Jika Terawan Dilarang 'Cuci Otak', Bagaimana Rumah Sakit Lain?

1 April 2022 18:24 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Depan Ruang cuci otak Terawan Foto: Johanes Hutabarat/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Depan Ruang cuci otak Terawan Foto: Johanes Hutabarat/kumparan
ADVERTISEMENT
Majelis Kehormatan Etik Kedokteran Ikatan Dokter Indonesia (MKEK IDI) merekomendasikan pemecatan permanen mantan Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto dari keanggotaan IDI. Terawan disebut telah melanggar sejumlah kode etik profesi dokter, khususnya terkait dengan pengobatan pasien stroke 'cuci otak' menggunakan metode modifikasi Digital Subtraction Angiography (DSA).
ADVERTISEMENT
Ketua Bidang Hukum Pembelaan dan Pembinaan Anggota (BHP2A) PB IDI, Beni Satria, mengatakan pemberian izin praktik ranahnya di pemerintah. Meski dipecat dari IDI, izin praktik Terawan tercatat masih berlaku hingga 5 Agustus 2023.
Namun, Beni menegaskan, Terawan hanya boleh menjalankan praktik yang sudah based on evidence. Ia tak boleh lagi menjalankan modifikasi DSA untuk pengobatan 'cuci otak'.
Lantas, bagaimana praktik DSA di RS lain?
Metode DSA oleh Terawan dimodifikasi menjadi intra-arterial heparin flushing (IAHF) atau lebih dikenal dengan 'cuci otak'. Metode IAHF ini dinilai meragukan karena menggunakan alat yang tidak difungsikan semestinya dan belum terbukti secara ilmiah atau evidende-based medicine (EBM) sebagai syarat pengobatan kedokteran. Tetapi, ini justru dikomersialkan dan diklaim manjur untuk terapi stroke.
Alur tindakan ‘cuci otak’ dr. Terawan di RSPAD. Foto: Johanes Hutabarat/kumparan
Menyusul rekomendasi pemecatan Terawan, Beni menerangkan rumah sakit lain harus menggunakan metode DSA untuk kegunaan yang sesuai bukti ilmiah. Jika tidak, maka akan dikenakan UU Praktik Kedokteran No.29 Tahun 2004 Pasal 79 Huruf C yang ancamannya denda maksimal Rp 50 juta.
ADVERTISEMENT
Beni menambahkan, tentu ada sanksi yang lebih berat apabila praktik DSA tak berdasar bukti ilmiah ini mengakibatkan pasien meninggal dunia.
"Kalau kemudian menyebabkan meninggalnya orang, tentu akan pidananya lagi penjara 5 tahun. Kalau menyebabkan luka berat tentu akan ada pidananya juga 3 tahun. Karena apa yang dilakukan dokter harus sesuai dengan kaidah ilmiah," kata Beni saat konferensi pers virtual, Jumat (1/4).
Beni menerangkan, dokter yang menerapkan DSA tak sesuai aturan tak akan mendapat perlindungan hukum. Seperti yang dialami Terawan usai dipecat dari IDI.
Usai dipecat dari IDI, lanjut Beni, hak-hak sebagai anggota tentu tidak didapatkan lagi oleh dokter. Mulai dari rekomendasi izin praktik hingga jabatan-jabatan yang mengharuskan dijabat oleh seorang dokter yang diatur dalam MKEK, seperti menjadi ketua di perhimpunan dokter.
ADVERTISEMENT
Metode DSA sebenarnya bukan hal baru, tapi sudah ada sejak lama. RS pun boleh melakukan praktik ini tetapi hanya untuk diagnostik.
"Dokter berhak memperoleh perlindungan hukum Pasal 50 UU Praktik Kedokteran No.29 Tahun 2004 sepanjang menjalankan praktik kedokteran sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur," terang Beni.
"Bagaimana nasib dokter yang melakukan DSA? Kalau itu tidak sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur, tentu perlindungan hukum ini tidak akan didapatkan. Hak perlindungan hukum ini tidak akan diperoleh oleh si dokter, ini implikasinya," tandas dia.