Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 ยฉ PT Dynamo Media Network
Version 1.101.0
Jeratan Pasal 156 untuk Ahok Dianggap Tidak Tepat
29 Maret 2017 19:45 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:17 WIB
ADVERTISEMENT

I Gusti Ketut Ariawan, ahli hukum pidana Universitas Udayana, menyebut jeratan Pasal 156 KUHP yang didakwakan terhadap Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, tidak tepat. Menurutnya Pasal 156 lebih mengarah pada delik golongan penduduk.
ADVERTISEMENT
"Pasal 156 itu bukan delik terhadap agama, tapi delik golongan penduduk. Rumusan Pasal 156 itu tidak lazim diberikan untuk kasus penodaan agama," ujarnya usai bersaksi di sidang perkara dugaan agama ke-16 yang digelar PN Jakarta Utara di Auditorium Kementerian Pertanian, Jakarta Selatan, Rabu (29/3).
Gusti mengatakan, penjelasan terhadap Pasal 156 itu tercantum jelas di dalam alinea kedua.
"Alinea kedua saya anggap sebagai penjelasan, tidak boleh membuat norma semacam itu. Sehingga itu hanya berlaku untuk golongan penduduk," kata Gusti.
Ahok kini didakwa Pasal 156 dan Pasal 156 a Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
Pasal 156 mengatur tentang seseorang yang dengan sengaja menyatakan perasaan permusuhan, kebencian, atau penghinaan terhadap suatu atau beberapa golongan rakyat Indonesia.
ADVERTISEMENT
Sementara, pasal 156 a mengatur seseorang yang secara spesifik mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan, atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia.
Pun demikian, kata Gusti, tim penuntut umum harus melihat sisi historis mengapa Pasal 156 a itu dibuat belakangan. Diketahui, penetapan Pasal 156 a sengaja dibuat untuk mencegah aliran kepercayaan yang mengancam keselamatan negara.
"Pasal 156 a itu memang tentang penistaan agama, tapi kita harus melihat secara historis kapan UU itu keluar, waktu itu kan dibuat untuk menyelamatkan Islam dari kemunculan aliran-aliran kepercayaan yang dianggap membahayakan Indonesia," ujar Gusti.
Gusti mengatakan, pasal alternatif 156 a KUHP tersebut ditetapkan berdasarkan Penetapan Presiden (PNPS) nomor 1 Tahun 1965. Dalam sidang putusan Mahkamah Konstitusi pada 2009-2010, menyebutkan UU tersebut masih berlaku.
ADVERTISEMENT
"Kita lihat judulnya adalah pencegahan penodaan, berarti preventif, bukan represif seperti KUHP. dikabulkannya uji materi putusan MK menghasilkan bahwa UU PNPS Nomor 1 Tahun 1965 Ayat 1, khususnya Pasal 2 Ayat 1 memang masih berlaku, jadi saya tidak sependapat dengan JPU," ujar Gusti.