Debat keempat - Prabowo- Gibran

Jika Prabowo Presiden, Seperti Apa Kabinetnya?

22 Januari 2024 20:02 WIB
·
waktu baca 5 menit
Prabowo Subianto tampak selalu optimistis memenangi Pilpres 2024 satu putaran. Terlebih, dua lembaga baru-baru ini merilis hasil survei yang menunjukkan elektabilitas Prabowo-Gibran melewati 50%. Persisnya 50,9% (SPIN) dan 51,8% (IPS).
Ia tetap terlihat yakin meski hasil survei beberapa lembaga lain memperlihatkan elektabilitasnya belum 50%. Indikator memotret angka 45,79% untuk Prabowo-Gibran, sedikit turun dari survei Desember 2023 di angka 46,7%. Hampir sama, LSI Denny JA menyebut elektabilitas paslon 02 di angka 46,6%.
Seluruh survei itu dirilis Januari 2024, kurang dari sebulan sebelum hari H pencoblosan.
Infografik: Hodirin Susanto/kumparan
Prabowo-Gibran diusung oleh koalisi gemuk Indonesia Maju yang terdiri dari 9 partai, yakni 4 partai di parlemen (Gerindra, Golkar, PAN, Demokrat) dan 5 partai di luar parlemen (PBB, PSI, Gelora, Garuda, Prima).
Di antara deretan partai itu, sejumlah praktisi dan pengamat politik meyakini partai-partai besar yang memiliki kursi di DPR bakal didahulukan dalam urusan bagi-bagi kekuasaan. Sumber di kalangan politisi, misalnya, mendengar bahwa ada anggota partai koalisi Prabowo yang menarget lima kursi kabinet.
Menurut pakar politik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Adi Prayitno, proporsi pembagian kursi kabinet Prabowo-Gibran bisa saja ditentukan oleh perolehan suara masing-masing partai pada Pemilu Legislatif 2024.
Namun, tiga partai pengusung awal Prabowo, yakni Gerindra, Golkar, dan PAN, diprediksi mendapat jatah kursi menteri prioritas, terlepas dari perolehan suara mereka di pileg nanti. Dalam hal ini, Adi menilai wajar bila Gerindra dan Golkar mendapat 4–5 kursi menteri, sebab keduanya partai besar dan partai pengusung awal Prabowo.
Dari kanan ke kiri: Ketum PAN Zulkifli Hasan, Ketum Golkar Airlangga Hartarto, Ketum Gerindra Prabowo Subianto, dan Ketum PKB Muhaimin Iskandar. Ini partai-partai pengusung awal Prabowo, sebelum PKB angkat kaki usai dilamar NasDem jadi capres Anies. Foto: Iqbal Firdaus/kumparan
Doktor Ilmu Politik Universitas Al Azhar Indonesia, Ujang Komarudin, menyatakan bahwa hitung-hitungan pembagian jatah kue politik pastilah bersifat proporsional berdasarkan kesepakatan anggota koalisi. Apakah patokannya hasil Pileg 2024 nanti atau Pileg 2019 seperti saat mengusung Prabowo-Gibran, itu tergantung kemauan anggota koalisi.
“Waktu dukung-mendukung kan partai-partainya berdasarkan perhitungan pemilu kemarin (2019), sebab syarat presidential threshold 20% [untuk mengusung capres-cawapres] adalah produk dahulu (UU Pemilu sebelum 2024),” kata Ujang, Sabtu (20/1).
Jadi, pembagian kursi menteri bisa saja berbasis besarnya dukungan suara dari partai dalam mengusung Prabowo—yang artinya hasil Pileg 2019. Namun, lanjutnya, hasil Pileg 2024 bisa pula memicu kesepakatan ulang dari partai-partai anggota koalisi.
“Dalam politik, power sharing bukan hal yang aneh. Itu lumrah,” ucap Ujang.
Ia bahkan mendengar ada partai yang meminta enam kursi menteri ke Prabowo, bukan cuma lima. Menurutnya, “Wajar, namanya juga ikhtiar mengejar kekuasaan. Deal-nya dapat berapa, itu urusan Prabowo dengan ketua umum partai terkait.”
Prabowo bersama Ketum PAN Zulkifli Hasan dan putrinya, Zulya Savitri. PAN sejak awal mengusung Prabowo, dan karenanya diprediksi bakal dapat posisi cukup signifikan. Foto: Dok. Istimewa
Adi berpendapat, pos-pos strategis akan jadi incaran Gerindra, Golkar, dan PAN. Gerindra sebagai partai besutan Prabowo bakal dominan dalam memilih posisi vital seperti Menteri Keuangan, Menteri Pertahanan, atau Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral.
Senada, Ujang menilai Gerindra wajar saja memiliki privilese untuk memutuskan kursi menteri yang mereka mau.
“Apalagi Prabowo Ketum Gerindra, ya dia yang tentukan. PDIP aja sekarang 6 kursi [di kabinet Jokowi]. Kalau Gerindra cuma incar 2 kursi kan ya rugi,” ujar Ujang.

Andil Jokowi di Kabinet Prabowo

Yang menarik, menurut Adi, Jokowi akan turut andil dalam menentukan kabinet Prabowo. Dalam hal ini, Gibran menjadi representasi Jokowi dalam pembagian kursi kabinet.
Adi bahkan memprediksi, PSI yang partai kecil (dan dinakhodai Kaesang, putra bungsu Jokowi) bisa memiliki peluang lebih besar untuk mendapat kursi menteri dibanding Demokrat yang telah memiliki kursi di parlemen.
Pertama, PSI dianggap sebagai partai yang identik dengan Jokowi. Kedua, PSI lebih dahulu mendeklarasikan Prabowo-Gibran dibanding Demokrat.
“Karena [Demokrat] terkesan seperti tamu,” lanjut Adi, merujuk ke waktu masuknya Demokrat ke koalisi Prabowo yang paling akhir, setelah ketua umumnya, Agus Harimurti Yudhoyono, batal menjadi cawapres Anies Baswedan.
Prabowo saat bertemu SBY, Ketua Majelis Tinggi Partai Demokrat, di Cikeas. Foto: Dok. Istimewa
Meski demikian, Sekretaris Majelis Tinggi Partai Demokrat Andi Mallarangeng menyatakan bahwa Demokrat tidak merasa dibedakan dalam koalisi Prabowo meski terakhir bergabung.
“Enggak kok, sama,” ujarnya di Yogya, Jumat (19/1).
Menurut Andi, Demokrat pasti menyiapkan kader-kader terbaiknya untuk posisi apa pun. Namun, mereka tak akan bicara soal kursi menteri sebelum pemilu rampung.
“Kami berikan kepercayaan kepada Pak Prabowo sebagai presiden terpilih, karena menyusun kabinet sepenuhnya kewenangan Presiden,” tegas Andi.
Prabowo-Gibran. Foto: Indrianto Eko Suwarso/Antara Foto
Pada akhirnya, menurut Adi, Prabowo akan tetap menentukan keputusan akhir soal kabinetnya meski Jokowi punya andil di dalamnya. Musababnya: 1) Prabowo adalah Ketua Umum Gerindra, partai utama dalam Koalisi Indonesia Maju; dan 2) Prabowo mendapat dukungan partai-partai di parlemen yang cukup besar (256 kursi).
Situasi ini berbeda dengan Jokowi pada pemilu terdahulu, sebab Jokowi bukanlah ketua umum partai sehingga tak bisa sepenuhnya bebas dalam mengatur kursi kabinetnya. Terlebih pada Pemilu 2014, Jokowi yang mantan Wali Kota Solo merupakan pendatang baru yang tak banyak dapat dukungan dari partai-partai di parlemen.
“Pada periode pertama, Jokowi itu triple minority—bukan ketum partai, dianggap pendatang baru, dan minim dukungan parlemen. Sementara Prabowo saat ini dapat dukungan mayoritas dan powerful,” ucap Adi.
Prabowo dan Jokowi saat menjadi rival di Pilpres 2019. Foto: AFP/Adek Berry
Meski powerful, Prabowo punya banyak PR. Bila memenangkan pertarungan pilpres, ia harus cerdik dalam meracik strategi untuk mengamankan dukungan parlemennya.
Sebab, jika tidak PDIP sebagai partai dengan kursi terbanyak di senayan sebanyak 128 kursi akan siap ‘menggoyang’ pemerintahan sebagai oposisi. Belum lagi, partai parlemen seperti NasDem sebanyak 59 kursi, lalu PKB sebanyak 58 kursi PKS sebanyak 50 kursi, PPP sebanyak 19 kursi.
Untuk itu, kemungkinan besar Prabowo akan melakukan negosiasi kepada partai yang kalah. Strategi mirip Jokowi pada tahun 2019 lalu dengan mengajak partai yang kalah sebagai rekan kerja dinilai akan ampuh.
“Hal ini untuk memperkuat posisi Prabowo setelah dilantik,” jelas Adi.
Ujang menduga, Prabowo akan mencoba mengajak kubu yang kalah untuk berkompromi dengannya. Kondisi keluar masuk oposisi ke pemerintah ini akan sangat mungkin terjadi dalam politik.
“Mungkin, bagi yang kalah diajak masuk tidak ada yang aneh. Karena bagaimanapun, presiden yang menang itu butuh tambahan kekuasaan untuk bergabung, dan itu terjadi pada sekian pemerintah pasca reformasi. jaman SBY, Jokowi, ya sama polanya,” kata Ujang.
“Yang menang merangkul yang kalah. akhirnya yang menang semakin kuat. Kebijakan presiden juga lancar di Parlemen seperti itu,” tutup Ujang.
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten