Junta Myanmar Masih Menyerang Usai Gempa, Oposisi Minta 2 Pekan Gencatan Senjata

30 Maret 2025 18:11 WIB
·
waktu baca 2 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Personel militer berjaga saat ratusan pengungsi menyeberangi perbatasan sungai antara Myanmar dan Thailand, kota perbatasan strategis ke tangan pemberontak yang memerangi junta militer Myanmar, di Mae Sot, Provinsi Tak, Thailand, Sabtu (13/4/2024) Foto: Athit Perawongmetha/Reuters
zoom-in-whitePerbesar
Personel militer berjaga saat ratusan pengungsi menyeberangi perbatasan sungai antara Myanmar dan Thailand, kota perbatasan strategis ke tangan pemberontak yang memerangi junta militer Myanmar, di Mae Sot, Provinsi Tak, Thailand, Sabtu (13/4/2024) Foto: Athit Perawongmetha/Reuters
ADVERTISEMENT
Serangan udara terus mengguncang Myanmar meski negara itu baru dilanda gempa dahsyar berkekuatan 7,7 magnitudo.
ADVERTISEMENT
Junta militer melancarkan serangan di Naungcho, Negara Bagian Shan, hanya tiga jam setelah gempa mengguncang Sagaing pada Jumat (28/3).
BBC Burmese mengonfirmasi tujuh korban tewas dalam serangan itu.
Kelompok perlawanan melaporkan serangan udara lainnya di Chang-U, wilayah pusat gempa, serta di perbatasan Thailand.
Pemerintah Persatuan Nasional (NUG) yang mewakili pemerintahan sipil yang digulingkan, menyerukan jeda dua minggu dalam operasi militer ofensif di wilayah terdampak bencana.
Warga melihat kondisi kuil yang runtuh setelah gempa di Mandalay, Myanmar, Jumat (28/3/2025). Foto: Social Media /via REUTERS

Militer Myanmar Bertahan dengan Serangan Udara

Perang saudara yang berlangsung sejak kudeta 2021 telah melemahkan junta.
Investigasi BBC menunjukkan militer kini hanya menguasai kurang dari 25 persen wilayah Myanmar, sementara 42 persen dikuasai kelompok perlawanan dan sisanya masih diperebutkan.
Dalam situasi ini, junta mengandalkan serangan udara untuk menekan oposisi.
Pasukan etnis dan kelompok pro-demokrasi tidak memiliki kekuatan udara untuk membalas.
Helikopter militer junta Myanmar terbang dalam formasi selama upacara untuk menandai peringatan 75 tahun Hari Persatuan Myanmar, di Naypyidaw, Myanmar, Sabtu (12/2/2022). Foto: Stringer/AFP
Militer telah melakukan pemboman yang menghancurkan sekolah, biara, gereja, dan rumah sakit.
ADVERTISEMENT
Salah satu serangan udara paling mematikan menewaskan lebih dari 170 orang, termasuk perempuan dan anak-anak.
Dukungan Rusia dan China memperkuat keunggulan udara junta.
Meski PBB menyerukan embargo senjata, dua negara itu tetap memasok jet tempur dan pelatihan militer.
Ironisnya, mereka juga mengirim tim bantuan ke Myanmar pasca-gempa.
“Sulit mempercayai simpati mereka, sementara mereka adalah pemasok senjata yang digunakan untuk membunuh warga sipil kita,” ujar aktivis hak asasi manusia Burma di Inggris, Julie Khine.

Kekhawatiran Manipulasi Bantuan

Tim penyelamat bekerja di lokasi bangunan yang runtuh, setelah gempa bumi kuat, di Mandalay, Myanmar, Minggu (30/3/2025). Foto: Stringer/REUTERS
PBB memperingatkan, junta mungkin akan menggunakan bantuan sebagai alat perang.
Militer Myanmar memiliki sejarah menolak distribusi bantuan ke daerah-daerah yang dikuasai oposisi.
Pelapor Khusus PBB untuk Myanmar, Tom Andrews, menyoroti pola ini.
“Dalam bencana sebelumnya, mereka memblokir bantuan dan menangkap pekerja kemanusiaan,” katanya kepada BBC.
ADVERTISEMENT
“Saya khawatir mereka akan melakukan hal yang sama kali ini.”