada di situ yang sangat kita hargai dan syukuri karena ada pelajaran memanah ternyata dari memanah ini ada falsafahnya," katanya.
ADVERTISEMENT
"Falsafah memanah, yang diajarkan oleh Sri Sultan Hamengku Buwono I yaitu pamenthanging gandewa pamanthenging cipta," bebernya.
Sejumlah pemanah tradisional jemparingan tengah membidik sasaran di Alun-alun Kidul, Yogyakarta pada Sabtu (30/7/2022). Foto: Arfiansyah Panji Purnandaru/kumparan
Sejumlah pemanah tradisional jemparingan tengah membidik sasaran di Alun-alun Kidul, Yogyakarta pada Sabtu (30/7/2022). Foto: Arfiansyah Panji Purnandaru/kumparan
Sejumlah pemanah tradisional jemparingan tengah membidik sasaran di Alun-alun Kidul, Yogyakarta pada Sabtu (30/7/2022). Foto: Arfiansyah Panji Purnandaru/kumparan
Menthang Gandewa Mantheng Cipta memiliki arti mengutamakan konsentrasi. Mantheng Cipta sendiri berarti rasa.
"Jadi kalau kita lihat sasaran itu yang kita lihat adalah dengan mata hati bukan dengan mata ini (fisik) mata ini hanya perkiraan di sana yang harus hidup hati kita," katanya.
"Ini pelajaran konsentrasi yang diajarkan Sultan Hamengku Buwono I pada waktu itu sesuai dengan agama beliau agama Islam pada waktu kita melaksanakan ibadah salat, begitu takbiratul ihram Allahuakbar rasa hati kita yang akan melihat Allah menghadap Allah yang kita yakini adanya tetapi tidak bisa dilihat dengan mata tapi dengan rasa," bebernya.
ADVERTISEMENT
Perasaan ini lah yang dilatih dari jemparingan. Dengan begitu, perasaan seseorang akan terlatih menghayati ketentuan Allah yang maha kuasa.
"Menghayati ketentuan-ketentuan Allah yang maha kuasa dengan rasa," jelasnya.
Sejumlah pemanah tradisional jemparingan tengah membidik sasaran di Alun-alun Kidul, Yogyakarta pada Sabtu (30/7/2022). Foto: Arfiansyah Panji Purnandaru/kumparan
Sementara itu, Kepala Dinas Pariwisata DIY Singgih Raharjo mengatakan jemparingan ini memiliki potensi sebagai daya tarik wisatawan. Termasuk pula event kali ini yang diikuti 100-an peserta dari berbagai daerah.
"Tentu ini dalam rangka menggeliatkan sektor pariwisata dan ekonomi kreatif yang ada di Jogja tentu sekaligus melestarikan budaya Jemparingan Mataram," jelas Singgih.
Setiap acara yang digelar, menurut Singgih bisa menjadi bahan dan materi untuk edukasi. Hal yang terpenting, karena jemparingan ini tetap harus lestari.
"Bahwa jemparingan ini merupakan warisan budaya yang tentu harus kita lestarikan bersama," pungkasnya.
ADVERTISEMENT