Karen Minta Jokowi hingga Boediono Jadi Saksi di Kasus Dugaan Korupsi LNG

30 Desember 2023 9:26 WIB
ยท
waktu baca 2 menit
Mantan Direktur Utama PT Pertamina Karen Agustiawan mengenakan rompi tahanan saat dihadirkan saat konpers di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Selasa (19/9/2023). Foto: Iqbal Firdaus/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Mantan Direktur Utama PT Pertamina Karen Agustiawan mengenakan rompi tahanan saat dihadirkan saat konpers di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Selasa (19/9/2023). Foto: Iqbal Firdaus/kumparan
ADVERTISEMENT
Eks Direktur Utama Pertamina Karen Agustiawan meminta Presiden Joko Widodo (Jokowi) hingga mantan Wakil Presiden Boediono untuk menjadi saksi meringankan.
ADVERTISEMENT
Kasusnya adalah dugaan korupsi pengadaan liquefied natural gas (LNG) atau gas alam cair.
"Bu KA meminta penyidik menanyakan Presiden tentang kehadiran beliau secara seremonial dalam penandatanganan SPA 2015 di AS," kata Luhut Pangaribuan, pengacara Karen, kepada kumparan, Sabtu (30/12).
"Dan Pak Boediono untuk rapat Wapres 2011 yang notulennya ada dan sudah disampaikan ke penyidik," kata Luhut.

Sekilas Kasus

Mantan Direktur Utama PT Pertamina Karen Agustiawan mengenakan rompi tahanan usai menjalani pemeriksaan di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Selasa (19/9/2023). Foto: Iqbal Firdaus/kumparan
Kasus yang sedang diusut KPK ini terkait impor LNG pada tahun 2011-2021. Selama periode Februari 2009 hingga Oktober 2014, Pertamina dipimpin oleh Karen Agustiawan.
Saat menjabat Dirut Pertamina, Karen mengeluarkan kebijakan untuk menjalin kerja sama dengan produsen dan supplier LNG di luar negeri. Termasuk Corpus Christi Liquefaction (CCL) dari AS.
Diduga Karen secara sepihak memutuskan melakukan kontrak perjanjian kerja sama dengan CCL. Menurut KPK, "tanpa melakukan kajian hingga analisis menyeluruh."
ADVERTISEMENT
Bahkan, tindakan Karen itu menurut KPK tidak mendapatkan restu dan persetujuan dari Pemerintah pada saat itu.
Namun, LNG dari CCL itu malah tidak terserap di pasar domestik. Sehingga kargo LNG menjadi oversupply dan tak pernah masuk ke wilayah Indonesia. Alhasil, Pertamina harus menjual rugi.
Atas perbuatannya, Karen dijerat Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 UU Tipikor juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Negara disebut rugi hingga Rp 2,1 triliun.
Pada 19 September 2023, KPK menahan Karen terkait kasus tersebut.