Kasus Penipuan Online di Asia Tenggara Meningkat Sejak Pandemi COVID-19

3 Desember 2022 22:32 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi Penipuan. Foto: Shutter Stock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Penipuan. Foto: Shutter Stock
ADVERTISEMENT
Pandemi COVID-19 membawa dampak buruk bagi kehidupan. Salah satunya adalah dampak Ekonomi. Masyarakat kini jadi lebih sulit dalam mengatur keuangan lantaran situasi yang penuh tekanan.
ADVERTISEMENT
Nah, pandemi rupanya juga telah menyebabkan meningkatnya kasus penipuan berbasis online. Ini terjadi di Kawasan Asia Tenggara, yakni Thailand, Kamboja, Laos, Myanmar, serta tak terkecuali Indonesia.
Nikkei Asia, media yang berbasis di Jepang, belum lama ini merilis laporan soal fenomena tersebut. Di Thailand, misalnya, pria paruh baya asal bernama Kai (nama samaran) nekat menyeberang secara ilegal ke Kamboja pada Juni 2021. Dirinya mendapat sebuah pekerjaan yang besar dari iklan yang ada di internet.
Ilustrasi Perdagangan manusia. Foto: Shutterstock
Meski begitu, kenyataan justru berkata lain. Dirinya justru diperdagangkan oleh mafia-mafia asal China. Ia lalu dipaksa menjadi admin dalam sebuah organisasi penipuan berbasis online. Dengan perangkat smartphone dan laptop, serta jam kerja yang panjang, dirinya dipaksa untuk melakukan penipuan melalui telepon. Menyamar sebagai penagih utang, polisi, bahkan berpura-pura sebagai keluarga dari target penipuan.
ADVERTISEMENT
Penipuan berbasis telepon selama masa pandemi di Thailand naik tinggi. Dewan pembangunan ekonomi dan sosial Thailand mengatakan, penipuan telepon naik 270 persen di 2021. Serta penipuan berbasis SMS meningkat lebih dari 50 persen. Terdapat hampir 50.000 pengaduan yang masuk. Hal itu lebih banyak 2 kali lipat dari tahun 2020.
Tak hanya Thailand. Singapura juga jadi 'sarang' meningkatnya penipuan yang biasa dikenal dengan scam ini. Berdasarkan data dari Kepolisian Singapura, estimasi uang yang hilang akibat penipuan pada 2021 ialah 630 juta dolar Singapura, atau setara dengan Rp 7 triliun. 2,5 kali lebih banyak dari tahun sebelumnya.
Menlu Retno Marsudi melakukan pertemuan dengan Kepolisian Kamboja. Foto: Kemlu RI
Warga Negara Indonesia (WNI) pun turut jadi korban penipuan serta penjualan manusia. Dilaporkan 60 WNI disekap di Kamboja. Hal tersebut terungkap pada Kamis (28/7) lalu.
ADVERTISEMENT
Mereka sempat disekap sindikat perusahaan investasi palsu di Kota Sihanoukville, kota pelabuhan yang berada di bagian selatan Kamboja. Jarak antara ibu kota Phnom Penh menuju Sihanoukville dapat ditempuh selama 5 jam dengan berkendara mobil.
Dalam wawancara bersama kumparan, salah satu pekerja bernama Hijau (bukan nama sebenarnya) mengungkapkan pihak pemberi kerja sengaja menciptakan ruang yang nyaman.
"Justru tempat kantornya nyaman. Dibuat nyaman mungkin, hanya saja tekanannya itu nggak bisa kita pungkiri," ujar Hijau saat berbincang lewat telepon, Sabtu (30/7).
55 WNI yang disekap di Sihanoukville, Kamboja, berhasil diselamatkan (30/7). Foto: KBRI Phnom Penh
Ia menceritakan, pekerja Indonesia diberi tempat tinggal di apartemen yang satu bangunan dengan tempat kerja.
"(Kita tinggal) di apartemen gitu. Jadi satu tempat dia, apartemen sama kantor. Kantor sama tempat tinggal karyawan itu satu tempat," ujarnya.
ADVERTISEMENT
Meski begitu, mereka harus kerja selama tujuh hari penuh tanpa libur. Mereka pun bekerja dengan kondisi sangat ketat, beberapa kali ada pekerja yang kepalanya dijedotkan ke tembok karena telat semenit. Mereka bahkan tidak boleh keluar dari apartemen itu.
Ilustrasi kontak telepon. Foto: Shutter Stock
Penipuan atau scamming ini memang bukan hal yang baru. Ini sudah menjadi hal umum sejak lama. Namun angka penipuan berkembang pesat selama pandemi. Kepala Investigasi Kejahatan Siber Thailand, Mayor Jenderal Titawat Suriyachai, bahkan mengakui bahwa timnya hampir tidak bisa mengikuti pesatnya angka penipuan di Negeri Gajah Putih itu.