Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.87.1
ADVERTISEMENT
Institusi peradilan dalam negeri tercoreng dengan operasi tangkap tangan (OTT) yang dilakukan KPU terhadap hakim Pengadilan Negeri (PN) Balikpapan bernama Kayat. Ia diduga terlibat dalam kasus dugaan suap terkait pengurusan perkara di PN Balikpapan.
ADVERTISEMENT
Setelah melakukan pemeriksaan usai OTT, KPK kemudian menetapkan Kayat sebagai tersangka kasus tersebut. Tak lama, Kayat bersama dua orang lainnya yakni terduga pemberi suap Sudarman dan Jhonson Siburian.
"KPK meningkatkan status penanganan perkara dari penyelidikan ke penyidikan dan menetapkan 3 orang sebagai tersangka," kata Wakil Ketua KPK Laode M Syarif dalam konferensi pers di Gedung KPK, Jakarta Selatan, Sabtu (4/5).
Wakil Ketua KPK Laode Syarif dalam konferensi persnya menyebut ada uang yang turut disita dalam penangkapan itu. Diduga uang itu merupakan suap yang ditujukan kepada hakim.
"Ada uang yang diamankan dalam perkara ini yang diduga merupakan bagian dari permintaan sebelumnya jika dapat membebaskan terdakwa dari ancaman pidana dalam dakwaan kasus penipuan terkait dokumen tanah," kata Syarif saat dikonfirmasi, Jumat (3/5).
ADVERTISEMENT
Suap tersebut diduga bermula saat Kayat menangani kasus pemalsuan surat dengan terdakwa Sudarman di tahun 2018. Sudarman saat perkara itu ditemani pengacaranya yaitu Jhonson Siburian.
"Setelah sidang, KYT (Kayat), hakim bertemu dengan JHS (Jhonson) yang mewakili SDM (Sudarman) dan menawarkan bantuan dengan biaya Rp 500 juta jika ingin SDM bebas," kata Syarif saat konferensi pers di Gedung KPK, Jakarta, Sabtu (4/5).
Namun, saat itu, Sudarman belum bisa memenuhi permintaan yang diajukan Kayat. Sudarman lantas menjanjikan Kayat memberi uang dengan nominal yang diminta, setelah tanahnya di Balikpapan laku terjual.
Di bulan Desember 2018, jaksa menuntut Sudarman dengan hukuman lima tahun penjara atas dugaan pemalsuan surat. Tuntutan tersebut kemudian dipatahkan oleh Kayat selang beberapa hari kemudian, Sudarman kemudian dibebaskan dari jerat pidana.
ADVERTISEMENT
Sebulan kemudian, pada Januari 2019, Kayat menagih fee Rp 500 juta yang belum diberikan oleh Sudarman melalui Jhonson. Namun tak ada hasilnya, karena tanah milik Sudarman belum juga terjual.
Hingga pada akhirnya tepat tanggal 2 Mei 2019, Kayat bertemu dengan Jhonson di PN Balikpapan. Saat bertemu Jhonson, Kayat menyampaikan bahwa ia akan dipindah tugas ke PN Sukoharjo, Jawa Tengah.
Tak berselang lama setelah menyampaikan kabar tersebut, keesokan harinya, Sudarman mengambil uang Rp 250 juta di sebuah bank di Balikpapan, uang itu adalah down payment dari pembeli tanahnya.
"Dari jumlah tersebut, Rp 200 juta ia (Sudarman) masukkan ke dalam kantong plastik hitam, dan 50 juta ia masukkan ke dalam tasnya. Kemudian dia menyerahkan Rp 200 juta ke JHS dan RIS (pengacara lainnya) untuk diberikan kepada KYT di sebuah restoran Padang," kata Syarif.
Besoknya, tanggal 4 Mei 2019, Jhonson menyerahkan uang Rp 100 juta kepada Kayat di PN Balikpapan. "RIS dan JHS menyerahkan uang Rp 100 juta kepada KYT di PN Balikpapan. Sedangkan Rp 100 juta lainnya ditemukan di kantor JHS," ujarnya.
ADVERTISEMENT
Kasus tersebut menuai sorotan dari Komisi Yudisial. Komisioner KY Bidang Pengawasan Hakim dan Investigasi, Sukma Violetta mengatakan, kurangnya integritas hakim jadi salah satu faktor seringnya hakim tersangkut kasus pidana, khususnya perkara suap.
KY minta MA terus tingkatkan pembinaan integritas hakim dan memerintahkan kepada lembaga peradilan di bawahnya agar transparan.
"Keterbukaan yang sungguh-sungguh dari peradilan, khususnya pada aspek integritas hakim, merupakan kata kunci dalam menyelesaikan masalah yang terus berulang ini," tegasnya.
Kayat sebagai tersangka penerima suap disangkakan melanggar Pasal 12 huruf c atau Pasal 11 UU Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tipikor yang diubah menjadi UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Korupsi.
Sementara, Sudarman dan Jhonson sebagai pemberi suap disangkakan melanggar Pasal 6 ayat (1) huruf a atau Pasal 13 UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah menjadi UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
ADVERTISEMENT