Kasus Aipda Ambarita Periksa HP Pemuda, Bagaimana Prosedur Geledah Polisi?

19 Oktober 2021 15:58 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
4
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Aipda Ambarita. Foto: Instagram/@mpambarita
zoom-in-whitePerbesar
Aipda Ambarita. Foto: Instagram/@mpambarita
ADVERTISEMENT
Cuplikan video yang ditayangkan salah satu acara televisi viral setelah ramai diperbincangkan masyarakat. Video itu diketahui menampilkan adegan saat seorang polisi yakni Aipda Ambarita tengah berupaya memeriksa paksa ponsel milik seorang pemuda.
ADVERTISEMENT
Dalam video itu, terlihat pemuda selaku pemilik ponsel merasa keberatan ketika Ambarita bermaksud untuk memeriksa ponselnya. Ia menegaskan bahwa ponsel tersebut merupakan ranah privasinya sehingga aparat sekalipun tam berhak membukanya.
Membela diri, Ambarita kemudian meyakinkan bahwa petugas kepolisian memiliki wewenang untuk memeriksa ponsel tersebut. Mengingat ada aturan yang membolehkan mereka melakukan itu.
Ambarita sendiri kini diperiksa Propam Polda Metro Jaya. Ambarita juga dipindahtugaskan ke Humas Polda Metro.
Menanggapi hal itu, ahli hukum pidana Abdul Fickar Hadjar menilai tindakan tersebut tak sesuai dengan prosedur dan aturan yang berlaku.
Sebelum melakukan pemeriksaan atau penggeledahan terhadap seseorang, menurutnya surat izin haruslah dikantongi oleh petugas dari ketua pengadilan di tempat dia melaksanakan penggeledahan tersebut
ADVERTISEMENT
"Polisi tidak bisa dan tidak boleh (melanggar hukum) jika menggeledah sembarangan tanpa izin ketua pengadilan," ujar Fickar saat dihubungi, Selasa (19/10).
"Wewenang penggeledahan tidak sembarangan dapat dilakukan oleh kepolisian/penyidik, karena penggeledahan harus didasarkan pada surat izin ketua pengadilan negeri setempat dilakukannya penggeledahan. Pengecualiannya (tanpa surat izin) dalam hal tertangkap tangan," sambungnya.
Hal itu berbeda jika sejak awal penggeledahan yang dilakukan polisi atau aparat itu berada dalam konteks tangkap tangan, Polisi murni memiliki izin untuk melakukannya.
Akan tetapi jika pada perjalanannya mereka gagal menunjukkan izin yang dibutuhkan, Fickar menganggap Polisi tersebut telah menyalahgunakan jabatan yang ia emban saat ini.
"Jika tidak ada tertangkap tangan Polisi sudah menyalahgunakan jabatannya karena menggeledah tanpa izin pengadilan. Padahal tidak ada yang tertangkap tangan," ucap Fickar.
ADVERTISEMENT
Atas tindakan penyalahgunaan wewenang itu, Polisi yang terlibat, menurut Fickar dapat dijerat melalui ranah gugatan praperadilan. Pembayaran ganti rugi, kata Fickar, wajib dilakukan aparat tersebut atas upaya pelanggaran privasi seseorang yang dilakukannya dalam bertugas.
"Terhadap tindakan tersebut bisa dituntut di-praperadilan-kan dinyatakan penggeledahannya tidak sah dan wajib membayar ganti rugi. Tuntutan ganti rugi dapat diajukan melalui praperadilan," ungkap Fickar.
Gugatan itu dapat dilakukan mengingat kewenangan penggeledahan dan pembatasannya sudah diatur dalam Pasal 32 sampai dengan Pasal 37 KUHAP.
Pasal 32 mengatur bahwa untuk kepentingan penyidikan, penyidik dapat melakukan penggeledahan rumah atau penggeledahan pakaian atau penggeledahan badan menurut tata cara yang ditentukan dalam undang-undang.
Sementara dalam Pasal 37 disebutkan dalam ayat 1 bahwa pada waktu menangkap tersangka, penyelidik hanya berwenang menggeledah pakaian termasuk benda yang dibawanya, serta apabila terdapat dugaan keras dengan alasan yang cukup bahwa pada tersangka tersebut terdapat benda yang dapat disita.
ADVERTISEMENT
Sementara untuk Pasal 37 ayat 2 dikatakan pada waktu menangkap tersangka atau dalam hal tersangka sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) penyidik berwenang menggeledah pakaian dan atau menggeledah badan tersangka.
Karenanya dalam urusan penggeledahan, surat izin wajib dimiliki Polisi atau aparat. Jika surat izin tak dapat ditunjukkan, pihak yang merasa dirugikan, menurutnya bisa menuntut yang bersangkutan melalui ranah praperadilan.
"Dalam hal polisi menggeledah secara paksa, tanpa surat izin pengadilan atau tanpa ada yang tertangkap tangan, mala polisi bisa dituntut telah melakukan penggeledahan yang tidak sah, tindakan ini bisa dituntut melalui praperadilan dengan kompensasi kerugian," ungkap Fickar.
Dosen FH Universitas Tri Sakti, Abdul Fickar Hadjar diwawancarai usai Diskusi bertajuk ‘Rombongan Koruptor Mengajukan PK’ di Kantor ICW, Kalibata, Jakarta Selatan, Rabu (13/3). Foto: Ajo Darisman/kumparan
"Karena itu tidak bisa polisi seenaknya melakukan penggeledahan paksa tanpa didasari surat perintah pengadilan," lanjut dia.
ADVERTISEMENT
Senada dengan Fickar, pakar hukum pidana Suparji Ahmad juga menegaskan bahwa Polisi atau aparat harus memiliki dasar kuat sebelum memeriksa barang yang notabene jadi privasi seseorang. Terlebih sebelum memeriksa, mereka tak dapat menunjukkan surat perintah untuk melakukan pemeriksaan tersebut.
"Tindakan tersebut harus didasarkan pada alasan yang jelas, karena tertangkap tangan, penyelidikan atau penyidikan. Membuka HP tentunya dalam rangka mencari bukti. Nah bukti untuk kepentingan yang mana," tegas Suparji.
Selain Pasal 32 dan 37, Pasal 46 KUHAP juga mengatur perihal penyitaan barang bukti oleh aparat.
Karenanya, ia menganggap surat izin amat diperlukan dalam proses ini. Jika tak bisa menunjukkannya, Polisi atau aparat menurut harus membeberkan secara rinci maksud dan tujuan dari pemeriksaan itu. Di lain sisi, Suparji memastikan masyarakat pun berhak mempertanyakan maksud dari pemeriksaan dirinya.
ADVERTISEMENT
"Ya harus ada prosedur yang dipenuhi dalam melakukan tindakan tersebut. Ya harus memperjelas identitas, maksud dan tujuan serta kelengkapan administrasinya," kata Suparji.
"Ya (masyarakat) dapat minta penjelasan maksud (dari penggeledahan)," tutupnya.