Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
***
Jarum jam menunjukkan pukul 15.00 WIB. Tinggal 1,5 jam lagi Sulastri mengakhiri jadwal kerjanya di sebuah toko material bangunan di Jawa Tengah. Namun perempuan 49 tahun itu tiba-tiba diminta datang ke rumah sang bos. Atasannya meminta Sulastri membantu pekerjaan rumahnya karena asisten rumah tangganya sedang izin tak masuk.
Sulastri biasa diantar-jemput si suami ke tempat kerja. Maka kala sore itu sang bos bertitah ke rumah, ia sempat beralasan tak ada motor. Bosnya lalu menginstruksikan agar Sulastri diantar oleh rekan lelaki di toko bangunan itu. Ia pun menurut lantaran segan menolak perintah bosnya yang sudah ia ikuti 10 tahun lamanya.
Garapan tambahan di luar ranah kerja Sulastri itu baru selesai satu jam melampaui jam kerja. Pukul 17.30 ia diantar kembali ke toko bangunan oleh rekannya tadi karena searah. Sesampai di toko, suami Sulastri yang telah menunggunya langsung marah-marah mendapati situasi tersebut.
“Dia bilang, ‘Aku malu punya istri pelacur.’ Dia selalu cemburu berlebihan, nuduh yang enggak-enggak. Padahal aku kerja keras,” ujar Sulastri yang namanya disamarkan untuk alasan keamanan.
Tak sekadar marah-marah, suami Sulastri pun main tangan saat emosinya memuncak. Ia memukul kepala Sulastri dan mencekik lehernya.
Luapan emosi negatif karena cemburu berlebihan itu sudah berlangsung dua tahun belakangan. Hampir setiap hari Sulastri merasakan kekerasan psikis. Sementara kekerasan fisik dari suami yang suka main tangan ia alami setidaknya empat kali.
Sulastri tak menyangka pernikahan keduanya—setelah suami pertamanya meninggal—jadi semerana ini. Padahal rumah tangganya yang kedua itu sudah berlangsung 15 tahun, namun sifat suaminya yang pencemburu dan gemar menuduh tanpa bukti tak jua sirna.
Si suami terus-menerus menuding Sulastri berzina hanya karena Sulastri bekerja dan bertemu konsumen-konsumen pria di tempat kerjanya—sebuah situasi yang tak terelakkan karena Sulastri bekerja di toko material bangunan yang notabene pengunjungnya kebanyakan lelaki.
Kenyataan bahwa bosnya juga merupakan atasan suaminya di proyek lain, tak membuat derita Sulastri berkurang.
Suatu saat si suami bahkan melarang Sulastri membantu acara pernikahan bosnya. Ini membuatnya tak enak hati, sebab bosnya dulu adalah teman sekolah. Terlebih, sang bos sama-sama atasan dia dan suaminya.
Demi mengatasi kecemburuan si suami, Sulastri sudah beberapa kali menawarkan diri untuk mundur dari pekerjaannya dan menjadi ibu rumah tangga. Namun, setiap kali usul itu ia sampaikan kepada suaminya, si suami hanya diam, tak merespons.
“Aku hidup tuh kayak pasrah saja sekarang. Aku kadang ngomong [ke suami], ‘Ya sudah, sana kamu cari [istri lagi] yang lebih baik dan lebih kaya, aku ikhlas.’ Tapi dia enggak mau, aku heran,” kata Sulastri sembari sesenggukan.
Di sisi lain, menggugat cerai suaminya bukan pilihan mudah bagi Sulastri karena hal itu makan biaya. Menurut Sulastri, lebih baik biaya itu untuk kebutuhan anak semata wayangnya yang duduk di bangku SMP.
Namun, Sulastri bakal langsung menerima jika suaminya yang berinisiatif menceraikan dia, sebab biaya perceraian jadi bakal ditanggung si suami sebagai pihak penggugat.
Meski mengalami kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), Sulastri enggan melapor ke polisi karena mengkhawatirkan dampak lanjutannya kepada dia.
“Misalnya aku ngomong-lapor, dia bisa tambah jahat ke aku, bisa menganiaya aku lebih kejam. Jadi untuk sementara aku mengalah karena karakter dia keras banget,” kata Sulastri.
Ujung-ujungnya, untuk meredakan frustrasi, Sulastri paling banter bercerita ke keluarga dan kerabat dekat soal masalah rumah tangganya, termasuk ke satu grup “masalah rumah tangga” di media sosial yang beranggotakan 200.000 akun dengan ragam persoalan.
Menurut Sulastri, bercerita bisa membuat perasaannya lebih lega walau ia sadar hal itu tak menyelesaikan masalahnya.
Grafik Naik Kasus KDRT di Indonesia
Sulastri bukanlah satu-satunya perempuan Indonesia yang mengalami KDRT. Beberapa bulan ke belakang tindakan KDRT suami kepada istri di beberapa kasus berlangsung ekstrem dan berujung pada pembunuhan, seperti kasus mutilasi istri di Ciamis; pembunuhan dengan sikat gigi di Karimun, Kepulauan Riau; dan pembacokan istri di Minahasa Selatan.
“Kasus KDRT bisa dibilang mungkin setiap hari juga ada kasusnya yang naik, tapi memang di 2 bulan terakhir lumayan cukup marak,” kata Pengurus Koalisi Perempuan Indonesia Eka Ernawati kepada kumparan, Kamis (9/5).
kumparan mencuplik data-data KDRT yang dihimpun dari tiga lembaga negara, yakni Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA), Kepolisian Republik Indonesia (Polri), dan Komisi Nasional Anti-Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan).
Dalam lima tahun terakhir, jumlah aduan KDRT di KemenPPPA meningkat dari 11.783 menjadi 17.366 kasus (naik 32,15%). Tren kenaikan ini juga terekam dalam catatan Polri dari 8.229 ke 10.820 kasus (23,95%) pada periode yang sama, 2019–2023.
Hanya data aduan KDRT—khususnya kekerasan terhadap istri (KTI)—ke Komnas Perempuan yang trennya menurun dari 6.555 menjadi 2.247 kasus selama lima tahun terakhir. Meski demikian, KTI menempati porsi terbesar (42,90%) dari total kasus kekerasan berbasis gender di ranah personal sepanjang 2023.
Komnas Perempuan mengingatkan, turunnya aduan KTI tak lantas berarti jumlahnya memang turun di lapangan. Hal itu bisa juga menunjukkan bahwa kasus kekerasan terhadap istri ialah fenomena gunung es—jumlah kasus yang tak tampak di bawah permukaan jauh lebih besar dari yang terlihat di atasnya.
“Ibaratnya yang dilaporkan hanya puncaknya. Realitanya [banyak kasus] tidak dilaporkan atau terlaporkan. Umumnya yang dilaporkan ke kami adalah kasus KDRT fisik/psikis/seksual yang sudah panjang (lama berlangsung), dan korban cari bantuan tapi masalahnya tidak terurai,” kata Komisioner Komnas Perempuan Siti Aminah Tardi kepada kumparan, Sabtu (11/5).
Di sisi lain, lanjut Siti, kenaikan angka kasus KDRT dalam catatan berbagai lembaga tak serta-merta berarti buruk, sebab hal itu justru menunjukkan ketersediaan layanan pemerintah dalam menerima aduan dan membantu korban KDRT, meski layanan tersebut belumlah optimal.
Koalisi Perempuan Indonesia menyoroti jumlah Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA) yang terbatas, hanya sekitar 248 UPTD PPA dari total 416 kabupaten/kota di Indonesia. Belum lagi soal kualitas pelayanan dan penanganan yang tak memadai ketika ada aduan kasus KDRT.
“Ketika korban melapor, apakah aparat penegak hukum melaksanakan dengan baik? Termasuk dengan tidak mendiskriminasi korban? Masih banyak korban mengalami kriminalisasi justru ketika melaporkan kasusnya,” ujar Eka Ernawati dari Divisi Reformasi Kebijakan Publik Koalisi Perempuan Indonesia.
Sistem Patriarki Ikut Memicu KDRT
KDRT punya ragam penyebab. Kasus-kasus yang kerap diadukan ke Koalisi Perempuan Indonesia selaku lembaga advokasi kebijakan adil gender itu 70% di antaranya dilatarbelakangi oleh masalah finansial atau ekonomi keluarga.
Selain itu, kurangnya pengetahuan dasar mengenai pembagian kerja dalam rumah tangga dan resolusi konflik rumah tangga juga turut mendorong terjadinya KDRT. Apalagi ditambah tingginya angka perkawinan usia anak yang menurut Survei Sosial Ekonomi Nasional BPS 2018 mencapai 1,2 juta kejadian.
“Ketika menikah di bawah umur, tentu mereka belum siap secara finansial dan psikologis. Pendidikan di sekolah pun enggak ada yang memasukkan soal dasar-dasar untuk saling menghormati dan menghargai, termasuk di dalam rumah tangga,” ujar Eka Ernawati.
Siti Aminah dari Komnas Perempuan menilai, faktor ekonomi, kecemburuan, dan percekcokan hanyalah pemicu KDRT yang tampak di permukaan. Jika ditelisik lebih dalam, akar masalahnya ada pada nilai-nilai patriarki.
“Misalnya [pemicu KDRT] karena tekanan ekonomi. Pertanyaannya: kenapa kalau terjadi tekanan ekonomi, perempuan yang dijadikan sasaran?” ujar Siti.
Ia melanjutkan, meski laki-laki yang tak memiliki pendapatan stabil untuk keluarga dianggap tak memenuhi ekspektasi sosial, nilai-nilai patriarki membuat si lelaki melampiaskan kesalahan pada perempuan yang kerap lebih lemah.
Itu pula, menurut Siti, salah satu faktor yang membuat pembunuhan terhadap istri marak terjadi belakangan ini. Istilahnya ialah femisida, yakni kasus pembunuhan terhadap perempuan yang didorong oleh dominasi dan relasi kuasa laki-laki.
Dalam Kasus KDRT, Mediasi Bukan Jawaban
Kembali ke kisah Sulastri yang mengalami KDRT karena kecemburuan suaminya, ia bingung harus menempuh cara apa untuk keluar dari jerat KDRT si suami. Ia bertahan saja dengan alasan tak ingin mengganggu kehidupan anaknya.
Meski sudah 20 tahun Indonesia memiliki UU Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT), penerapannya kerap menghadapi hambatan, baik internal maupun eksternal.
Contoh kendala internal, korban yang mengadu malah sering tidak dipercaya keluarganya sendiri. Selain itu, anak kerap dijadikan pertimbangan pemberat agar korban KDRT tidak jadi melapor.
“Bayangkan, korban (perempuan) melapor lalu dibawa ke rumah aman, sementara pelaku (lelaki) berkeliaran seenaknya. Ini enggak fair,” ujar Direktur LBH APIK Jakarta Uli Arta Pangaribuan.
Sementara itu, hambatan eksternal muncul karena aparat penegak hukum justru kerap meminta korban untuk melakukan mediasi. Padahal dalam proses mediasi, sering muncul kesan dan saran agar korban mencabut laporan KDRT daripada kasus berlanjut ke ranah pidana, dan imbasnya korban beserta anak-anaknya tidak mendapat nafkah dari suami—yang notebene pelaku kekerasan.
Hal tersebut terjadi karena, menurut Uli Pangaribuan, KDRT dipandang sebagai persoalan rumah tangga biasa oleh aparat. Padahal, UU PKDRT menganggap KDRT sebagai peristiwa pidana.
Eka Ernawati dari Koalisi Perempuan Indonesia menilai, aparat penegak hukum saja belum mengimplementasikan UU PKDRT dengan baik. Ia mencontohkan kasus anggota Polda Sumatera Utara yang menjadi pelaku KDRT terhadap istrinya yang tengah hamil pada April lalu.
Komnas Perempuan menyebut Kepolisian memiliki keterbatasan dalam menilai dan menangani kasus KDRT. Padahal, dalam KDRT terdapat siklus kekerasan yang berputar dari tahap ketegangan, kekerasan, rekonsilitasi/bulan madu, sampai kemudian berulang ke kekerasan lagi.
Siti Aminah mencontohkan kasus KDRT di Bekasi yang bermula karena cekcok pada September 2023. Sang istri sudah melapor polisi dan melampirkan visum, namun polisi justru memediasi korban agar kembali ke rumah bersama suaminya. Ujungnya sungguh tragis: sang istri dibunuh oleh si suami.
Padahal, ujar Uli Pangaribuan, kasus KDRT dalam UU PKDRT tak selalu berupa delik aduan yang hanya bisa diproses dengan pengaduan.
Jika terjadi kekerasan yang mengakibatkan anggota keluarga jatuh sakit atau luka berat, maka hal itu adalah delik murni atau delik biasa yang bisa langsung diproses polisi tanpa persetujuan korban maupun pelaku.
Itu sebabnya, ketika terjadi KDRT, sekalipun terjadi mediasi, mestinya aparat tetap melanjutkan proses pidana kasus tersebut.
Belum lagi hambatan sesudah putusan pengadilan. Meski hakim sudah mengetuk putusan, hal itu tak menjamin bakal dipatuhi pelaku KDRT, misalnya soal pemberian nafkah dan perebutan hak asuh anak.
Seorang ibu rumah tangga yang bercerai karena KDRT, bercerita kepada kumparan bahwa pengadilan memutus agar bekas suaminya menafkahi anak mereka sebesar Rp 500.000 per bulan. Namun, hal itu hanya dipenuhi si mantan pada bulan pertama saja. Bulan kedua dan seterusnya, ia tak memberi nafkah.
Menurut ibu yang tak ingin disebut namanya itu, ia merogoh kocek sekitar Rp 1,6 juta untuk memproses perceraian. Ia sempat ditawari didampingi pengacara, tetapi dengan biaya Rp 5 juta—yang akhirnya tak ia ambil.
Biaya Cerai Bikin Korban Bertahan dalam Jerat KDRT
Uli menekankan, banyak korban KDRT kesulitan untuk menggugat cerai karena masalah biaya.
“Logistiknya [memproses cerai di pengadilan] mahal. Belum, misalnya eksekusi anak. Ngajukan gugatan ke Pengadilan Negeri itu bayar, mau eksekusi juga bayar lagi. Sementara korban mati-matian enggak punya duit,” ujarnya.
Psikolog klinis Putri Rahayu mengatakan, jika seorang perempuan berdaya dan mendapat dukungan keluarga, maka ia akan berani melayangkan gugatan cerai demi lepas dari lingkaran setan KDRT.
Masalahnya—dan ini banyak terjadi, perempuan tersebut tidak berdaya dan tidak pula mendapat dukungan. Inilah yang akhirnya membuat ia berpasrah diri layaknya Sulastri.
“Karena dalam pikirannya adalah ‘Saya bertahan demi anak.’ Alasan klasiknya begitu. Atau ‘Kalau saya gugat cerai nanti [dilematis] padahal selama ini dinafkahi suami,” ujar Putri yang psikolog klinis @pro.psychologicalpractice itu.
Ketika korban KDRT tak berani melapor, Putri menyarankan agar mereka mendatangi keluarga terdekat untuk mendapatkan dukungan. Jika keluarga atau orang tua tidak membantu, datangi psikolog atau RT-RW setempat.
“Nanti RT-RW akan menghubungi polisi, dan polisi akan menggandeng kami sebagai psikolognya,” jelas Putri.
Korban KDRT juga dapat datang mengadu ke UPTD Perlindungan Perempuan dan Anak di tingkat kabupaten/kota terdekat; atau menelepon ke call center KemenPPPA SAPA 129 atau pesan WhatsApp ke hotline 08111129129.
Tanpa dukungan dari sekitar, korban KDRT dan anak-anak mereka akan terancam bahaya. Bukan hanya dari suami selaku pelaku KDRT, tapi juga dari psikis istri yang semakin terganggu.
Urgensi Perbaikan Penanganan KDRT
Demi memberantas KDRT, Komnas Perempuan, Koalisi Perempuan Indonesia, dan LBH APIK Jakarta bersama-sama mendorong agar UU PKDRT diimplementasikan secara benar dan disosialisasikan lebih masif ke masyarakat.
Komnas Perempuan menyoroti tiga hal yang mesti diperbaiki dalam implementasi UU PKDRT. Pertama, memaksimalkan dan memperbaiki fungsi perintah perlindungan. Jika pelaku KDRT bebas berkeliaran, maka harus ada mekanisme khusus untuk melindungi korban yang diputus hukum dilindungi.
Kasus pembunuhan dr. Letty oleh suaminya, dr. Ryan Helmi, pada 2017 menjadi preseden bagaimana perintah perlindungan pengadilan belum tentu terlaksana. Meski sudah diputuskan mendapat perintah perlindungan, dr. Letty yang menggugat cerai suaminya justru tewas ditembak suaminya sendiri.
Kedua, adanya kewajiban konseling bagi pelaku KDRT. Konseling bisa jadi terobosan bagi penanganan kasus KDRT yang pendekatannya tak melulu pidana.
Putusan kewajiban konseling ini pertama kali diterapkan pada kasus KDRT dr. Qory di Bogor pada 2023. Si suami divonis dua tahun penjara dengan hukuman tambahan konseling kejiwaan.
Tujuan konseling, menurut Uli Pangaribuan, ialah agar pelaku KDRT paham bahwa kekerasan merupakan perilaku yang salah, dan bahwa penting untuk menghargai serta mengerti kondisi psikologis pasangan agar hubungan menjadi lebih asertif.
Program konseling bagi pelaku KDRT sudah diterapkan di negara-negara maju seperti Amerika Serikat, Australia, Kanada, Selandia Baru, dan Inggris.
Ketiga, menanamkan pemahaman bahwa KDRT bukan lagi isu personal, melainkan isu publik. Dengan demikian, masyarakat termasuk tetangga sekitar, memiliki tanggung jawab jika mendapati perilaku KDRT di lingkungan mereka.
“Tidak salah ketika kita mengetuk pintu tetangga untuk memastikan seseorang dalam kondisi aman. Atau misal ada korban mengetuk pintu rumah kita dalam kondisi berdarah atau menangis, ya lindungi dan biarkan dia masuk. Kalau suaminya datang, enggak usah dikasih [ketemu] dulu sebelum masalahnya selesai,” terang Siti Aminah.
Selain ketiga rekomendasi tadi, Koalisi Perempuan Indonesia juga mendorong agar layanan UPTD PPA ada di seluruh kabupaten/kota di Indonesia, juga layanan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) yang lebih terjangkau.
“Negara harus melakukan sosialisasi dan edukasi ke masyarakat tentang KDRT, termasuk kekerasan seksual. KemenPPPA juga harus terus memberikan pendidikan dan pelatihan kepada aparat penegak hukum tentang bagaimana cara menangani KDRT,” tutup Eka.