Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.99.1

Tak seperti kantor-kantor pemerintah yang umumnya libur di akhir pekan, awal Februari kemarin gedung DPR menyala malam-malam. Para anggota Dewan lembur membahas RUU BUMN dan RUU Minerba —dua RUU yang tak masuk daftar Program Legislasi Nasional prioritas.
***
Sabtu, 15 Februari 2025, para anggota Badan Legislasi DPR berduyun-duyun datang malam-malam ke Gedung Nusantara I di kompleks parlemen, Senayan, Jakarta. Salah satunya legislator NasDem Machfud Arifin.
Ia mengunggah kegiatan malam minggunya itu ke media sosial: menghadiri sebuah pernikahan, kemudian berangkat ke Gedung DPR untuk mengikuti rapat pembahasan revisi Undang-undang Nomor 4/2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba).
Rapat dikebut sampai rela lembur demi pengesahan revisi UU Minerba sesegera mungkin pada Rapat Paripurna ke-13 DPR Masa Sidang II 2024–2025 yang berlangsung Selasa, 18 Februari. Target itu tercapai. Dua hari kemudian, perubahan UU Minerba disahkan menjadi Undang-Undang.
“Rapat selesai pukul 00.30 dini hari,” tulis Machfud dalam unggahannya. Artinya, Baleg rapat sampai hari masuk ke Minggu. Betul-betul malam mingguan di parlemen demi kejar target pengesahan UU.
Malam minggu sebelumnya, 1 Februari, Komisi VI DPR juga mengebut revisi UU Badan Usaha Milik Negara. Rapat dihadiri oleh Wakil Ketua DPR yang juga Ketua Harian Gerindra, Sufmi Dasco Ahmad.
Perubahan pada UU BUMN itulah yang kemudian menjadi dasar hukum pembentukan Danantara, lembaga pengelola aset negara yang diresmikan Presiden Prabowo Subianto pada 24 Februari.
Tak heran pembahasan revisi undang-undang yang vital itu dipantau langsung oleh Dasco, Sabtu sore itu. Dasco tiba di ruang rapat Komisi VI DPR sekitar pukul 16.05 WIB.
Selain Dasco, ada kader Gerindra lain di ruang rapat. Mereka adalah Ketua Komisi III Habiburokhman dan Menteri Hukum Supratman Andi Agtas sebagai perwakilan pemerintah.
Dalam rapat itu, Komisi VI menyetujui RUU Perubahan Ketiga Atas UU Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN untuk dibawa dan disetujui pada Rapat Paripurna DPR.
Revisi UU BUMN dan UU Minerba pun disahkan menjadi undang-undang pada rapat paripurna tanggal 4 dan 18 Februari. Keduanya diketok tanpa penolakan dari fraksi-fraksi di DPR. Semua partai menyetujuinya.
Meski semua fraksi seia sekata mengetuk pengesahan dua UU tersebut, bukan berarti merepresentasikan keinginan publik. Malahan, pengesahan UU BUMN dan UU Minerba dipertanyakan, terutama mengenai prosedurnya. Kedua UU itu dituding digarap terburu-buru dan melalaikan keterlibatan publik.
Pembahasan dua revisi UU itu terkesan misterius. Keduanya bahkan tak ada dalam daftar 41 RUU prioritas atau program legislasi nasional untuk tahun 2025.
“Revisi undang-undang Minerba, saya kira prosesnya hampir sama [UU BUMN] gitu ya, tiba-tiba muncul di agenda padahal tidak masuk prioritas setahunan,” kata Direktur Indonesian Parliamentary Center (IPC) Ahmad Hanafi kepada kumparan, Kamis (27/2).
Dengan pembahasan yang sangat singkat, lanjut Hanafi, tentu juga melalaikan partisipasi publik. Ia tak melihat ada proses konsultasi atau semacam penyerapan aspirasi dari masyarakat. Revisi kedua UU itu dianggap mengabaikan prosedur, terlebih revisi UU BUMN.
IPC mencatat, pembahasan revisi UU BUMN berlangsung kurang dari lima hari. Pembahasan awal dan pembentukan Pantai Kerja dilakukan pada 23 Januari 2023. Pada hari yang sama juga berlangsung rapat kerja bersama perwakilan pemerintah. Dua rapat dalam satu hari ini dilakukan secara tertutup.
Rapat selanjutnya, yakni Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) terbuka dilangsungkan pada 30 Januari 2025. Disusul pembahasan bersama perwakilan pemerintah pada 1 Februari 2025, dan langsung pengambilan keputusan.
Tiga hari kemudian, 4 Februari 2025, perubahan UU BUMN ditetapkan sebagai undang-undang dalam rapat paripurna.
Proses pembahasan UU Minerba juga sama. Dibahas pertama kali pada 20 Januari 2025 secara tertutup, di momen tersebut dilakukan penyusunan hingga penetapan Panja. Rapat selanjutnya dilakukan pada akhir pekan dan langsung diputuskan untuk dibawa ke Paripurna.
Melihat proses pembentukan dua undang-undang tersebut, Hanafi menyimpulkan bahwa DPR seperti seenaknya berbuat. Lembaga yang disebut sebagai wakil rakyat itu tak menghiraukan prosedur.
“Seenaknya sendiri. Ini yang menjadi catatan kami, bahwa kita bernegara, ngurus banyak orang, prosedurnya harus jelas,” imbuhnya.
Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) menduga ada siasat tersembunyi DPR dalam proses pembahasan kedua undang-undang tersebut. Musababnya, karena dua revisi UU dibahas lewat proses kumulatif terbuka, artinya UU diselipkan dalam prioritas dengan dalih menindaklanjuti putusan Mahkamah Konstitusi.
Padahal, kata peneliti Formappi, Lucius Karus, pengubahan dua undang-undang tersebut bukan hanya merevisi atau mengakomodir putusan MK sehingga tidak dapat dikategorikan sebagai kumulatif terbuka.
“Kedua [UU] itu dari sisi prosedur itu, saya lihat ada semacam siasat tersembunyi dari DPR dengan memasukkan revisi terbatas UU BUMN dan Minerba itu dalam dasar kumulatif terbuka,” ujar Lucius, Jumat (28/2).
Dan Lucius menduga, templat kumulatif terbuka ini akan juga digunakan DPR pada rancangan undang-undang lain yang diminta pemerintah. Seperti yang belakang beredar mengenai rencana revisi UU TNI, Kejaksaan, hingga Polri.
Pengamatan Lucius terhadap proses pembahasan perundang-undangan di DPR belakangan, terutama sejak rancangan revisi UU Pilkada—yang kala itu mendapat protes masyarakat—hingga perubahan UU BUMN, Lucius mengatakan bahwa DPR tak ubahnya hanya sekedar melanjutkan perintah.
Ia tak menyebut secara spesifik perintah yang dimaksud. Tapi ia hanya menyoroti momen yang dianggapnya langkah ketika Wakil Ketua DPR yang juga petinggi Gerindra terlibat langsung dalam pembahasan sebuah undang-undang di Komisi, seperti yang terjadi dalam pembahasan revisi UU BUMN.
“Ini tidak lazim sebenarnya Wakil Ketua DPR kemudian ikut terlibat dalam proses pembahasan,” ungkap Lucius.
Ketua Baleg DPR RI dari Fraksi Gerindra, Bob Hasan, membantah tudingan proses pembentukan undang-undang di DPR dilakukan secara tertutup. Ia menerangkan, beberapa rapat pleno dan pembentukan Panja memang dilakukan tertutup. Alasannya, agar pembahasan dilakukan secara konsentrasi.
“Tertutup itu, ya, karena memang kita mau konsentrasi kepada muatan materi. Dan itu juga bisa laporkan,” kata Bob Hasan kepada kumparan, Jumat (28/2).
Wakil Ketua Baleg Ahmad Doli Kurnia Tandjung juga mengklaim bahwa proses pembuatan atau revisi undang-undang di DPR, terutama UU Minerba yang digarap Baleg, sudah sesuai prosedur. Semua dilakukan sesuai rel pembahasan undang-undang, dari rapat penyerapan aspirasi publik melalui RDPU hingga Focus Group Discussion (FGD).
Perubahan UU tersebut juga diklaim dilakukan berdasarkan naskah akademik. Doli menegaskan, sebuah undang-undang tak akan mungkin dilakukan pembahasan sebelum ada naskah akademik di Badan Keahlian Dewan (BKD).
Politisi Golkar itu menambahkan, bahwa UU Minerba memang usulan pemerintah. Tapi sebelum itu, DPR juga sudah melakukan kajian karena termasuk dalam inisiatif mereka dalam rancangan DPR periode 2024-2029. Meskipun belum masuk dalam daftar 41 RUU prioritas tahun 2025.
Pembahasan UU Minerba lalu dipercepat karena dinilai urgen. Termasuk dalam hal mendukung visi dan misi pemerintahan Presiden Prabowo terkait kemandirian energi dan sumber daya.
Mengenai sorotan pembahasan kilat, Doli juga membantah. Menurutnya, produk UU tidak boleh dinilai cepat atau lambat prosesnya. Yang terpenting, kata dia, adalah selama memenuhi syarat prosedural dan materialnya.
Ia menyinggung bahwa dalam ketentuan pembentukan undang-undang tak ada aturan mengenai minimal-maksimal durasi pembahasan sebuah undang-undang. “Sulit rasanya kalau saya menilai sebuah undang-undang itu dinilai baik atau tidak, dan cepat atau lamanya,” ujar Doli di bilangan Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, Jumat (28/1).
“Kalau kita bisa menyelesaikan satu pekerjaan dengan cepat, tidak mengurangi kualitasnya, kemudian semua proses prosedural dan materialnya terpenuhi, kenapa kita harus buat lama-lama?” timpalnya lagi.
DPR Hanya Tukang Stempel Pemerintah?
DPR periode 2024-2029 belum genap lima bulan menjabat. Meski begitu, pengamat parlemen seperti Lucius dan Hanafi sudah bisa mengendus wajah dan arah anginnya. Terlebih setelah beberapa produk perundang-undangan yang diketok.
Lucius justru meragukan nama yang disandang para anggota parlemen, yakni ‘Dewan Perwakilan Rakyat’. Ia mempertanyakan benarkah masih menjadi perwakilan rakyat. Sebab, praktis dinamika di parlemen saat ini 80 persen tergabung dalam koalisi pendukung pemerintah, koalisi jumbo.
Suara anggota DPR seragam. Tak ada teriakan oposisi. Fraksi PDIP sebenarnya satu-satunya partai yang tak bergabung dengan pemerintah. Namun posisi mereka juga kabur, tidak bergabung dalam koalisi tapi juga tak tegas menjadi oposisi.
Formappi bahkan menyebut DPR tak ubahnya sebagai wajah pemerintah. Undang-undang yang permintaan dicap secara kilat, sementara undang-undang yang disuarakan masyarakat kecil macam RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (PPRT), Masyarakat Adat, hingga RUU Perampasan Aset, molor dan tak tersentuh. UU disebut berhubungan langsung dengan masyarakat ini justru hanya nangkring di list rencana kerja DPR dari periode ke periode.
“Wajah DPR sebagaimana ditunjukkan dalam beberapa produk RUU yang dibahas kilat beberapa waktu terakhir memang lebih menunjukkan DPR sebagai dewan perwakilan rezim ketimbang perwakilan rakyat,” ujar Lucius.
Bagi Lucius, suara anggota DPR sekarang dibuat seragam. Anggota DPR seperti diintervensi untuk ‘bernyanyi lagu setuju’. Lucius tak menunjukkan siapa yang mengintervensi suara parlemen. Tapi ia menyoroti pimpinan DPR yang bahkan hadir dalam pembahasan salah satu perubahan UU.
“Semua fraksi di DPR seperti tak berdaya. Sudah di bawah kendali rezim itu. Maka tak ada penolakan signifikan,” imbuh Lucius.
Pernyataan Lucius sejalan dengan cerita salah satu anggota DPR. Wakil rakyat yang enggan disebutkan namanya itu mengaku tak mampu membendung kekuatan politik di Senayan. Ia tak menampik ada beberapa anggota DPR yang masih semangat menyampaikan pendapat berseberangan tapi ujungnya, pada tahap pengambilan keputusan pasti kalah.
Anggota ini pun tak menampik bila dalam beberapa produk pembahasan undang-undang belakang minim pemenuhan meaningful participation atau partisipasi masyarakat. Ia bercerita bahwa awal periode DPR berprinsip untuk mengoptimalkan konsep meaningful tersebut dalam setiap pembahasan legislasi. Mereka belajar dari RUU Pilkada yang mendapatkan protes besar dari masyarakat.
Komitmen pelibatan partisipasi publik hilang seketika dan tercermin lewat pembahasan dua UU yang disahkan bulan lalu. “Prosedurnya yang tercermin dari agenda yang begitu mendesak, agenda yang begitu padat yang harus diselesaikan dalam 1-2 hari,” cerita anggota DPR itu.
Anggota DPR ini juga bahkan mempertanyakan bagaimana komitmen terhadap rancangan RUU yang diprioritaskan. Sebab, yang kerap terjadi, kata dia, adalah rancangan undang-undang prioritas yang sudah ditentukan tergeser oleh undang-undang yang datang tiba-tiba.
“Yang dibahas justru RUU yang menjadi tidak prioritas,” timpalnya.
Hanafi juga melihat anggota DPR sekarang telah meninggalkan suara masyarakat. Mereka hanya peduli pada agenda elit politik.
Masyarakat, lanjut Hanafi, sebetulnya hanya ingin suaranya tersampaikan, tidak harus dalam bentuk kebijakan baru. Melayani masyarakat adalah dengan menyuarakan aspirasi. Bukan sebaliknya, yakni hanya menyenangkan pemerintah.
“Checks and balances yang mulai menghilang,” ungkapnya.
Bob Hasan membantah bila DPR disebut hanya menerima order dan menjadi tukang stempel UU usulan pemerintah. Ia menegaskan bahwa apa yang mereka kerjakan di Baleg adalah untuk membantu tercapainya visi misi pemerintahan Prabowo Subianto.
Ia mengaku tak ambil pusing bila disebut ‘stempel pemerintah’. Yang jelas, terasnya, semua yang dilakukan adalah untuk misi kesejahteraan bangsa.
“Enggak apa-apa sebagai stempelnya pemerintah, ya, enggak apa-apa. Tapi yang pasti pada pelaksanaannya, silakan,” kata Bob Hasan.
Doli juga keberatan bila DPR disebut hanya tukang cap pemerintah dalam pembentukan undang-undang. Ia mengatakan, 177 rancangan undang-undang yang masuk longlist rencana kerja anggota DPR periode 2024-2029 adalah sebagian usulan dan inisiatif DPR. Tidak semua berasal dari pemerintah.
Doli menjelaskan, Baleg telah menanamkan prinsip bahwa pembahasan sebuah undang-undang harus berdasarkan kebutuhan. Bukan keinginan. Kebutuhan yang dimaksud adalah untuk 5 tahun mendatang dalam mendukung Asta Cita Presiden Prabowo Subianto. Dan ia mengklaim bahwa kebutuhan pemerintah berarti juga kebutuhan masyarakat.
Yang diutamakan dalam pembahasan undang-undang periode ini, lanjut Doli, adalah mengenai urgensi. Alasan mendesak sebuah RUU berpeluang menyisihkan rancangan undang-undang yang sudah tercatat dalam prioritas.
“Jadi kalau masuk long list (daftar rancangan UU dalam satu periode), apakah kemudian jadi prioritas atau tidak, itu tergantung urgensinya,” terang Doli.
Ia memastikan, Baleg tidak pernah melakukan pekerjaan di luar prosedur. Pembahasan UU melibatkan pemerintah, aspirasi publik, hingga naskah akademik sampai para ahli tertentu yang dipanggil dalam RDPU.
“Pemerintah, dalam membuat undang-undang harus bersama dengan DPR. Yang adalah DPR itu representasi atau perwakilan rakyat,” pungkasnya.