Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Kalau Metode Terawan Dianggap Ilmiah karena Testimoni, Dulu Ponari pun Demikian
5 April 2022 10:09 WIB
·
waktu baca 4 menitADVERTISEMENT
Dosen Universitas Airlangga , Dr dr Windhu Purnomo, mengungkapkan dalam melakukan penelitian di dunia kedokteran harus berdasarkan evidence-based medicine (EBM). Kalau hanya berdasarkan testimoni saja, Ponari yang dulu terkenal dengan "batu ajaib"-nya pun mendapatkan banyak testimoni bahwa "pengobatan"-nya manjur.
ADVERTISEMENT
Pernyataan Windhu ini terkait metode Digital Subtraction Angiography (DSA) ala Terawan Agus Putranto yang dimodifikasi menjadi Intra-Arterial Heparin Flushing (IAHF) yang diklaim bisa menyembuhkan pasien stroke.
Lewat metode yang lebih dikenal sebagai 'cuci otak' ini, tak sedikit pejabat negara dan pasien dari luar negeri memberikan testimoni bahwa mereka merasakan manfaat praktik ala Terawan.
"Ya enggak begitu (hanya berdasarkan testimoni), tentu tidak, ya. Kalau gitu nanti Ponari, Ningsih Tinampi, itu kan banyak banget, tuh, testimoni yang mengatakan bahwa pengobatannya berhasil. Terus kita bisa mengatakan bahwa pengobatan itu benar, yang katanya banyak orang sampai ratusan datang bahwa mereka percaya itu manjur, apa begitu? Itu, kan, dukun namanya," ungkap Windhu, Selasa (5/4).
ADVERTISEMENT
Windhu menjelaskan, dalam ilmu kedokteran prinsip yang diterapkan harus menjamin keselamatan dan kesehatan masyarakat sehingga metode pengobatan harus berdasarkan EBM.
“Bagaimana bisa menjamin? Tentu sebuah metode terapi atau metode diagnostik harus berbasis pada bukti. Jadi itu yang kita sebut sebagai EBM, evidence-based medicine, itu dasarnya,” kata Windhu.
Tiga Komponen EBM
EBM berisikan 3 komponen yang harus terpenuhi, yaitu relevant scientific evidence, clinical judgement, dan patients values and preferences.
Windhu menjelaskan relevant scientific evidence adalah bukti ilmiah yang relevan melalui data riset.
Yang kedua, mengenai clinical judgement. Artinya, jika dokter itu memang sudah disebut kompeten, maka dokter yang bersangkutan ketika melakukan terapi atau diagnostik, sudah melewati uji kompetensi.
Ketiga, patients values and preferences yang artinya pasien itu juga mempunyai nilai-nilai sendiri.
ADVERTISEMENT
“Pasien itu punya subjektivitas, jadi ada pasien itu sudah diterapi dengan benar oleh seorang dokter misalnya, tapi secara subjektif pasien tidak merasa sembuh, ada itu. Jadi Anda tahu bahwa sesuatu yang subjektif dan objektif itu bisa beda,” ungkapnya.
Dr Windhu menjelaskan bahwa terapi atau diagnostik dapat dikatakan lulus secara ilmiah harus berbasis pada riset dan tidak hanya berdasarkan opini.
“Di dalam relevant scientific evidence artinya sebuah terapi atau diagnostik dinyatakan lulus secara ilmiah dia harus melalui sebuah riset, bukan sekadar expert opinion,” tuturnya.
Lebih lanjut ia menjelaskan bahwa opini dari ahli adalah gradasi terbawah. Bahkan jika seorang presiden memberikan testimoni sembuh, tetap saja harus melalui riset.
“Opini dari ahli itu adalah gradasi terbawah, apalagi patient opinion. Sekalipun dia presiden mempunyai opini atau testimoni bahwa saya sembuh setelah dilakukan cuci otak, cuci otak itu bagus. Jadi itu opini dari pasien, opini dari awam. Opini expert aja tidak dipakai, kok, jadi harus melalui riset,” tuturnya.
ADVERTISEMENT
Lebih dalam Soal Metode Terawan
Metode ‘Cuci Otak’ yang dimaksud yaitu Intra Arterial Heparin Flushing (IAHF) atau penyemprotan heparin (cairan penangkal penggumpalan darah) ke otak melalui pembuluh darah dengan menggunakan Digital Subtraction Angiography (DSA).
Bali Medical Journal juga telah mempublikasikan jurnal ilmiah tulisan Terawan dan rekannya, yang berjudul Intra Arterial Heparin Flushing Increases Manual Muscle Test – Medical Research Councils (MMT-MRC) Score in Chronic Ischemic Stroke Patient.
Dalam abstrak penelitian dokter Terawan yang berjudul “Intra Arterial Heparin Flushing (IAHF) Increases Manual Muscle Test – Medical Research Councils (MMT-MRC) Score in Chronic Ischemic Stroke Patient” desain yang randomized controlled clinical trials (RCT) tidak tergambar pada desain yang dilakukan.
Tapi di dalam Materials and Methods dan Result sama sekali tidak tercermin bahwa desain itu yang dilakukan.
ADVERTISEMENT
RCT merupakan sebuah studi, yaitu orang secara acak menerima salah satu dari beberapa intervensi klinis, hal ini kemudian menjadi usaha untuk mengukur dan membandingkan hasil setelah peserta menerima intervensi.
Artikel di MedicineNet menjelaskan secara singkat RCT, kutipannya sebagai berikut: "Singkatnya, RCT adalah eksperimen kuantitatif, komparatif, terkontrol di mana peneliti mempelajari dua atau lebih intervensi dalam serangkaian individu yang menerimanya secara acak. RCT adalah salah satu alat paling sederhana dan paling kuat dalam penelitian klinis."
Outcome dari metode tersebut berupa hasil terapi mencakup kesembuhan, perbaikan kondisi, dan lain-lain yang akan dibandingkan sehingga dari hasil tersebut menunjukkan apakah metode terapi tersebut sembuh atau mengalami perbaikan atau justru membahayakan.
Windhu menjelaskan bahwa hal tersebut yang tidak dilakukan oleh peneliti sehingga penelitian Terawan tersebut belum membuktikan kemanjuran dari metode terapinya.
ADVERTISEMENT
“Ini yang tidak dilakukan peneliti. Jadi sekalipun disertasinya diterima, tapi sama sekali belum membuktikan kemanjuran metode terapinya,” ungkap Windhu.
Metode IAHF merupakan disertasi Terawan untuk meraih gelar doktor dari Universitas Hasanuddin (Unhas). Metode inilah yang memicu MKEK IDI mengeluarkan rekomendasi pemecatan dari IDI.