Kalungkan Bendera Merah Putih ke Anjing Diciduk Polisi, Ini Analisis Ahli Hukum

14 Agustus 2023 11:51 WIB
ยท
waktu baca 5 menit
Pria di Bengkalis yang pasang bendera Merah Putih di leher anjing ditetapkan sebagai tersangka. Foto: Dok. Istimewa
zoom-in-whitePerbesar
Pria di Bengkalis yang pasang bendera Merah Putih di leher anjing ditetapkan sebagai tersangka. Foto: Dok. Istimewa
ADVERTISEMENT
RH, pria berusia 22 tahun di Kabupaten Bengkalis, Riau, ditangkap polisi setelah memasang bendera merah putih di leher anjing. Aksinya tersebut diduga telah menghina lambang negara.
ADVERTISEMENT
Awalnya, RH memasang bendera merah putih kecil pada leher anjing, lalu divideokan. Video kemudian dengan cepat menyebar di media sosial.
Saat diamankan, RH mengakui membeli empat bendera kecil pada Rabu (9/8) lalu. Bendera tersebut rencananya akan dipasang pada sepeda motornya. Namun, karena keterbatasan tempat, hanya satu bendera yang berhasil dipasang.
Bendera yang tersisa kemudian dipasang pada kalung leher anjing dengan alasan untuk memeriahkan peringatan Hari Kemerdekaan.
Setelah dilakukan pemeriksaan terhadap RH, dan beberapa saksi lainnya, polisi menetapkan RH sebagai tersangka. Kasusnya kini diambil alih Polres Bengkalis.
RH (22 tahun) ditangkap Polres Bengkalis, setelah memasang bendera merah putih di leher anjing. Foto: Dok. Istimewa
Tersangka dijerat dengan Pasal 66 UU Nomor 24 Tahun 2009, tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan.
"Ancaman hukuman penjara paling lama 5 tahun dan denda paling banyak Rp 500 juta," pungkasnya.
ADVERTISEMENT
Lantas, bagaimana sebenarnya detail pasal tersebut?
Berikut bunyi Pasal 66:
Setiap orang yang merusak, merobek, menginjak-injak, membakar, atau melakukan perbuatan lain dengan maksud menodai, menghina, atau merendahkan kehormatan Bendera Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 huruf a, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Dalam sejumlah tulisan dan jurnal hukum, pasal 66 dinilai ada beberapa celah.
Salah satu yang disorot terdapat frasa 'perbuatan lain dengan maksud menghina' dalam pasal tersebut. Menurut Prof. Masruchin Ruba dan kawan-kawan dari Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, frasa itu memiliki kekaburan makna.
"Hal tersebut menyebabkan, perbuatan lain memiliki makna ganda yang akhirnya akan membuat tindakan yang mungkin tidak bermaksud menghina dapat dikatakan menghina," demikian petikan Abstrak dari jurnal berjudul Tinjauan Yuridis Penghinaan Bendera dalam UU No 24 Tahun 2009 Tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, Serta Lagu Kebangsaan.
ADVERTISEMENT
Masruchin menjelaskan, dari hasil penelitian yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa mengenai makna penghinaan Bendera dalam frase perbuatan lain dapat diketahui apabila perbuatannya tidak mencakup dari perbuatan yang merusak, merobek, menginjak-injak, membakar.
"Apabila perbuatan yang dilakukan tidak berartikan merusak, merobek, menginjak-injak, membakar, maka perbuatan tersebut masuk dalam arti frase perbuatan lain yang dalam praktiknya perbuatan tersebut akan diobyektifkan sehingga perbuatan tersebut pastilah perbuatan menghina," jelasnya.
Sementara itu, pengajar di Fakultas Hukum di Universitas Andalas Feri Amsari memberikan pandangannya.
"Saya rasa banyak perbedaan perspektif antara lambang negara dan niatnya mengalungkan ke anjing itu berbeda dengan aparat negara. Warga Negara ingin merayakan 17 Agustus dengan sesuatu yang menurut mereka menarik dengan mengalungkan ke hewan peliharaannya segala macam," kata Feri saat dihubungi, Senin (14/8).
ADVERTISEMENT
Menurutnya, ini terjadi karena objeknya adalah anjing. Kata dia, aparat punya persepsi sendiri soal hewan tersebut.
"Aparat negara melihat anjing sebagai simbol hewan yang hina dan haram sehingga merelasikannya tindakan itu sebagai mencela simbol dan lambang negara," jelas dia.
Adakah Niat Jahat?
Feri Amsari menyebut, apakah RH bisa dijerat pidana atau tidak tergantung niat jahat (mensrea). Apa niat pria tersebut mengalungkan bendera merah putih berukuran kecil tersebut?
"Ini kan sangat bergantung dengan niat orang yang memasangkan bendera. Kalau niatnya mau merayakan dan berbahagia 17 Agustus, aparat negara tidak bisa mentersangkai orang. Jadi perspektif ini agak berlebihan dan bertentangan dengan semangat yang sekarang dikedepankan aparat negara soal restorative justice bukan penghukuman yang dikedepankan. Tapi mengembalikan keadilan di tengah masyarakat," urainya.
ADVERTISEMENT
Ia menambahkan, kalau hal-hal seperti ini dianggap menghina hanya akan menambah beban negara menyelesaikan perkara-perkara. Hal ini semestinya tidak sampai jauh ke proses hukum.
"Jadi bagi saya perspektifnya harus dilihat apa niat warga negara. Harus diingat ada azas pidana, tidak ada pidana atau kejahatan tanpa ada niat jahat. Jadi kalau niatnya tidak jahat tidak bisa dipidana," katanya.
"Saya pikir ada perspektif berbeda dalam melihat hewan. Anjing dianggap hewan yang haram saja kemudian lambang negara tidak boleh ditempelkan ke sana. Niatnya ya ingin merayakan kemerdekaan, tidak lebih dari itu. Jangan kemudian persepsi aparat yang dikedepankan," jelasnya.
Ukuran Bendera Negara
Ukuran bendera merah putih yang dikalungkan pria Bengkalis terhitung kecil. Terlihat tak sampai 10 cm.
ADVERTISEMENT
"Harus diingat kalau kecil itu bukan bendera negara. Bendera negara itu ada ukuran-ukuran tertentunya. Jadi bendera yang dikibar-kibarkan siswa misalnya di sebuah acara di depan pejabat itu bukan bendera negara. Ukuran 10-15 cm," jelasnya.
"Yang dikabarkan kecil 10 cm itu bukan termasuk bendera negara. 10-15 cm itu penggunaan di meja, 20 cm x 25 cm untuk pesawat, 100 cm untuk penggunaan di kapal. Jadi sudah diukur semua," jelasnya.
Dalam Pasal 4 UU No. 24 Tahun 2009, disebutkan bahwa bendera merah putih berbentuk empat persegi panjang dengan ukuran lebar 2/3 (dua-pertiga) dari panjang serta bagian atas berwarna merah dan bagian bawah berwarna putih yang kedua bagiannya berukuran sama. Bendera tersebut dibuat dari kain yang warnanya tidak luntur.
ADVERTISEMENT
"Sebenarnya aparat harus paham hukum juga dengan UU. Tidak serta merta menghukum orang, terpancing dengan yang viral-viral. No viral no justice, kalau viral langsung bergerak tapi salah karena enggak baca UU," tutup dia.