Jokowi Sudah Presiden 2 Periode, Masih Bisa Jadi Cawapres?

16 September 2022 7:20 WIB
·
waktu baca 9 menit
comment
7
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Presiden Jokowi didampingi Menhan Prabowo Subianto usai menyerahkan bansos di Kantor Pos Cabang Pembantu Moa, Maluku Barat Daya, Kamis (15/9/2022). Foto: Rusman/Biro Pers Sekretariat Presiden
zoom-in-whitePerbesar
Presiden Jokowi didampingi Menhan Prabowo Subianto usai menyerahkan bansos di Kantor Pos Cabang Pembantu Moa, Maluku Barat Daya, Kamis (15/9/2022). Foto: Rusman/Biro Pers Sekretariat Presiden
ADVERTISEMENT
Juru bicara Mahkamah Konstitusi (MK), Fajar Laksono, menyatakan presiden yang sudah menjabat selama 2 periode bisa menjadi cawapres untuk periode berikutnya.
ADVERTISEMENT
Pernyataan itu membuka peluang Presiden Jokowi bisa diusung sebagai cawapres pada Pemilu 2024. Saat bersamaan, muncul dorongan dalam bentuk poster yang menduetkan Prabowo dengan Jokowi.
Fajar Laksono menyatakan bahwa tak ada aturan secara eksplisit dalam aturan itu yang mengatur soal Presiden yang telah menjabat selama dua periode lalu mencalonkan diri sebagai xawapres.
”Soal Presiden yang telah menjabat 2 periode lalu mencalonkan diri sebagai cawapres, itu tidak diatur secara eksplisit dalam UUD,” ujar Fajar.
Sehingga menurut Fajar, jika mengacu pada bunyi Pasal tersebut, tidak terdapat adanya larangan bagi presiden dua periode untuk menjadi wakil presiden di periode berikutnya.
”Secara normatif mau dimaknai 'boleh', sangat bisa. Secara etika politik dimaknai 'tidak boleh', bisa juga. Tergantung argumentasi masing-masing. Intinya, itu tidak ada aturan eksplisit di UUD,” terang dia.
Juru Bicara MK, Fajar Laksono. Foto: Darin Atiandina/kumparan

Memicu Polemik

ADVERTISEMENT
Pernyataan Jubir MK itu kemudian memicu polemik. Banyak ahli hukum tata negaraa tidak sepakat dengan pernyataan itu.
Pakar Hukum Tata Negara, Denny Indrayana, menentang pemahaman konstitusi yang disampaikan Jubir MK. Menurutnya, ada masalah konstitusional jika Jokowi jadi cawapres.
"Soal apakah Presiden Jokowi dapat menjadi calon wapres dalam Pemilu 2024, jawabannya jelas tidak bisa. Mengapa? Karena Pasal 7 UUD 1945 membatasi masa jabatan presiden untuk maksimal 2 periode," ucap Denny.
Denny menyebut, jika Presiden Jokowi menjadi wapres (2024-2029), maka Pasal 8 ayat 1 UUD 1945 soal wapres yang menggantikan presiden saat berhalangan, berpotensi tidak bisa dilaksanakan karena berarti Jokowi menjadi presiden lebih dari dua periode dan karenanya melanggar Pasal 7 UUD 1945.
ADVERTISEMENT
"Secara hukum, yang bisa terjadi adalah jika periode pertama 5 tahun seseorang menjadi presiden, lima tahun kedua menjadi wapres, lalu 5 tahun ketiga dia menjadi presiden kembali," tutur eks wamenkum bergelar profesor doktor ini.
"Faktanya, tidak ada seorang Presiden yang pada periode kedua mencalonkan diri sebagai wapres. Kalau ada, itu akan menjadi rekor, dan keajaiban dunia Ke-8," pungkasnya.
Denny Indrayana dampingi perwakilan masyarakat Kalsel temui PBNU. Foto: Aprilandika Pratama/kumparan

Perlu Kajian Konstitusi

Ketua DPP PDIP Eriko Sotarduga memeberikan tanggapannya terhadap isu itu. Eriko mengatakan memang tak ada aturan yang dilanggar dalam konstitusi. Namun, kata dia, perlu ada kajian konstitusi soal kemungkinan ada masalah.
"Sebenarnya begini, secara konstitusi, kan, tidak ada yang bisa menghambat hal itu," kata Eriko,.
Tapi, ada kemungkinan masalah konstitusional jika presiden berhalangan tetap dan cawapres menjadi presiden, maka ada potensi melanggar UUD karena berarti presiden menjabat tiga periode.
ADVERTISEMENT
"Apakah itu, ini perlu kajian secara aturan dan konstitusi, loophole-nya di mana," tuturnya.
Dia pun mengingatkan capres-cawapres harus diusung parpol atau gabungan parpol. Karena itu, Eriko mengatakan wacana ini perlu ditanyakan ke parpol koalisi seperti Gerindra dan PKB.
Tentu yang mencalonkan ini, kan, adalah partai atau gabungan partai-partai politik. Itu tentu harus ditanyakan kepada partai-partai tersebut. Apakah misalnya contoh Gerindra-PKB seperti apa, itu, kan, perlu ditanyakan ke Gerindra dengan PKB apakah ada hal seperti itu," kata dia.
Terlebih, Eriko menambahkan politik bersifat dinamis. Sehingga segala kemungkinan masih bisa terjadi, termasuk wacana Prabowo-Jokowi masih bisa berubah.
Ketua Umum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) memberikan arahan saat membuka Rapimnas Partai Demokrat 2022 di di Balai Sidang Jakarta Convention Center (JCC), Jakarta, Kamis (15/9/2022). Foto: Hafidz Mubarak A/ANTARA FOTO

Absolute Power Biasanya Gagal, Jangan Biarkan Isu Presiden 3 Periode

Ketua Umum Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) mengimbau kadernya jangan sampai membiarkan isu adanya upaya melanggengkan isu Jokowi 3 periode. Ia menekankan wacana perpanjangan masa jabatan presiden tak demokratis dan tak sesuai UUD 1945.
ADVERTISEMENT
Hal ini diungkap AHY dalam menyoroti berbagai persoalan yang mengancam keharmonisan dan kelangsungan Indonesia.
"Ada upaya langgengkan kekuasaan. Absolute power biasanya gagal juga, rontokan sendi-sendi masyarakat. Jangan sampai kita biarkan isu presiden 3 periode, perpanjangan tanpa pemilu. Tidak demokratis dan inkonstitusional," kata AHY.
Menurut AHY, ironis bahwa saat ini Indonesia terasa dimiliki sebagian elite saja. Apalagi jika kekuasaan itu tak ada akhirnya.
"Kita rasa negara dikuasai segelintir orang saja. Kolusi dengan mereka yang punya modal. Money politics. Seolah semua bisa dibayar. [Padahal] ini negeri kita sendiri," ujar dia.
"Suara kritis rakyat juga sering dibungkam. Makin banyak yang takut bersuara. Negara kita enggak boleh jadi negara yang intimidasi, kriminalisasi rakyat sendiri. Indonesia untuk semua, bukan hanya mereka yang punya kuasa, uang," tegasnya.
Wasekjen PKB Maman Imanulhaq Foto: Fahrian Saleh/kumparan

Banyak Tokoh, Enggak Ada Kerjaan Banget

ADVERTISEMENT
Wakil Sekretaris Dewan Syuro PKB Maman Immanulhaq menanggapi wacana duet Ketum Prabowo Subianto dan Presiden Jokowi di 2024. MK mengatakan, berdasarkan konstitusi, Jokowi masih bisa maju di pilpres namun sebagai cawapres.
Maman berpandangan logika Jokowi maju sebagai cawapres tidak logis. Sebab, kata dia, Indonesia masih memiliki banyak tokoh yang bisa diusung di Pilpres 2024.
"Saya rasa logika MK itu tidak logis. Kita itu banyak sekali, kok, kader-kader bangsa," kata Maman.
"Masa Jokowi dari presiden ke wapres, enggak ada kerjaan banget, catet itu," timpal dia.
Karena itu, Maman menegaskan PKB tak setuju dengan wacana tersebut. Gerindra-PKB sudah sepakat menjalin koalisi di 2024.
"Ya enggak setujulah Pak Jokowi jadi wapres ngapain," sebut anggota komisi VIII DPR ini.
ADVERTISEMENT
Lebih lanjut, Maman menyebut PKB tetap ingin Ketum PKB Muhaimin Iskandar (Cak Imin) sebagai capres 2024.
Petugas melakukan pengecekan kualitas surat suara Pilpres 2019 saat pencetakan surat suara di Jakarta, Minggu (20/1/2019). Foto: ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja

Memahami Polemik Presiden 2 Periode Menjadi Cawapres

Undang-Undang Dasar mengatur bahwa seorang Presiden atau Wakil Presiden menjabat selama 5 tahun dan bisa dipilih untuk untuk jabatan yang sama untuk sekali masa jabatan. Artinya, maksimal masa jabatan untuk satu posisi ialah dua periode.
Namun, bagaimana bila Presiden setelah dua periode kemudian maju sebagai calon Wakil Presiden. Apakah memungkinkan?
Masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden diatur dalam Pasal 7 UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Berikut bunyinya:
"Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan."
Mantan Ketua MK, Jimly Asshiddiqie menolak pendapat Jubir MK yang menyebut presiden dua periode boleh menjadi cawapres. Jimly mengatakan pernyataan Fajar bukanlah putusan MK.
ADVERTISEMENT
"Statement Humas MK bukan putusan resmi MK, jangan jadi rujukan. Staf pengadilan dilarang bicara substansi. Lagian isinya salah," ucap Jimly.
Jimly mengatakan, UUD 1945 sudah mengatur presiden hanya menjabat selama 2 x 5 tahun. Sesudahnya tidak boleh lagi, termasuk jadi wapres.
"Jika setelah dilantik presiden meninggal, wapres langsung naik jadi presiden," ucapnya.
Ketua KPU Hasyim Asy'ari di Kantor KPU, Jakarta, Rabu (3/8/2022). Foto: Jamal Ramadhan/kumparan

Analisis KPU

KPU memberikan pendapat mereka terkait presiden yang sudah menjabat 2 periode bisa maju menjadi calon wakil presiden.
Ketua KPU RI Hasyim Asy'ari kemudian menjelaskan ketentuan UUD 1945 tepatnya di Pasal 7 dan Pasal 8. Dua pasal itu mengatur soal masa jabatan presiden dan wakil presiden.
Berikut bunyinya:
Pasal 7
Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan.
ADVERTISEMENT
Pasal 8
(1) Jika Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya, ia digantikan oleh Wakil Presiden sampai habis masa jabatannya.
Hasyim kemudian mengutip UU 7 tahun 2017 tentang Pemilu. Dalam Pasal 169, disebutkan syarat capres belum menjabat presiden atau wakil presiden selama dua kali dalam jabatan yang sama.
Berikut bunyinya:
Pasal 169
n. belum pernah menjabat sebagai Presiden atau Wakil Presiden selama 2 (dua) kali masa jabatan dalam jabatan yang sama;
Dari aturan itu, Hasyim mengatakan seseorang menduduki jabatan presiden atau wapres selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama hanya untuk satu kali masa jabatan.
Petugas melakukan pengecekan kualitas surat suara Pilpres 2019 saat pencetakan surat suara di Jakarta, Minggu (20/1/2019). Foto: ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja
"Seseorang dapat mencalonkan diri sebagai capres atau cawapres, bila belum pernah menjabat sebagai Presiden atau Wakil Presiden selama 2 (dua) kali masa jabatan dalam jabatan yang sama," ucap doktor sosiologi politik itu.
ADVERTISEMENT
Namun, dalam ukuran 1 kali masa jabatan untuk jabatan Presiden atau Wapres, terdapat dua penafsiran.
Pertama, penafsiran harfiah (literlijk) sebagaimana terdapat dalam rumusan teks Pasal 7 UUD bahwa 1 kali masa jabatan adalah 5 tahun terhitung sejak pengucapan sumpah janji (pelantikan).
Kedua, penafsiran sistematis sebagaimana terdapat dalam Putusan MK No. 67/PUU-XVII/2020 JR UU No. 10/2016 tentang Pilkada yang pada intinya bahwa seseorang yang telah menjabat sebagai Kepala Daerah atau Wakil Kepala Daerah namun tidak sampai habis masa jabatan 5 tahun.
ADVERTISEMENT
"Maka bila sudah menjabat selama "setengah atau lebih masa jabatan" dihitung telah menjabat 1 kali masa jabatan," ucap mantan anggota KPU Jawa Tengah itu.
Hasyim menjelaskan, dalam hal seseorang telah menjabat sebagai Presiden selama 2 kali masa jabatan dan kemudian mencalonkan diri sebagai calon wakil presiden, akan terdapat problem konstitusional sebagaimana ketentuan norma Pasal 8 UUD.
Kandidat Presiden Indonesia Prabowo Subianto dan Joko Widodo saat mengambil nomor urut di Kantor KPU, Jakarta pada 21 September 2018. Foto: AFB/Bay Ismoyo
Berikut urainnya:
ADVERTISEMENT
1. Bila A telah menjabat sebagai Presiden 2 kali masa jabatan mencalonkan diri sebagai cawapres, tetap sah dan tidak ada larangan dalam konstitusi.
2. Bila B sebagai capres terpilih dan dilantik sebagai Presiden, dan A dilantik sebagai wapres, maka dalam hal terjadi situasi sebagaimana Pasal 8 UUD:
"Maka A tidak dapat menggantikan kedudukan sebagai Presiden karena A telah pernah menduduki jabatan selama 2 kali masa jabatan sebelumnya," kata Hasyim.
"Dalam situasi tersebut, A tidak memenuhi syarat sebagai Presiden sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 169 huruf n UU 7/2017 tentang Pemilu," tutur Hasyim.
Juru bicara MK, Fajar Laksono. Foto: Aprilandika Pratama

MK Klarifikasi

M mengklarifikasi polemik pernyataan bahwa presiden yang telah menjabat dua periode bisa kembali mencalonkan diri sebagai wakil presiden.
ADVERTISEMENT
Pernyataan tersebut sebelumnya disampaikan oleh Kepala Bagian Humas dan Kerja Sama Dalam Negeri, Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal sekaligus jubir MK, Fajar Laksono.
Dalam klarifikasinya, MK menyatakan pernyataan Fajar tersebut bukan sikap atau pernyataan resmi lembaga.
"Pernyataan mengenai isu dimaksud bukan merupakan pernyataan resmi dan tidak berkaitan dengan pelaksanaan kewenangan Mahkamah Konstitusi RI," kata Humas MK.
Dalam klarifikasi MK, disebutkan bahwa pernyataan Fajar tersebut merupakan respons atas pertanyaan yang disampaikan dalam diskusi informal. Fajar menjawab pertanyaan wartawan yang bertanya melalui chat WhatsApp, bukan dalam forum resmi, doorstop, apalagi dalam ruang atau pertemuan khusus yang sengaja dimaksudkan untuk itu.
Kata Humas MK, pada saat menjawab pesan WhatsApp dimaksud, Fajar tidak terlalu memperhatikan bahwa jawaban tersebut dimaksudkan untuk tujuan pemberitaan, sehingga jawaban disampaikan secara spontan, singkat, informal, dan bersifat normatif.
ADVERTISEMENT
Di sisi lain, MK menegaskan, bahwa Fajar Laksono merupakan pengajar atau akademisi. Oleh karena itu, dalam beberapa kesempatan, selama ini membuka ruang bagi wartawan yang ingin, baik bertemu secara langsung di ruang kerja, melalui chat WhatsApp, atau sambungan telepon, guna mendiskusikan isu-isu publik aktual, sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan kode etik.
Dalam keterangan yang sama, Fajar disebut siap melayani wartawan yang ingin mendapatkan tambahan informasi, pemahaman, atau perspektif berbeda guna memperkaya sudut pandang, tidak harus untuk keperluan pemberitaan.