news-card-video
10 Ramadhan 1446 HSenin, 10 Maret 2025
Jakarta
chevron-down
imsak04:10
subuh04:25
terbit05:30
dzuhur11:30
ashar14:45
maghrib17:30
isya18:45

Kasus Alex Denni Diadukan ke Komisi III DPR

24 Februari 2025 12:18 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Alex Denni. Foto: Dok. menpan.go.id
zoom-in-whitePerbesar
Alex Denni. Foto: Dok. menpan.go.id
ADVERTISEMENT
Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI) menghadiri rapat kerja bersama Komisi III DPR pada Senin (24/2). Rapat ini membahas kasus yang menjerat Alex Denni.
ADVERTISEMENT
Alex Denni merupakan eks Deputi KemenPANRB. Ia ditangkap oleh Kejaksaan Negeri Kota Bandung, pada Jumat (19/7/2024). Ia merupakan terpidana sejak 2013 karena melakukan korupsi terkait pengadaan proyek Distinct Job Manual di perusahaan BUMN.
PBHI mendesak Komisi III DPR untuk menindaklanjuti dugaan ketidakadilan dalam kasus hukum yang menjerat Alex .
Ketua PBHI, Julius Ibrani, menyoroti ketidakterbukaan dalam putusan pengadilan terkait kasus ini.
“Dari sembilan putusan yang berkaitan, tidak satu pun yang dipublikasikan di Sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP) atau Direktori Putusan Mahkamah Agung. Bahkan, satu putusan kasasi baru diunggah setelah kasus ini ramai diperbincangkan di media,” kata Julius.
PBHI juga menyoroti pemisahan perkara (splitsing) yang dinilai janggal. Dalam kasus ini, terdapat tiga terdakwa, yakni dua dari PT Telkom dan satu dari pihak swasta, Alex Denni.
ADVERTISEMENT
Putusan untuk dua terdakwa BUMN keluar lebih cepat, sedangkan putusan terhadap Alex Denni tertunda hingga lima tahun kemudian.
“Dua terdakwa dari BUMN dinyatakan bebas, sementara Alex Denni dihukum dengan jeda waktu putusan yang jauh berbeda,” kata Julius.
Selain itu, PBHI menyoroti adanya pelanggaran administratif dalam putusan tersebut. Salah satu hakim yang menandatangani putusan diketahui telah meninggal sebelum putusan dibuat.
“Hakim militer juga ikut serta dalam memutus perkara yang seharusnya berada dalam ranah hukum perdata, dan Alex Denni tidak pernah menerima pemberitahuan putusan serta panggilan eksekusi,” tambah Julius.
Fakta persidangan menunjukkan proyek yang menjadi objek perkara tetap digunakan oleh perusahaan BUMN hingga kini. Dalam putusan pengadilan tinggi, disebutkan tidak ada penyalahgunaan wewenang, administrasi proyek lengkap, dan tidak ditemukan kerugian negara.
ADVERTISEMENT
PBHI mempertanyakan bagaimana mungkin Alex Denni tetap divonis bersalah jika fakta tersebut diakui dalam putusan terdakwa lainnya.
Proses Peninjauan Kembali (PK) juga mengalami kendala. Sidang PK di Pengadilan Negeri Bandung telah selesai sejak 28 November 2023, namun hingga kini belum ada nomor registrasi.
“Kami menemukan bahwa sistem digital (e-court) tidak bisa digunakan untuk menelusuri status PK. Ini menunjukkan ada permasalahan dalam sistem informasi perkara yang masih manual dan tidak akuntabel,” ujar Julius.
Komisi III DPR RI gelar RDPU dengan Ketua Badan Pengurus Nasional PBHI di Geudng DPR RI, Jakarta, Senin (24/2/2025). Foto: YouTube/ TVR Parlemen
Untuk itu, PBHI meminta Komisi III DPR RI untuk mengambil langkah konkret, termasuk mendorong transparansi putusan Mahkamah Agung dan pengadilan, mencegah disparitas putusan, serta memastikan digitalisasi peradilan berjalan akuntabel.
“Kami berharap DPR RI dapat memastikan pengajuan PK berjalan sesuai aturan, termasuk dalam kasus Alex Denni ini,” tuturnya.
Penangkapan DPO atas nama Ir. Alex Denni, M.M Foto: Instagram/@kejari_kota_bandung
Denni terjerat kasus korupsi saat masih menjabat Direktur Utama PT Parardhya Mitra Karti pada tahun 2003. Saat itu, Agus Utoyo dan Tengku Hedi Safinah selaku Direktur SDM Niskung serta Asisten Kebijakan SDM pada Direktorat SDM Niskung menunjuk perusahaan Alex sebagai konsultan analisa jabatan.
ADVERTISEMENT
Proyek pengadaan jasa konsultan analisa jabatan tersebut dianggarkan sebesar Rp 5,7 miliar. Tapi berdasarkan hasil penelusuran, kejaksaan mengendus adanya kongkalikong dalam proyek itu. Kerugian negara akibat proyek ini mencapai Rp 2,7 miliar.
Sidang kasus ini berjalan di Pengadilan Negeri pada 2006 silam. Putusannya dibacakan Pada 29 Oktober 2007. Pengadilan memvonis Agus Utoyo, Tengku Hedi Safinah, dan Alex Denni 1 tahun penjara dan denda Rp 50 juta subsidair 3 bulan kurungan.
Denni dinyatakan terbukti bersalah melanggar Pasal 3 jo Pasal 18 Undang-undang Tindak Pidana Korupsi, jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Ia juga diputus untuk membayar uang pengganti sebesar Rp 789 juta. Jika uang pengganti itu tidak sanggup dibayar, maka akan diganti dengan hukuman penjara 6 bulan kurungan.
ADVERTISEMENT

Komisi III DPR Minta Bawas MA dan KY Usut Tuntas Kejanggalan Kasus Alex Denni

Istri Alex Denni, Ernitasari, didampingi Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI) menghadiri Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) Komisi III DPR, Senin (24/2/2025). Foto: Istimewa
Menyikapi kondisi terkini terkait kasus Alex Denni, Komisi III DPR akan meminta Badan Pengawas (Bawas) Mahkamah Agung (MA) dan Komisi Yudisial (KY) untuk mengusut tuntas kejanggalan prosedural dalam kasus Alex Denni.
Pengusutan kejanggalan prosedural kasus Alex Deni ini terutama terkait hakim yang telah meninggal dunia namun tercatat menandatangani putusan kasasi. Komisi III juga akan mendorong dilakukannya evaluasi menyeluruh agar tidak terjadi kembali disparitas putusan seperti yang terjadi pada Alex Denni.
“Ada dugaan pemalsuan putusan karena orang sudah meninggal bisa tanda tangan. Itu, kan, tidak mungkin,” ujar Ketua Komisi III DPR RI Habiburokhman yang memimpin RDPU, Senin (24/2/2025).
ADVERTISEMENT
Dalam keputusannya, Komisi III DPR RI juga akan memberikan masukan terhadap MA agar memberikan atensi terhadap permohonan Peninjauan Kembali (PK) Alex Denni dengan mempertimbangkan jaminan Business Jusgment Rules (BJR), serta mengevaluasi pemberlakuan Pasal 55 KUHP terhadap Alex Denni terkait putusan bebas atas nama Agus Utoyo dan Tengku Hedi Safinah sesuai prinsip keadilan dan peraturan perundang-undangan yang berlaku lainnya.
“Yang melakukan saja tidak dihukum. Bagaimana mungkin ada orang yang dihukum karena membujuk untuk melakukan atau membantu untuk melakukan. Ini agak-agak ajaib,” tambah Habiburokhman.
Istri Alex Denni, Ernitasari, didampingi Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI) menghadiri Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) Komisi III DPR, Senin (24/2/2025). Foto: Istimewa
Ketua Badan Pengurus PBHI Julius Ibrani mengatakan, terdapat sejumlah kejanggalan dalam perkara Alex Denni baik secara prosedural maupun secara substansi. Salah satu temuannya adalah pencantuman nama hakim yang sudah meninggal dunia dalam putusan kasasi Alex Denni.
ADVERTISEMENT
Julius mengungkapkan, salah satu hakim yang memeriksa perkara Alex Denni di tingkat kasasi sudah meninggal sebelum tanggal putusan. Namun, namanya tetap tercantum dalam putusan.
“Tanggal putusannya itu pada 14 November 2013. Namun, salah satu hakimnya sudah meninggal pada 7 September 2013. Jadi, jedanya lumayan itu,” ungkapnya.
Kejanggalan yang paling mendasar, putusan terhadap Alex Denni, baik di tingkat banding maupun kasasi bertolak belakang dengan putusan terhadap Agus Utoyo dan Tengku Hedi Safinah.
Berdasarkan eksaminasi yang dilakukan PBHI bersama tiga ahli hukum pidana, ditemukan kejanggalan baik di level administrasi pengadilan, hukum acara dan pemeriksaan perkara yang berujung pada terjadinya disparitas putusan.
Di tingkat banding, dua pejabat Telkom tersebut dinyatakan bebas, tidak bersalah karena terbukti tidak melakukan penyalahgunaan wewenang dan tidak ada kerugian negara. Namun, dengan alat bukti yang sama, Alex Denni yang merupakan pihak swasta dan tidak punya kewenangan dalam membuat keputusan tetap dinyatakan bersalah.
Istri Alex Denni, Ernitasari, didampingi Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI) menghadiri Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) Komisi III DPR, Senin (24/2/2025). Foto: Istimewa
Julius menegaskan, vonis bersalah terhadap Alex Denni jelas bertentangan dan melanggar penerapan hukum terhadap Pasal 55 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang mensyaratkan pihak penyelenggara negara harus divonis bersalah terlebih dahulu baru kemudian pihak swasta dapat dinyatakan bersalah.
ADVERTISEMENT
Anggota Komisi III DPR RI dari Fraksi Gerindra Bimantoro Wiyono mengatakan, Komisi III DPR RI merupakan rumah bagi pencari keadilan. Menurutnya, sistem peradilan di Indonesia memang harus diperbaiki secara masif. Itu sebabnya, Komisi III saat ini sedang merancang KUHP yang baru.
“Untuk perkara ini memang kami tidak bisa masuk kepada substansi. Tapi kami akan terus mengawal. Saya sangat mendorong penguatan sistem peradilan, terutama pemberkasan perkara di MA yang sudah dari dulu menjadi problematika,” tegas Bimantoro.
Sementara itu, anggota Komisi III DPR RI dari Fraksi Demokrat, Hinca Panjaitan berharap, Alex Denni tidak sekadar mendapatkan haknya atas kebenaran yang diyakininya. Namun, Alex Denni juga bisa menjadi energi baru untuk memperbaiki KUHP.
‘Saya sampaikan Ibu kepada Pak Alex Denni, hormat kami. Jangan berhenti berjuang. Saya memberikan dukungan penuh untuk keluarga Alex Denni, juga teman-teman PBHI. Teruslah berjuang,” ujar Hinca kepada Ernitasari, istri Alex Denni, turut yang menghadiri RDPU.
ADVERTISEMENT