Kala Polisi Belanda Gunakan Jasa Dukun demi Menangkap si Pitung

10 Februari 2019 12:46 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Pitung dalam pakaian jago pada 1930-an sedang berkelahi dengan polisi pribumi. Foto: Dok. Buku 'Batavia Kala Malam' Margreet van Till
zoom-in-whitePerbesar
Pitung dalam pakaian jago pada 1930-an sedang berkelahi dengan polisi pribumi. Foto: Dok. Buku 'Batavia Kala Malam' Margreet van Till
ADVERTISEMENT
Berkumis, berjenggot jarang, berkulit langsat, tidak tinggi, dan berbadan gempal. Begitulah bayangan tentang sosok si Pitung yang digambarkan dalam novel Rumah Kaca (1988) karya Pramoedya Ananta Toer.
ADVERTISEMENT
Gambaran fisik itu diceritakan oleh salah satu karakter bernama Jacques Pangemanan. Seorang Komisari Polisi Kolonial Belanda yang juga menjadi karakter utama dalam novel tersebut.
Pangeman menceritakan soal si Pitung berdasarkan dokumen-dokumen yang dia temukan. Juga dari laporan seorang jurnalis yang menulis manuskrip tentang Pitung.
“Menurut kertas-kertas itu setiap melakukan ‘penyerangan’, ia berjubah putih, dan bersorban. Pada kiri dan kanannya berjalan dua pembantunya mengapit membawakan tempat sirih kinangan dan senjatanya,” sebutnya.
Sementara itu, dalam sederet dokumen Belanda yang terdapat di buku Batavia Kala Malam: Polisi, Bandit, dan Senjata Api (2018) karya Margret van Till, Pitung disebut sebagai musuh utama Belanda di Batavia, pertengahan abad ke-19 silam. Dia merampok dan menagih pajak secara pakasa ke orang-orang Eropa.
ADVERTISEMENT
Di sisi lain, komunitas Betawi menggambarkan Pitung sebagai sosok yang agamis, cinta rakyat, dan suka menolong. Robin Hoodnya Indonesia kata mereka.
Wayang golek yang menggambarkan si Pitung sebagai seorang ' Jago'. Foto: Dok. Buku 'Batavia Kala Malam' Margreet van Till
Selain berkumis dan berpeci, ada hal-hal lain yang dikaitkan dengan jago Betawi itu. Sebut saja, soal pelor emas yang diceritakan dalam film ‘Si Pitung’ tahun 1970. Peluru emas itu disebut sebagai pencabut nyawa Pitung.
Sejarawan Betawi Ridwan Saidi mengatakan, cerita soal ‘pelor emas’ sebagai sesuatu yang ril. Dia mengisahkan, saat Kepala Kepolisian Belanda di Batavia, Van Hijne begitu kesal karena kesulitan menangkap Pitung.
Berkali-kali dikejar, Pitung selalu lolos. Memang, pernah ditangkap sekali dan dijebloskan ke penjara Mesteer Cornelis pada 1892. Tapi, akhirnya Pitung bisa melarikan diri.
ADVERTISEMENT
Saking senewennya, Van Hijne memutuskan menemui dukun untuk meminta bantuan pada 1894. Itu karena, Van Hijne sudah tak punya ide lagi bagaimana cara menangkap Pitung.
“Bahwa dia ditembak empat peluru dan satu pelor emas itu faktual. Karena kepala polisi Belanda Hijne sudah senewen sama Pitung, akhirnya ke dukun. Nah perbuatan dia pergi ke dukun itu membuat gusar Snouck Hurgronje,” ungkap Ridwan kepada kumparan, Jumat (9/2).
Foto keluarga A.W.V. Hinne Foto: Dok. Buku 'Batavia Kala Malam' Margreet van Till
Snouck adalah seorang penasihat pemerintah Hindia-Belanda. Menurut Snouck, apa yang dilakukan Hijne sebagai sesuatu yang di luar nalar dan sangat memalukan.
Snouck langsung melaporkan tindakan Hijne kepada Gubernur Jenderal Carel Herman Aart van Der Wijck. Snouck beranggapan, seharusnya Hijne bisa berpikir lebih jernih dan mencari solusi lebih logis agar Pitung tertangkap.
ADVERTISEMENT
“Snouck menyurati gubernur jenderal. Ini kepala polisi enggak benar. Masa dia ke dukun. Kan harusnya dipikirkan, sudah banyak kan jalur kereta api. Kan bisa jadi dia (Pitung) berpindah-pindah kereta api,” ungkap Ridwan.
Jadi, meski Hijne sudah terlanjur ke dukun dan membeli pelor emas, di sisi lain polisi Belanda juga mengintensifkan pekerjaan intelijen. Hampir setiap pemilik warung kopi di seluruh Batavia dijadikan alat untuk mencari informasi.
“Teorinya Belanda benar. Orang beginian kan pasti kalau malem nyari makanan,” jelas Ridwan.
Nah dari laporan tukang kopilah, akhirnya keberadaan Pitung terlacak. Pitung dikabarkan sering muncul di wilayah Kalimalang, dekat Pondok Gede.
Sehingga pada suatu malam, Hijne dan beberapa pasukannya memutuskan pergi ke Kalimalang demi menangkap Pitung. Hijne sendiri sudah menyiapkan sebuah revolver beserta empat peluru. Salah satunya, ‘pelor emas’ yang diyakini bisa menembus tubuh Pitung yang diyakini Hijne bisa menghilang.
Budayawan Betawi Ridwan Saidi Foto: Nugroho Sejati/kumparan
ADVERTISEMENT
Saat melihat Pitung, Hijne dan pasukannya pun mulai menembaki. Beberapa tembakan berhasil dihindari Pitung, walau akhirnya dadanya ditembus timah panas dari revolver Hijne.
Namun, Ridwan menyebut, tak ada dokumen yang menjelaskan lebih lanjut apakah peluru yang menewaskan Pitung adalah ‘pelor emas’ atau peluru biasa.
“Dia tidak langsung mati, Belanda tidak ada laporan berapa peluru yang kena. Karena waktu itu malem, jadi nggak keburu mereka ngumpulin selongsongnya,” tutur Ridwan.
Pitung pun sempat dibawa dengan ambulance yang memang telah disediakan oleh kepolisian Belanda, Namun, dalam perjalanan menuju Rumah Sakit militer di kawasan Senen, Pitung menghembuskan napas terakhir.
Menurut Ridwan, jasad Pitung dimakamkan di sana. Sebab, pada masa itu, siapa saja yang tak jelas keturunannya akan dikubur di rumah sakit terdekat di mana ia tewas.
ADVERTISEMENT