Jumlah Dokter Spesialis di Indonesia Ketiga Terendah se-ASEAN

13 Oktober 2022 13:48 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi dokter menutupi wajah. Foto: Shutter Stock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi dokter menutupi wajah. Foto: Shutter Stock
ADVERTISEMENT
Badan Kesehatan Dunia, WHO merekomendasikan anggotanya untuk memenuhi “golden line” atau “garis emas” rasio jumlah dokter. Termasuk dokter umum dan spesialis, yang ideal, yaitu 1/1000 atau 1 dokter per 1000 penduduk.
ADVERTISEMENT
Apabila sebuah negara berhasil memenuhi “golden line”, maka dapat dikategorikan berhasil dan bertanggung jawab kepada rakyatnya di bidang kesehatan.
Bagaimana posisi Indonesia saat ini?
Dr. dr. Anwar Santoso, SpJP(K), dokter spesialis jantung dan mantan Ketua Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiologi Indonesia (PERKI) mengungkapkan data terkait ini.
Angka terakhir yang didapatkan dari WHO dan juga World Bank rasio Indonesia ada di 0,46/1000, atau ketiga terendah di ASEAN setelah Laos 0,3/1000 dan Kamboja 0,42/1000. Kalau dibandingkan dengan Thailand dan Filipina, Indonesia masih kalah, apalagi dengan Malaysia dan Singapura.
“Berdasarkan UUD 1945–Perubahan keempat, pasal 34 (ayat3) yang berbunyi “Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak”, maka jika dilihat dari perspektif Sistem Kesehatan Nasional, pemahaman “pelayanan kesehatan” itu termasuk sarana, prasarana, peralatan, dokter dan tenaga kesehatan serta sistem pembiayaan yang baik. Ini adalah tugas penyelenggara negara,” kata dr Anwar dalam keterangannya, dikutip Rabu (12/10).
ADVERTISEMENT
Untuk memahami urgensi pemerataan dokter,menurutnya pihak terkait dapat mengambil contoh pembayaran premi BPJS yang harus ditanggung setiap masyarakat—di mana pun lokasinya—adalah sama. Jika seorang peserta BPJS menderita serangan jantung dan tinggal di Jakarta, maka dia beruntung akan mendapatkan pelayanan maksimal.
“Namun untuk peserta yang tinggal di Kabupaten Atambua, NTT, akan mengalami masalah besar untuk bisa menikmati pelayanan kesehatan yang setara,” tutur dia.
Ilustrasi ibu hamil kena serangan jantung. Foto: Shutterstock
Tiap Hari Ada Pasien Jantung Dibayangi Kematian
Indonesia krisis dokter spesialis. Padahal ini kebutuhan mendasar bagi masyarakat, tanpa terkecuali.
“Saya akan memberikan gambaran bahwa kita saat ini sedang mengalami krisis dokter spesialis dan dokter subspesialis, dan ini mencerminkan sektor kesehatan kita sedang tidak baik-baik saja,” jelas Anwar.
Sebagai spesialis jantung, dr Anwar meninjau masalah ini dari layanan kardiovaskular karena penyakit ini merupakan penyakit yang high volume, high risk dan high cost, dibandingkan dengan penyakit lain di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Setiap tahun BPJS menanggung lebih dari Rp 9 triliun untuk menyembuhkan pasien dari penyakit ini.
“Saya ambil contoh penyakit jantung bawaan. Sebagian besar pasien membutuhkan operasi, tidak hanya minum obat. Data terakhir yang saya dapatkan, pasien harus antre selama satu setengah tahun untuk dapat dioperasi di RS Jantung Harapan Kita, sebagai rumah sakit rujukan nasional,” jelas dia.
“Kebanyakan dari mereka datang dari daerah karena di ibu kota provinsi tidak tersedia dokter spesialis bedah jantung,” imbuhnya.
Kemudian untuk penyakit jantung lainnya pasien membutuhkan waktu sekitar 3 bulan hingga 6 bulan. Selama mereka menunggu antrean, mereka selalu dibayangi dengan kematian.
“Apakah ini bukan sesuatu hal yang sangat tragis? Belum lagi mereka bisa jatuh miskin karena mereka datang ke Jakarta dengan pesawat. Berapa uang yang dihabiskan, untuk transportasi dan akomodasi selama mereka di Jakarta?” tegasnya.
Infografik Sulitnya Mencari Dokter Spesialis. Foto: kumparan
Menurutnya harus ada prinsip keadilan dan kesetaraan. Pemerintah yang memiliki mandat untuk menyelenggarakan pelayanan kesehatan dengan memberikan peralatan dan prasarana yang sama pada semua RS atau provinsi sesuai kriteria RS di daerah. Sehingga pasien dapat ditangani di sana dan tidak perlu jauh-jauh ke Jakarta. Selain itu, harus segera ada akselerasi produksi dokter spesialis
ADVERTISEMENT
“Saya mendengar Badan Legislatif DPR baru-baru ini mengambil inisiatif untuk membahas dan menerbitkan RUU Omnibus Kesehatan. Ini perlu kita apresiasi dan cermati karena akan menjadi pintu masuk negara mengambil upaya terobosan untuk mengatasi masalah jumlah dan distribusi dokter sesegera mungkin,” jelas dia.
“Untuk mengakselerasi produksi dokter spesialis, sudah waktunya DPR mengakomodir berdirinya program pendidikan dokter spesialis dan subspesialis di rumah sakit atau hospital-based training,” tutupnya.