Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Kala Gen Z Jadi Kuasa Hukum Gugatan Presidential Threshold di MK
7 Agustus 2024 19:55 WIB
·
waktu baca 4 menitADVERTISEMENT
Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang gugatan terkait aturan presidential threshold dalam UU Pemilu pada Rabu (7/8). Gugatan ini diajukan oleh Direktur Eksekutif Yayasan Jaringan Demokrasi dan Pemilu Berintegritas (NEGRIT) Hadar Nafis Gumay dan Titi Anggraini.
ADVERTISEMENT
Nama Hadar Nafis Gumay dan Titi Anggraeni tidak asing di dunia politik. Hadar merupakan mantan Komisioner KPU, sementara Titi aktif di Perludem. Hakim Konstitusi Arsul Sani bahkan menyebut keduanya adalah "Guru Besar Kepemiluan.
Namun, ada yang beda dalam gugatan yang diajukan oleh keduanya di MK. Kuasa hukum para pemohon merupakan generasi Z atau Gen Z.
Persoalkan Presidential Threshold
Dalam permohonannya, keduanya mengajukan pengujian materi Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) mengenai presidential threshold atau ambang batas pencalonan presiden.
“Ambang batas pencalonan presiden nyatanya tidak menyederhanakan pemilihan calon presiden bahkan justru membuat partai politik terpaksa untuk memenuhi syarat sebagaimana ditentukan undang-undang a quo,” ujar kuasa hukum para Pemohon, Nur Fauzi Ramadhan dalam sidang pemeriksaan pendahuluan pada Rabu (7/8).
ADVERTISEMENT
Para Pemohon memahami perpaduan sistem presidensial dan multipartai secara teoritik akan menyebabkan imobilitas eksekutif dan legislatif serta deadlock antara keduanya. Hal ini disebabkan karena calon presiden dan partai yang kecil pun dapat memenangkan pemilu presiden, sehingga apabila presiden terpilih mengajukan kebijakan ke parlemen yang dihuni oleh partai besar yang tidak mendukungnya, di sinilah sering terjadi deadlock sebab adanya konflik kepentingan antara dua kubu yang ada.
Kemudian, lanjut para Pemohon, otoritas presiden untuk menentukan posisi kabinet adalah alat paling efektif dalam mempengaruhi partai politik untuk bergabung dalam koalisi. Kemudian diikuti oleh kekuatan legislasi presiden, kuasa anggaran, serta faktor lainnya. Dalam konteks Indonesia, kecenderungan coalitional presidentialism dinilai sangat nyata terjadi dari pemilu ke pemilu.
ADVERTISEMENT
Para Pemohon mengakui pengaturan ambang batas pencalonan presiden merupakan kebijakan hukum terbuka (open legal policy) dan pengaturannya diserahkan kepada pembentuk undang-undang. Namun, yang perhatian para Pemohon dalam perkara ini adalah mengenai kebijakan open legal policy dalam penentuan ambang batas pencalonan presiden yang telah nyata bertentangan dengan hak politik khususnya hak politik dari partai-partai politik non parlemen maupun partai-partai politik yang baru mengikuti pemilu berjalan.
Dalam permohonannya, para Pemohon mengajukan simulasi alternatif pilihan. Pertama, bagi partai politik parlemen tidak dikenakan ambang batas pencalonan apa pun. Kedua, bagi partai politik non-parlemen dan partai politik baru dikenakan ambang batas pencalonan presiden sekurang-kurangnya 20% dari jumlah partai politik peserta pemilu berjalan.
Dengan demikian, dalam petitumnya, para Pemohon memohon kepada Mahkamah agar Pasal 222 UU Pemilu dimaknai menjadi, “Pasangan Calon diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik Peserta Pemilu yang memiliki kursi di DPR dan/atau Gabungan Partai Politik Peserta Pemilu yang tidak memiliki kursi di DPR yang jumlahnya paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari seluruh Partai Politik Peserta Pemilu anggota DPR.”
Atau, para Pemohon memohon kepada MK untuk menyatakan Pasal 222 UU Pemilu adalah konstitusional bersyarat untuk diberlakukan pada Pemilu 2029 dan pemilu berikutnya sepanjang telah dilakukan perubahan dengan ketentuan sebagai berikut:
ADVERTISEMENT
a. Pasangan Calon diusulkan oleh Partai Politik dan/atau Gabungan Partai Politik peserta pemilu yang memiliki kursi di DPR; dan
b. Pasangan Calon diusulkan oleh Gabungan Partai Politik Peserta Pemilu yang tidak memiliki kursi di DPR dengan ambang batas yang ditentukan oleh pembentuk undang-undang.
Gandeng Gen Z Jadi Kuasa Hukum
Agenda sidang kali ini merupakan pemeriksaan pendahuluan. Perkara ini disidangkan Majelis Hakim Panel yang dipimpin Ketua MK Suhartoyo didampingi Hakim Konstitusi M. Guntur Hamzah dan Hakim Konstitusi Arsul Sani. Usai pembacaan permohonan, 3 Hakim Panel memberikan nasihat.
"Mohon izin ini Mas Hadar dan Mbak Titi. Ini, Pak Ketua, seperti menasihati guru besar kepemiluan ini, tapi karena kewajiban beracara yang harus dijalankan hakim konstitusi ya kita nasihati juga orang yang sudah levelnya profesor ini," kata Arsul Sani.
ADVERTISEMENT
Sebelum penutupan sidang, Titi Anggraeni sempat memperkenalkan 3 orang kuasa hukum. Ketiga Gen Z itu, yakni Nur Fauzi Ramadhan, Ahmad Alfarizy, dan Sandy Yudha Pratama Hulu.
Untuk Sandy, ia tercatat merupakan mahasiswa semester 6 Fakultas Hukum UI. Ia juga merupakan Pemohon yang mengajukan UU Pilkada di MK.
"Kami ingin menyampaikan sebenarnya, ini lebih pada suatu informasi, bahwa permohonan ini selain Pak Hadar sebagai pemohon 1, dan saya pemohon 2, kami punya 3 kuasa hukum, kalau bahasa popularnya Gen Z atau Gen Z, usianya kurang dari 25 tahun," kata Titi di persidangan.
Titi punya alasan tersendiri menunjuk mereka menjadi kuasa hukumnya. Khususnya Fauzi yang merupakan tunanetra.
"Kenapa kami pilih orang muda, Fauzi disabilitas netra total. Karena kami ingin memperlihatkan bahwa orang muda itu adalah artikulasi dari tanggung jawab, kecerdasan, mampu menyusun strategi yang kuat, dan punya resiliensi perjuangan yang tangguh," jelas Titi.
ADVERTISEMENT
Di sisi lain, Titi menilai, para Gen Z ini merupakan perwakilan dari setengah penduduk Indonesia yang ikut serta dalam pesta demokrasi.
"Karena mereka adalah refleksi 50 persen lebih pemilih dan populasi Indonesia. Sehingga, kepercayaan itu yang kami ingin perlihatkan melalui perkara ini, selain dari sisi substansi yang menjadi perjuangan utama kami," ujar dia.