Kasus Satelit Kemhan, Kejaksaan Periksa Plt Dirjen Kominfo soal Sewa Artemis

21 September 2022 18:18 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi satelit. Foto: Adim Sadovski/Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi satelit. Foto: Adim Sadovski/Shutterstock
ADVERTISEMENT
Tim penyidik koneksitas Jaksa Agung Muda Bidang Pidana Militer melakukan pemeriksaan terhadap lima orang saksi terkait kasus dugaan tindak pidana korupsi proyek pengadaan satelit slot orbin 123 derajat Bujur Timur (BT) di Kementerian Pertahanan (Kemhan) tahun 2012-2021.
ADVERTISEMENT
Pemeriksaan tersebut sudah dilakukan pada Selasa (20/9) kemarin. Adapun salah satu yang diperiksa adalah DS. Dalam jadwal pemeriksaan ia disebut selaku Plt. Direktur Jenderal Sumber Daya dan Perangkat Pos dan Informatika Kementerian Komunikasi dan Informatika RI.
Sementara empat saksi lainnya yakni:
"Adapun 5 orang saksi tersebut diperiksa terkait kegiatan sewa satelit Artemis dan kegiatan rapat operator satelit/Operator Regular Meeting di London," kata Kapuspenkum Kejagung Ketut Sumedana dalam keterangannya, Rabu (21/9).
ADVERTISEMENT
Adapun penyewaan satelit Artemis itu dilakukan dengan Avanti Communication Limited (Avanti). Sejauh ini, sudah ada tiga orang yang ditetapkan sebagai tersangka kasus tersebut. Mereka adalah:
Gedung Kejaksaan Agung. Foto: Dok. Kejaksaan Agung
Penyewaan Satelit Artemis di Kasus Satelit Kemhan
Kasus Satelit Kemhan ini bermula ketika Satelit Garuda 1 yang keluar orbit dari Slot Orbit 123 derajat Bujur Timur (BT) pada tanggal 19 Januari 2015. Sehingga terjadi kekosongan pengelolaan oleh Indonesia.
Setelah kekosongan terjadi, sejumlah upaya dilakukan agar orbit bekas satelit tersebut tak jatuh ke negara lain. Sebab, berdasarkan ketentuan dari International Communication Union, sebuah badan di bawah PBB yang bertanggung jawab di bidang telekomunikasi dunia, negara yang telah diberi hak pengelolaan satelit akan diberi waktu untuk mengisi kembali orbit dengan satelit lain dalam waktu 3 tahun.
ADVERTISEMENT
Kemhan kemudian menyewa satelit kepada Avanti Communication Limited (Avanti), pada tanggal 6 Desember 2015 untuk mengisi sementara kekosongan. Padahal, Kemhan tidak mempunyai anggaran untuk itu.
Pada saat itu, ada satelit Artemis milik Avanti yang akan habis bahan bakarnya 2019. Kemhan lantas menyewa satelit Artemis itu dengan nilai sewa USD 30 juta. Avanti kemudian menempatkan satelit Artemis pada 12 November 2016, atas penyewaan Kemhan. Diduga, penyewaan inilah yang tengah diusut Kejagung.
Ilustrasi satelit. Foto: Michael Dunning/Getty Images
Proyek Satkomhan
Sementara slot satelit diisi dengan Artemis, Kemhan tengah membangun Satkomhan. Dalam pembangunan, Kemhan menandatangani kontrak dengan Navayo, Airbus, Detente, Hogan Lovel, dan Telesat pada 2015-2016. Ini yang kemudian menjadi masalah hukum.
Kontrak dengan lima perusahaan tersebut bernilai total USD 669 juta atau hampir Rp 10 triliun. Kepada Navayo dkk, Kemhan bahkan belum sekalipun membayar.
ADVERTISEMENT
Padahal pada 2016 sudah tersedia anggaran, namun Kemhan melakukan self-blocking dengan alasan penghematan. Ini berujung gugatan.
Pada akhir 2019, perusahaan asal Hungaria ini menggugat ke Pengadilan Arbitrase Internasional Singapura. Dalam sidang pada 22 April 2021, majelis arbitrase Singapura memutuskan Indonesia bersalah dan harus membayar USD 20 juta atau sekitar Rp 300 miliar kepada Navayo.
Kembali ke penyewaan satelit, belakangan Avanti menggugat Kemhan di London Court of International Arbitration (LCIA) atas dasar kekurangan pembayaran sewa. Negara bahkan harus membayar Rp 515 miliar karena gugatan itu.
Tahun 2018, Kemenhan lalu mengembalikan hak pengelolaan slot orbit 123 BT ke Kementerian Komunikasi dan Informatika. Pada 10 Desember 2018, pengisian orbit itu diserahkan kepada PT Dini Nusa Kusuma (DNK).
ADVERTISEMENT
Namun, PT DNK disebut tidak bisa menyelesaikan masalah yang tersisa dari Kemhan yang menjadi ganjalan dalam pengadaan Satkomhan.
Dalam kasus korupsi tersebut, diduga negara dirugikan hingga Rp 500.579.782.789 dari perhitungan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP). Berikut rinciannya: