Kata Kejagung soal Kasus Tom Lembong Belum Ada Perhitungan Kerugian Negara

21 November 2024 21:26 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi gedung Jam Pidsus, Kejagung. Foto: Helmi Afandi Abdullah/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi gedung Jam Pidsus, Kejagung. Foto: Helmi Afandi Abdullah/kumparan
ADVERTISEMENT
Kejaksaan Agung (Kejagung) merespons pernyataan ahli pidana yang menyebut penetapan tersangka korupsi harus dilengkapi dengan hasil audit keuangan negara dari auditor negara, jika dijerat dengan pasal 2 dan 3 UU Tipikor.
ADVERTISEMENT
Adapun ahli pidana yang dimaksud adalah Chairul Huda. Pernyataan itu ia sampaikan saat dihadirkan oleh tim pengacara Tom Lembong dalam sidang praperadilan di PN Jakarta Selatan, Kamis (21/11).
Tim Hukum Kejagung, Zulkipli, mengatakan aturan mengenai alat bukti dijelaskan dalam Pasal 184 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Di mana, di sana dijelaskan hanya diperlukan dua alat bukti untuk menetapkan seseorang sebagai tersangka.
"Enggak ada satu keharusan atau syarat khusus laporan BPK khususnya, itu bukan jadi syarat penetapan tersangka, enggak ada," ujar Zulkipli di PN Jakarta Selatan, Kamis (21/11).
Ia melanjutkan, dalam penanganan kasus korupsi juga memiliki sudut pandang tersendiri untuk menentukan kerugian keuangan negara. Sebab, tak diatur dalam UU Tipikor.
ADVERTISEMENT
"Ketika dia hukum pidana korupsi tidak memberikan pengertian sendiri. Boleh ngambil comot sana, comot sini, kayak penyalahgunaan kewenangan kan, Undang-undang Korupsi tidak memberikan pengertian. Tapi bisa mengambil pengertian yang ada dalam bidang hukum lain," papar Zulkipli.

Respons soal Tom Lembong Ngaku Tertekan

Menteri Perdagangan periode 2015-2016 Thomas Lembong berjalan mengenakan rompi tahanan usai menjalani pemeriksaan sebagai tersangka kasus dugaan korupsi impor gula oleh Kejaksaan Agung di Jakarta, Jumat (1/11/2024). Foto: Muhammad Ramdan/ANTARA FOTO
Pada soal lain, Zulkipli juga menanggapi pernyataan Tom Lembong yang mengaku tertekan saat memilih pengacara untuk mendampinginya dalam pemeriksaan perdana sebagai tersangka.
Dalam pernyataannya, Tom mengaku tidak punya pilihan lain sehingga menyetujui untuk menggunakan pengacara yang disediakan Kejaksaan.
"Nah itu soal tertekan, ini di mana tertekannya? Kalau substansi itu mau kita uji, harusnya dia ngomong. Nah kita bisa hadirkan. Ada CCTV semua di tempat pemeriksaan itu. Kita siap hadirkan," tegas Zulkipli.
ADVERTISEMENT
Menurutnya, sudah menjadi aturan bagi penyidik untuk menyediakan pengacara bagi seorang yang baru ditetapkan tersangka.
"Nah enggak bisa juga kemudian pemeriksaan ditunda-tunda gara-gara belum menunjuk sendiri. Ya kalau sebulan, ya kalau setahun baru dia menunjuk sendiri," ujar Zulkipli.
"Maka undang-undang memberikan pilihan. Kalau dia enggak menunjuk atau belum menunjuk, penyidik, hakim, atau penuntut umum di setiap tahap pemeriksaan wajib menunjukkan, menyediakan PH. Nah kita kan melaksanakan undang-undang," sambungnya.
Ahli pangan Fakultas Pertanian IPB Prof. Dwi Andreas Santosa, Ahli hukum pidana Dr. Mudzakkir, dan Ahli hukum acara pidana Dr. Chairul Huda, hadir dalam sidang praperadilan kasus Tom Lembong di PN Jaksel, Kamis (21/11/2024). Foto: Jamal Ramadhan/kumparan
Sebelumnya, dalam persidangan, Chairul ditanya oleh tim penasihat hukum Tom Lembong soal alat bukti utama yang perlu dikantongi penyidik untuk menetapkan seseorang sebagai tersangka korupsi.
"Kalau untuk Pasal 2, Pasal 3 (UU Tipikor) adalah hasil audit investigatif dari auditor negara yang menyatakan bahwa telah ada kerugian keuangan negara yang nyata dan pasti jumlahnya," kata Chairul.
ADVERTISEMENT
Setelah diterbitkannya hasil audit investigatif itu, lanjut Chairul, baru penyidik bisa melakukan pencarian terhadap pihak-pihak yang diduga terlibat.
"Dicari apakah ada sebabnya adalah adanya perbuatan yang memperkaya diri sendiri, orang lain, atau suatu korporasi atau tidak. Hasil audit yang membuktikan adanya keuangan negara itu lah yang menjadi pangkal tolak penetapan tersangka," jelasnya.
Ia menegaskan, seseorang tak dapat dijerat sebagai tersangka apabila belum ada hasil audit investigatif.
"Belum adanya hasil audit itu menyebabkan penetapan tersangka prematur. Penetapan tersangka tidak sesuai dengan prosedur, dan karenanya harus dinyatakan sebagai tidak sah," ujar dia.