Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Jilbab Karateka, Antara Keselamatan dan Aturan Islam
6 Januari 2017 20:49 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:19 WIB
ADVERTISEMENT
Kasus siswi SMP di Ngawi, Jawa Timur, yang gagal bertanding dalam kejuaraan karate karena menggunakan jilbab tak sesuai standar dunia (World Karate Federation; WKF) memunculkan perdebatan publik. Ini karena jilbab sesuai standar WKF memperlihatkan bagian telinga dan tenggorokan.
ADVERTISEMENT
Busana semacam itu tak sesuai dengan definisi jilbab sendiri sebagai “Kerudung lebar yang dipakai perempuan muslim untuk menutupi kepala, leher, sampai dada.” Tak juga cocok dengan definisi hijab sebagai “Kain yang digunakan untuk menutupi muka dan tubuh wanita muslim sehingga bagian tubuhnya tak terlihat.”
Namun, jilbab karateka yang tak sesuai definisi “jilbab” tersebut bukannya dibuat dengan tujuan buruk. Alasan di balik itu sesungguhnya baik, demi keselamatan si atlet.
Aturan jilbab karateka tersebut disepakati internasional sejak 2013. “Termasuk seluruh negara Timur Tengah saat Islamic Solidarity Games di Palembang tahun 2013.”
ADVERTISEMENT
Soal jilbab karateka, ujar Donald, murni mempertimbangkan unsur keselamatan atlet.
“Hijab karateka harus warna hitam. Ada merek yang harus disetujui, tapi kalau di Indonesia boleh di-copy paste karena harganya kan kalau dari luar negeri mahal,” kata Donald.
Untuk di Pulau Jawa, atribut jilbab berstandar WKF sudah diperjualbelikan. Kreator jilbab karateka itu Haji Salimin dari Jawa Tengah.
“Jadi sudah disepakati dan ada aturannya. Bentuk gambar hijab itu sudah saya sosialisasikan dalam penataran tingkat nasional,” kata Donald yang juga Ketua Dewan Wasit Karate se-Asia Tenggara ini.
Ketua Bandung Karate Club Agus Santoso mengatakan, tidak ada pelarangan memakai jilbab bagi karateka muslimah. Pada praktiknya, penutup kepala boleh digunakan.
"Hijab untuk atlet harus menggunakan yang versi olahraga, yang khusus," ujarnya.
ADVERTISEMENT
Agus lalu menunjukkan foto atlet yang bertanding di Kejuaraan Bandung Karate Club (BKC) pada 24 Desember 2016, sehari sesudah kasus Aulia siswi Ngawi terjadi.
Saat itu para official (BKC) sepakat memperbolehkan peserta menggunakan jilbab yang menutupi seluruh bagian kepala, kecuali wajah. Sementara ujung atau tepi jilbab ditaruh di dalam baju karate sehingga tak terlihat menutupi dada.
“Ini aturan olahraga untuk keselamatan atlet. Supaya ketahuan (jika terjadi sesuatu) kalau menendang ke dada, kuping, atau area yang dilarang,” kata Agus.
Yang jadi perhatian di sini, tegas Agus, ialah perlindungan terhadap atlet yang bertanding.
“Supaya wasit yang memimpin bisa melihat pukulan dan tendangan yang masuk, tidak masuk, ataupun pelanggaran," ujarnya.
Jadi, kata Agus, jilbab karateka sama sekali bukan soal diskriminasi terhadap muslim.
ADVERTISEMENT
Pada 23 Desember 2016, seorang murid Sekolah Menengah Pertama Islam Terpadu (SMPIT) Harapan Umat Ngawi bernama Aulia Siva Real Tyassis gagal bertanding di Kejuaraan Karate Junior Piala Bupati Magetan karena tak memakai jilbab standar WKF.
Aulia diminta mengganti jilbabnya sesuai standar WKF dalam waktu satu menit. Namun ia memilih membatalkan keikutsertaannya pada kejuaraan karate itu.
Sekolah Aulia, Institusi Karate-Do Nasional (Inkanas) Ngawi, dan FORKI Magetan saat ini sudah berdamai dan tak memperpanjang kasus Aulia. Namun SMPIT Harapan Umat berharap satu hari nanti aturan jilbab karateka bisa berubah sehingga memenuhi unsur syar’i.