Joe Biden Tuntut Pertanggungjawaban Iran atas Kekerasan pada Demo Mahsa Amini

Presiden Amerika Serikat (AS), Joe Biden , bersumpah akan menuntut pertanggungjawaban para pemimpin Iran pada Senin (3/10). Pasalnya, otoritas memberlakukan tindakan keras terhadap protes nasional yang dipicu kematian Mahsa Amini .
Amini dinyatakan tewas pada 16 September usai ditahan Guidance Patrol Iran. Unit Polisi Moral itu kerap menangkap orang etnis Kurdi, serta memaksa perempuan mengikuti aturan berpakaian ketat di Iran. Amini juga diduga mengalami penyiksaan dalam tahanan mereka.
Kemarahan atas kematiannya telah memicu gelombang protes terbesar yang mengguncang negara tersebut dalam tiga tahun terakhir. Biden kemudian menyatakan kekhawatiran atas penindasan terhadap pengunjuk rasa yang semakin meningkat itu.

Biden menekankan, Washington akan terus berpihak pada semua warga Iran. Pemerintahan Biden akan kembali mengambil tindakan pula terhadap otoritas negara tersebut.
"Pekan ini, Amerika Serikat akan mengenakan biaya lebih lanjut pada pelaku kekerasan terhadap pengunjuk rasa damai," bunyi pernyataan Biden, dikutip dari AFP, Selasa (4/10).
"Kami akan terus meminta pertanggungjawaban pejabat Iran dan mendukung hak-hak warga Iran untuk memprotes secara bebas," imbuhnya.

Biden tidak mengindikasikan langkah yang akan dia pertimbangkan. Namun, AS telah menempatkan Polisi Moral negara itu dalam daftar sanksinya sejak akhir Agustus. Menyusul AS, Kanada turut memberlakukan sanksi serupa terhadap para pejabat Iran.
Sanksi tersebut membekukan aset seseorang yang berada di bawah yurisdiksi AS. Individu dan perusahaan AS juga dilarang melakukan kerja sama bisnis dengan penerima sanksi.
Iran sudah mengadang sanksi ekonomi AS akibat program nuklirnya sejak 2018. Pemimpin Agung Iran, Ayatollah Ali Khamenei, lantas menuduh bahwa pergolakan itu dipicu AS dan Israel.

Khamenei menambahkan, polisi bertugas melawan 'penjahat' yang mengobarkan kerusuhan di jalanan. Menurutnya, protes tersebut bukan tentang kebebasan berpakaian terkait hijab. Sebab, perempuan yang tidak mengenakannya pun mendukung pemerintah Iran.
"Kerusuhan direkayasa oleh Amerika dan rezim Zionis palsu yang melakukan pendudukan, serta agen bayaran mereka, dengan bantuan beberapa pengkhianat Iran di luar negeri," ujar Khamenei.
Sejak kematian Amini, setidaknya 92 pengunjuk rasa tewas di Iran. Angka tersebut dilaporkan oleh organisasi HAM, Iran Human Rights (IHR). Pihaknya berusaha mencatat jumlah korban sementara otoritas memadamkan internet dan memblokir media sosial di Iran.

Sementara itu, Amnesty International mengabarkan 53 kematian dalam protes di Iran. Otoritas mengatakan, 12 anggota pasukan keamanan turut tewas sejak 16 September.
Seolah nyawa tersebut tidak mencukupi, otoritas menindak keras ratusan mahasiswa di Sharif University of Technology. Membawa senjata dengan pelet logam, polisi anti huru hara menembakkan gas air mata dan senapan paintball di universitas bergengsi itu.
"Wanita, hidup, kebebasan" teriak para mahasiswa.
"Mahasiswa lebih memilih kematian daripada penghinaan," seru yang lainnya.

IHR mengunggah rekaman dari lokasi yang menunjukkan polisi mengejar mahasiswa dengan sepeda motor. Otoritas mengambil tahanan dengan kepala yang ditutupi kain hitam. Protes lalu meletus pula di universitas-universitas lain, termasuk di Kota Isfahan.
Menanggapi protes tersebut, Menlu Inggris, James Cleverly, memanggil diplomat Teheran di London. Menteri Luar Negeri Jerman, Annalena Baerbock, juga mengecam rezim Iran. Kanada kemudian memberlakukan sanksi baru atas tindakan Polisi Moral Iran.
Iran mengulangi tuduhannya tentang 'kekuatan luar' yang memicu protes. Pekan lalu, Iran menahan sembilan warga negara asing, termasuk dari Prancis, Jerman, Italia, Belanda, dan Polandia. Salah satunya adalah wanita berusia 30 tahun asal Roma, Alessia Piperno.

Orang tuanya mengatakan, komunikasi mereka telah terputus dengan Piperno. Mereka kemudian menerima panggilan telepon dari Piperno berada dalam tahanan di Iran pada Minggu (2/10).
"Saya baik-baik saja, tetapi ada orang di sini yang mengatakan bahwa mereka telah berada di dalam tahanan selama berbulan-bulan dan tanpa alasan," ungkap Piperno.
"Saya khawatir saya tidak akan dibiarkan keluar lagi. Bantu saya," lanjut dia.