Kasus Korupsi di Bakamla, Dirut PT CMI Teknologi Dihukum 5 Tahun Penjara

16 Oktober 2020 16:41 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tersangka Direktur Utama PT CMI Teknologi (CMIT) Rahardjo Pratjihno (kanan) berjalan sebelum diperiksa di Gedung KPK, Jakarta, Selasa (10/3/2020). Foto: ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra
zoom-in-whitePerbesar
Tersangka Direktur Utama PT CMI Teknologi (CMIT) Rahardjo Pratjihno (kanan) berjalan sebelum diperiksa di Gedung KPK, Jakarta, Selasa (10/3/2020). Foto: ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra
ADVERTISEMENT
Hakim Pengadilan Tipikor Jakarta menyatakan Direktur Utama PT Compact Microwave Indonesia Teknologi (PT CMI Teknologi) Rahardjo Pratjihno terbukti bersalah melakukan korupsi. Ia dinilai terbukti korupsi proyek di Badan Keamanan Laut (Bakamla) tahun anggaran 2016.
ADVERTISEMENT
Proyek yang dimaksud ialah pengadaan "Backbone Coastal Surveillance System" (BCSS) yang terintegrasi dengan "Bakamla Integrated Information System" (BIIS) yang telah merugikan keuangan negara sebesar Rp 63,829 miliar.
"Mengadili, menyatakan terdakwa Rahardjo Pratjihno terbukti secara sah dan meyakinkan menurut hukum bersalah melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama," kata ketua majelis hakim Muslim di pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, dilansir Antara, Jumat (16/10).
Atas vonis itu, Rahardjo dihukum 5 tahun penjara ditambah denda Rp 600 juta subsider 6 bulan kurungan. Ia dinilai terbukti melanggar Pasal 2 ayat (1) jo pasal 18 UU tentang Pemberantasan Korupsi jo pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Vonis tersebut lebih rendah dibanding tuntutan yang diajukan Jaksa Penuntut Umum (JPU) KPK yang menuntut agar Rahardjo divonis 7 tahun penjara ditambah denda Rp 600 juta subsider 6 bulan kurungan
ADVERTISEMENT
Rahardjo juga diwajibkan untuk membayar uang pengganti sebesar Rp 15,14 miliar sesuai dengan keuntungan yang ia terima.
"Menghukum terdakwa dengan pidana tambahan berupa membayar uang pengganti kepada negara sebesar Rp 15,14 miliar dengan ketentuan jika dalam waktu 1 bulan sesudah putusan pengadilan mempunyai kekuatan hukum tetap dan terdakwa tidak membayar uang pengganti tersebut, maka harta bendanya disita dan dilelang untuk menutupi uang pengganti dan jika tidak mempunyai harta benda yang cukup, maka diganti dengan pidana penjara selama 3 tahun," tutur hakim Muslim.
Putusan uang pengganti itu jauh lebih rendah dibanding tuntutan JPU KPK yang meminta agar Rahardjo membayar uang pengganti Rp 60,32 miliar.
Dalam sidang ini, Rahardjo Pratjihno tidak hadir di ruang sidang, melainkan mengikuti sidang dari gedung KPK melalui "video conference". Hanya ada JPU KPK, majelis hakim, dan sebagian penasihat hukum yang bersidang di pengadilan.
ADVERTISEMENT
Hakim menyatakan Rahardjo dan PT CMI Teknologi menikmati keuntungan sebesar Rp 60,329 miliar dan juga memperkaya orang lain yaitu bekas staf khusus (narasumber) bidang perencanaan dan keuangan Bakamla Ali Fahmi alias Fahmi Habsyi sebesar Rp 3,5 miliar.
Tersangka Direktur Utama PT CMI Teknologi (CMIT) Rahardjo Pratjihno (kanan) berjalan sebelum diperiksa di Gedung KPK, Jakarta, Selasa (10/3/2020). Foto: ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra
PT CMI Teknologi adalah perusahaan yang bergerak di bidang usaha pengadaan produk-produk teknologi komunikasi dan telah beberapa kali menjadi rekanan (penyedia barang/jasa) bagi instansi pemerintahan.
Awalnya pada Maret 2016, Rahardjo mengusulkan kepada Kepala Bakamla saat itu Arie Soedewo dan Kepala Pengelolaan Informasi Marabahaya Laut (KPIML) Bakamla Arief Meidyanto agar Bakamla mempunyai jaringan backbone sendiri (independen) yang terhubung dengan satelit dalam upaya pengawasan keamanan laut atau "Backbone Surveillance" yang terintegrasi dengan BIIS.
Bakamla mengajukan RAPB-P 2016 senilai total Rp 400 miliar untuk pengadaan proyek tersebut. Ali Fahmi lalu berkoordinasi dengan pihak-pihak di Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Direktorat Jenderal Anggaran dan Kementerian Keuangan sebelum pembahasan anggaran di Komisi I DPR.
ADVERTISEMENT
PT CMI Teknologi lantas keluar sebagai pemenang lelang pekerjaan pengadaan "BCSS yang terintegrasi dengan BIIS" Bakamla TA 2016 dengan nilai penawaran Rp 397,006 miliar. Namun pada Oktober 2016, Kemenkeu hanya menyetujui anggaran BCSS tersebut sebesar Rp 170,579 miliar.
PT CMI Teknologi lalu melakukan subkon dan pembelian sejumlah barang yang termasuk pekerjaan utama ke 11 perusahaan.
Hingga batas akhir 31 Desember 2016, Rahardjo tidak dapat menyelesaikan pekerjaan tersebut, bahkan ada sejumlah alat yang baru dapat dikirim dan dilakukan instalasi pada pertengahan 2017.
Namun PT CMI Teknologi tetap dibayar yaitu sebesar Rp 134,416 miliar. Dari jumlah tersebut, ternyata biaya pelaksanaan hanya sebesar Rp 70,587 miliar sehingga terdapat selisih sebesar Rp 63,829 miliar sebagai yang merupakan keuntungan dari pengadaan "backbone" di Bakamla.
ADVERTISEMENT
Nilai keuntungan tersebut dikurangi dengan pemberian kepada Ali Fahmi alias Fahmi Habsyi sebesar Rp 3,5 miliar sehingga Rahardjo selaku pemilik PT CMI Teknologi mendapat penambahan kekayaan sebesar Rp 60,329 miliar.
Pengadaan "backbone" yang dilaksanakan oleh PT CMI Teknologi tersebut pada akhirnya tidak dapat dipergunakan sesuai tujuan yang diharapkan karena kualitas sistemnya belum berfungsi dengan baik, sebagaimana tertuang dalam laporan hasil pemeriksaan fisik oleh Tim Ahli Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya tanggal 29 Oktober 2019 yang menyatakan bahwa meskipun semua "Bill of Material" yang telah dijanjikan dalam kontrak dapat dipenuhi oleh kontraktor, namun secara fungsi tidak dapat didemonstrasikan dengan baik sesuai dengan yang direncanakan.