“Kalau Takut Merkuri, Anak Kami Tak Sekolah”

20 Maret 2017 15:57 WIB
clock
Diperbarui 14 Maret 2019 21:17 WIB
comment
5
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Zulaiha di warung makan miliknya di Gunung Botak (Foto: Naufal Abdurrasyid/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Zulaiha di warung makan miliknya di Gunung Botak (Foto: Naufal Abdurrasyid/kumparan)
“Kalau takut merkuri, anak-anak kami tidak bisa sekolah,” kata Zulaiha, warga Desa Basalele, Buru Utara, Maluku.
ADVERTISEMENT
Zulaiha ialah warga asli Buru. Ia bersuamikan Husen, seorang penambang emas di Gunung Botak --salah satu lokasi sentral penambangan emas liar di Pulau Buru yang resmi ditutup dan dibersihkan Minggu kemarin (19/3).
Emas dari Gunung Botak, menurut Zulaiha, diolah dengan merkuri di bawah gunung. Merkuri, yang juga disebut air raksa, biasa digunakan oleh para penambang liar karena sifatnya yang mudah mengikat butiran-butiran emas.
Sifat beracun merkuri, sama sekali tak jadi beban pikiran Zulaiha. Apalagi ia belum pernah melihat dan mendengar kasus keracunan merkuri pada para penambang dan pekerja lain di Gunung Botak. (Baca: Menggadaikan Nyawa demi Sinabar si “Api” Merkuri)
Yang penting buat Zulaiha, pemasukan stabil. Terlebih ia dan Husen memiliki 6 orang anak, yang seluruhnya tentu butuh dibiayai.
ADVERTISEMENT
“Irma (anak kedua), butuh uang untuk daftar kuliah. Apalagi adik-adiknya yang kecil-kecil sekolahnya masih panjang,” kata dia.
Bu Zulaiha dan anak keduanya yang bernama Irma. (Foto: Naufal Abdurrasyid/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Bu Zulaiha dan anak keduanya yang bernama Irma. (Foto: Naufal Abdurrasyid/kumparan)
Gunung Botak pun jadi tempat Zulaiha menggantungkan harapan. Demi menyekolahkan anak-anaknya, ia berjualan keliling hingga mendirikan warung di gunung itu.
Warung Zulaiha sudah berdiri tiga bulan. Dengan tenda dan terpal biru ciri penambang Gunung Botak, Zulaiha dan Irma putrinya tiap hari menjajakan makanan dan minuman bagi para penambang yang jumlahnya mencapai ribuan.
Warung mereka menjual makanan dan minuman sederhana seperti nasi ayam, nasi telur, kopi susu, es teh --yang disebut masyarakat setempat dengan “teh gula es”, hingga makanan dan minuman khas seperti papeda atau bubur sagu, kasbi atau singkong rebus, dan es pisang ijo.
ADVERTISEMENT
Meski terlihat sederhana, modal yang dibutuhkan untuk membangun warung Zulaiha cukup besar, yaitu 6 juta rupiah. Modal ini terkumpul berkat usahanya menjadi pedagang keliling sejak 2011 di Gunung Botak.
Tahun 2011 memang awal “karier” Zulaiha dan Husen di Gunung Botak. Pada tahun itu, Husen mulai menambang di sana, seiring dengan penemuan emas di sungai gunung itu oleh seorang transmigran Jawa yang tinggal di Buru.
“Per harinya kalau beruntung, suami bisa dapat Rp 1 juta, tapi bisa juga sama sekali tidak dapat,” kata Zulaiha saat ditemui kumparan (kumparan.com) di warungnya, Jumat (10/3).
Warung Bu Zulaiha di Gunung Botak. (Foto: Naufal Abdurrasyid/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Warung Bu Zulaiha di Gunung Botak. (Foto: Naufal Abdurrasyid/kumparan)
Sang putri yang hendak didaftarkan kuliah oleh Zulaiha, mengatakan ingin menjadi mahasiswa pertanian di salah satu perguruan tinggi swasta di Pulau Buru. Gadis 19 tahun itu terlihat optimistis menggapai keinginannya.
ADVERTISEMENT
Irma, seperti juga banyak orang yang tinggal di Gunung Botak dan sekitarnya, tak khawatir soal potensi paparan merkuri terhadap mereka.
Bagi mereka, merkuri bukan masalah. Yang jadi soal ialah jika tak ada uang.
Tapi, mau-tak mau, suka-tak suka, mereka kini harus melepas Gunung Botak yang telah ditutup dari aktivitas tambang.
Seberapa besar bahaya merkuri? Baca Merkuri: Bom Waktu Tambang Emas Nusantara
Rendamana yang mengandung merkuri dan sianida. (Foto: Dok. Istimewa)
zoom-in-whitePerbesar
Rendamana yang mengandung merkuri dan sianida. (Foto: Dok. Istimewa)