Kala Petani Penggarap Mengadu ke Jokowi di Istana Negara

10 Oktober 2019 17:41 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Sejumlah petani yang turut berunjuk rasa di Patung Kuda, Jakarta, Kamis (10/10/2019). Foto: Andesta Herli Wijaya/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Sejumlah petani yang turut berunjuk rasa di Patung Kuda, Jakarta, Kamis (10/10/2019). Foto: Andesta Herli Wijaya/kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Hari ini, Kamis (10/10), ratusan massa petani dari sejumlah daerah di Jawa dan Sumatera, menggelar unjuk rasa di sekitar Patung Kuda, Jakarta.
ADVERTISEMENT
Massa yang tergabung dalam Gerakan Masyarakat Perhutanan Sosial Indonesia ini mendesak Presiden Joko Widodo untuk menerbitkan SK pemanfaatan lahan hutan negara.
Para petani tersebut mengeluhkan sulitnya akses petani terhadap lahan hutan karena tak mendapat izin Perhutani. Padahal, sudah ada program perhutanan sosial yang dijalankan oleh Kementerian LHK.
Tak mendapat lahan garapan membuat masyarakat yang tinggal di sekitaran hutan-hutan banyak yang kesulitan bertahan hidup. Banyak yang tak punya tanah sendiri untuk digarap. Sebagian memilih menyewa tanah agar dapat terap bercocok-tanam demi mendapatkan sedikit hasil panen.
Salah seorang peserta aksi, petani dari Madiun, Yatmo (60). Ia bercerita betapa sulitnya mendapat penghasilan yang cukup tanpa memiliki tanah untuk bertani. Ia harus menyewa tanah dengan biaya sebesar Rp 2 juta untuk satu tahun. Biaya itu mahal bagi seorang Yatmo yang berpenghasilan kecil.
ADVERTISEMENT
“Setahun itu 2 juta sewa lahan milik orang. Kalau untuk orang seperti kita, itu besar,” tutur Yatmo ditemui di lokasi aksi.
Dengan menggarap sawah itu, Yatmo bisa mengumpulkan 21 kwintal padi dalam setahun. Jumlah panen tersebut ia kumpulkan dalam tiga kali masa panen.
Artinya, dalam satu kali panen, Yatmo meraup hasil 7 kwintal padi.
“Satu kwintal itu, kalau harga lagi bagus, itu sekitar 500 ribu. Ya segitu kira-kira,” kata Yatmo.
Dengan estimasi pendapatan sekitar Rp 3-4 juta per tiga bulan (jangka periode panen) itulah Yatmo membiayai kehidupan ia dan istri bersama tiga anaknya.
Yatmo, petani dalam massa aksi Gerakan Masyarakat Perhutanan Sosial Indonesia di Patung Kuda, Jakarta, Kamis (10/10/2019). Foto: Andesta Herli Wijaya/kumparan
“Anak-anak untungnya sudah tidak sekolah, dua sudah tamat SMK. Satu yang lagi SMP,” kata Yatmo.
Yatmo berharap, dengan datang langsung ke Istana bersama para petani lainnya, Presiden akan merespons permasalahan Yatmo dan kawan-kawan dengan segera.
ADVERTISEMENT
“Ya mudah-mudahan Presiden membantu,” ujarnya.
Harapan Yatmo sebagaimana harapan Sumiati (47), yang juga berasal dari Madiun. Sumiati yang datang ke Jakarta sejak Selasa (8/9) lalu bersama suaminya, mengaku ingin betul memiliki SK hak kelola atas lahan hutan yang ada di hutan Gunung Jati, Madiun.
Dengan SK, menurutnya, ia bisa mengelola lahan hutan secara tenang, tanpa adanya kecemasan akan digusur atau ditagih kompensasi oleh oknum setempat yang berwenang.
“Selama ini lha kita cemas, kan kita menggarap ilegal. Ada-ada aja yang nekan, malak kita. Sewaktu-waktu bisa kena gusur,” cerita Sumiati.
Saat ini Sumiati tengah menggarap sepetak kecil lahan di kawasan hutan di Madiun. Lahan itu ia tanami dengan jagung dan ketela, yang ia panen sekali setiap tiga bulannya.
Sejumlah petani berunjuk rasa di kawasan Istana Merdeka, Jakarta, Kamis (10/10/2019). Foto: Iqbal Firdaus/kumparan
Dari garapan di lahan kecil itulah Sumiati bisa mencukupi kebutuhan hidup keluarganya sehari-hari. Jagung dan ketela yang dipanen ia tukarkan dengan beras dan lauk sehari-hari.
ADVERTISEMENT
“Kalau bicara jumlah uangnya, ya gimana ya, nggak seberapa lah. Nggak ketutup kebutuhan sehari-hari. Kita ngutang ke sana ke mari,” tuturnya.
“Tapi suami dan saya kadang jadi buruh tani buat nambah penghasilan. Jadi kita kerja dengan orang yang punya sawah luas, gaji per hari 70 ribu,” katanya lagi.
Sumiati mengaku rela bermalam di Jalan Medan Merdeka Barat demi tuntutan ia dan kawan-kawannya direspons oleh Jokowi. Ia bahkan siap jika harus menginap berminggu-minggu di jalan bersama teman-temannya.
“Ya mudah-mudahan Pak Jokowi kasih kita SK. Amin,” kata wanita yang mengaku baru pertama kalinya datang ke Jakarta ini.
Saat berita ini ditulis, perwakilan massa yang sebelumnya berkesempatan bertemu Jokowi di Istana, sudah kembali dan bergabung ke dalam barisan massa. Melalui corong pengeras suara, salah satu perwakilan massa menyampaikan apa yang sudah disepakati di dalam Istana.
ADVERTISEMENT
Dari penyampain yang kami simak, diketahui Jokowi telah merespons baik tuntutan para petani. Respon itu berupa komitmen Jokowi untuk mengawasi pelaksanaan program perhutanan sosial di tataran bawah.
Bahkan, Jokowi dikabarkan juga menjamin bahwa setidaknya 21 juta hektare lahan hutan negara akan diawasi dalam konteks peruntukannya bagi masyarakat.
“Presiden mengatakan bahwa apa yang kita sampaikan sama dengan apa yang Presiden dengar dan lihat. Artinya apa aspirasi petani nyambung dengan pemikiran presiden. Bagian dari usaha untuk mengubah itu semua demi kepentingan masyarakat. Jumlahnya 21,7 juta hektar. 1,1 juta untuk di Jawa minimal,” kata Siti di lokasi aksi.
Pengumuman itu tentunya disambut sorai para petani di Jalan Merdeka Barat, di mana di dalamnya Yatmo dan Sumiati berada.
Sejumlah petani berunjuk rasa di kawasan Istana Merdeka, Jakarta, Kamis (10/10/2019). Foto: Iqbal Firdaus/kumparan
Saat ini massa telah mulai membubarkan diri dari lokasi aksi. Namun begitu, tuntutan masih belum sepenuhnya tercapai. Untuk itu perwakilan petani dikabarkan telah bersepakat dengan Jokowi untuk membentuk forum evaluasi setiap sekali enam bulan, dalam rangka memastikan tersebarnya SK lahan yang dimaksud secara tepat dan merata.
ADVERTISEMENT
Untuk diketahui, sebagaimana disebut dalam berita sebelumnya, aksi petani kali ini digelar lantaran banyaknya permasalahan dalam distribusi SK hak kelola hutan negara di berbagai wilayah Indonesia.
Massa memandang selama ini program perhutanan sosial belum berjalan dengan baik. Alih-alih menyejahterakan petani, pelaksanaan program tersebut di lapangan banyak menimbulkan masalah bagi petani di sekitar hutan.
Para petani itu berharap bisa mendapatkan SK perizinan pengelolalan lahan hutan negara di daerah-daerah. Harapan itu, katanya, sesuai pesan Jokowi sendiri bahwa perhutanan sosial diprooritaskan memang untuk petani atau rakyat kecil.
Namun kenyataan di lapangan, tak banyak masyarakat yang bisa mendapatkan SK tersebut. Sebaliknya, pejabat-pejabat berwenang membiarkan hutan digarap leluasa oleh BUMN, serta pemilik modal swasta. Massa bahkan mensinyalir, pejabat daerah pun punya kepentingan memanfaatkan lahan hutan sosial tersebut.
ADVERTISEMENT