Jimly Minta Puan Tak Teken Penggantian Hakim Aswanto: DPR Jangan Sampai Malu

1 Oktober 2022 19:31 WIB
·
waktu baca 2 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Mantan Ketua MK Jimly Asshiddiqie Foto: Muhammad Adimaja/Antara
zoom-in-whitePerbesar
Mantan Ketua MK Jimly Asshiddiqie Foto: Muhammad Adimaja/Antara
ADVERTISEMENT
Eks Ketua MK Jimly Asshiddiqie menyarankan Ketua DPR Puan Maharani tidak menandatangani keputusan rapat paripurna yang memberhentikan Hakim Konstitusi Aswanto dan menggantinya dengan Sekjen MK Guntur Hamzah karena ketentuan hukum.
ADVERTISEMENT
Pergantian Hakim Konstitusi usulan DPR itu memang menuai polemik. Sebab, Hakim Aswanto yang masih menjabat hingga 2029 mendadak diberhentikan.
Jimly mengatakan Puan harus menjaga reputasi DPR agar tidak malu. Sebab, putusan pemberhentian dalam paripurna itu dinilai melanggar UU yang berlaku.
"Nah, cuma, kan, bagaimana DPR jangan sampai malu sebagai institusi. Jadi saya sarankan Ibu Puan sebagai Ketua DPR enggak usah teken [putusan rapat paripurna]," kata Jimly di Kantor MK, Jakarta Pusat, Sabtu (1/10).
Jimly menjelaskan menurut UU, untuk memberhentikan hakim MK harus terdapat surat permohonan dari Ketua MK. Surat itu berisi pemberitahuan soal kekosongan jabatan.
Namun, untuk pemberhentian Aswanto Aswanto, DPR melandaskan pada surat MK yang berisi konfirmasi pemberitahuan perpanjangan masa jabatan Hakim Konstitusi. Hal ini yang dinilai Jimly bahwa DPR salah memahami surat MK.
ADVERTISEMENT
"Pemberhentian itu tidak bisa ditindaklanjuti, memberhentikan Aswanto tidak bisa, kenapa tidak bisa? Karena menurut UU harus ada surat dari Ketua MK tentang pemberhentian. Kalau tentang pemberhentian tidak ada, berarti tidak ada kekosongan hukum, tidak bisa mengangkat penggantinya," jelas anggota DPD RI ini.
Jimly tak menampik adanya kemungkinan tujuan politik di dalam keputusan DPR. Sebab, menurutnya, sejak awal banyak pihak yang kurang menyukai keputusan MK.
"Ada, begini kalau politik ada yang namanya motivated reasoning. Penalaran yang didorong oleh motivasi. Nah, motivasi orang politik sejak periode pertama, bukan cuma di Indonesia tapi di seluruh dunia, begitu MK lahir orang tidak menyadari. Setelah sekali dua kali membuat putusan membatalkan UU mulai marah," kata dia.
ADVERTISEMENT
"Periode saya, kan, begitu juga. Selalu begitu. Tapi negara demokrasi substansial yang sejati memang harus begitu. Di sana majority rule, di sini minority rights. Ini tempat untuk melindungi minoritas. Minoritas itu bukan hanya agama etnis. Minoritas kekuatan politik. Jadi kalau tidak ada pengadilan yang independen, itu demokrasi prosedural. Enggak punya arti," tandasnya.