Keadilan Bukan Sekadar Nama: Kisah Justitia Avila Veda Melawan Kekerasan Seksual

19 September 2023 9:08 WIB
·
waktu baca 11 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Justitia Avila Veda, pengacara perempuan yang mendedikasikan dirinya membentuk kolektif advokasi gratis khusus untuk korban pelecehan seksual. Foto: Dok. Pribadi
zoom-in-whitePerbesar
Justitia Avila Veda, pengacara perempuan yang mendedikasikan dirinya membentuk kolektif advokasi gratis khusus untuk korban pelecehan seksual. Foto: Dok. Pribadi
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Ada sebuah kredo dalam dunia hukum yang amat terkenal. Bunyinya adalah Fiat justitia ruat caelum (hendaklah keadilan ditegakkan meski langit akan runtuh). Kredo itu diucapkan Lucius Calpurnius Piso Caesoninus, seorang negarawan Romawi, pada 43 SM.
ADVERTISEMENT
Piso tahu betul bahwa Justitia atau keadilan adalah sesuatu yang agung. Ia tidak boleh bengkok, miring, atau bahkan dilenyapkan. Keadilan adalah harapan yang selalu dirindukan tegak oleh umat manusia.
Harapan itu pula yang bersemayam dalam nama Justitia Avila Veda. Pengacara berusia 29 tahun itu sudah tiga tahun ini aktif mendampingi para korban kekerasan seksual secara pro bono. Ia memanfaatkan betul privilege-nya yang tumbuh dari keluarga berdarah hukum.
"Sebenarnya papa mamaku dulunya pengacara. Kemudian sekarang jadi notaris gitu dan somehow sudah seperti value-nya, obrolannya di rumah, habit-nya tuh udah kaya lawyering dan ada kantor hukum, firma keluarga juga. Jadi, it was just an easy and pragmatic choice for me to go to law school," jelas Veda kepada kumparan, Kamis (14/9).
Justitia Avila Veda, pengacara perempuan yang mendedikasikan dirinya membentuk kolektif advokasi gratis khusus untuk korban pelecehan seksual. Foto: Dok. Pribadi

Buka Advokasi Gratis di Twitter

Nama Veda pertama kali viral pada Juni 2020 lalu. Kala itu, Veda menawarkan bantuan konsultasi kasus kekerasan seksual lewat cuitan di akun Twitter-nya (sekarang X).
ADVERTISEMENT
"Waktu itu aku nge-tweet dan aku bilang, kalau ada yang ingin konsultasi tentang kasus pelecehan seksual atau kasus kekerasan seksual, baik yang dialami diri sendiri atau orang lain bisa kirim email ke aku atau bisa direct message di Twitter," kata Veda menjelaskan cuitannya saat itu.
Justitia Avila Veda, pengacara perempuan yang mendedikasikan dirinya membentuk kolektif advokasi gratis khusus untuk korban pelecehan seksual. Foto: Dok. Pribadi
Tak menunggu lama, cuitan yang dibuat Veda menuai respons positif dan viral diserbu netizen. Banyak yang meneruskan pesan tersebut. Ada pula pengacara lain yang justru dengan sukarela menawarkan jasanya untuk membantu Veda.
Menurut Veda, tweet-nya itu berhasil membuka sebuah kotak pandora terhadap berbagai macam jenis kekerasan seksual di Tanah Air. Mulai dari pencabulan hingga pemerkosaan yang terjadi di institusi keagamaan maupun sekolah.
ADVERTISEMENT
Pada November 2020, Veda memutuskan membuat struktur kelembagaan yang lebih akuntabel, transparan untuk kolektifnya sebagai badan konsultasi hukum. Kolektif tersebut kemudian terikat dalam kode etik advokat dan kode etik profesi yang dinamakan Kolektif Advokat untuk Keadilan Gender (KAKG).
Tentu ada sejumlah tantangan dalam mengembangkan KAKG. Mental dan finansial, kata Veda, menjadi tantangan paling besar. Tak hanya itu, paralegal dan pengacara yang menerima banyak aduan kekerasan seksual pun mengalami fase burnout.
"Aduan itu bisa dua sampai empat aduan sehari. Itu dalam satu minggu saja untuk lima hari kerja sudah 20 kasus," terangnya.
Di KAKG, kata Veda, terdapat empat kelompok masyarakat marjinal yang menjadi prioritas penanganan kekerasan seksual. Pertama, anak dan kelompok yang secara ekonomi termarjinalkan. Kedua, kelompok minoritas gender dan minoritas seksual. Ketiga, kelompok dengan kerentanan tertentu seperti pengungsi. Keempat, kelompok penyandang disabilitas.
ADVERTISEMENT
"Visi kami adalah ingin memberikan layanan hukum dari awal sampai akhir sampai selesai," ungkapnya.
Menurut Veda, proses pengadilan pidana pada kasus kekerasan seksual bisa selesai dalam enam hingga 12 bulan. Kata dia, KAKG pun turut memikirkan akomodasi bagi keluarga kurang mampu yang tengah mencari keadilan.
"Kami harus memobilisasi funding untuk bisa back up kebutuhan-kebutuhan dasar supaya kebutuhan keadilannya itu bisa dicapai," sambungnya.

Melihat Perspektif Korban Kekerasan Seksual

Sejak 2020 hingga saat ini, KAKG telah menerima 465 aduan. Sekitar setengahnya dalam proses pendampingan hukum. Dari ratusan kasus yang diterima, kata Veda, ada laporan kekerasan yang dialami anak-anak yang masih duduk di bangku Sekolah Dasar (SD) dan Taman Kanak-kanak (TK).
ADVERTISEMENT
Laporan yang KAKG yang diterima merupakan akumulasi dari 3 tahun lamanya. Sementara, menurut data aduan Komnas Perempuan sepanjang tahun 2022, kasus kekerasan perempuan yang terjadi di ranah personal saja mencapai 2.098 kasus. Belum termasuk yang terjadi di ranah publik dan negara.
Jumlah kasus di ranah publik berdasarkan laporan Komnas Perempuan mencapai 1.276 kasus dan ranah negara 68 kasus. Total kasus kekerasan terhadap perempuan selama 1 tahun angkanya bisa mencapai 3.442.
Menurut Veda, penanganan kasus kekerasan seksual terbilang berat. Banyak trauma dan ketidakberdayaan yang dialami korban ketika peristiwa ini terjadi. Tantangan lain adalah banyak korban yang bahkan merasa terintimidasi ketika hendak melaporkan kasus yang dialami. Belum lagi soal stigmatisasi atau kemampuan mental dan finansial yang masih lemah.
ADVERTISEMENT
"Bisa karena ketidaktahuan tentang apa yang terjadi dengan dirinya [saat terjadi kekerasan seksual], ketidaktahuan bagaimana memprosesnya, persiapan seperti apa, cari bantuan ke mana. Dengan kultur kita yang sangat misoginis, hukum kita yang sangat seksis juga, aparat penegak hukum banyak yang belum tahu UU TPKS itu apa," jelas Veda.
Justitia Avila Veda, pengacara perempuan yang mendedikasikan dirinya membentuk kolektif advokasi gratis khusus untuk korban pelecehan seksual. Foto: Dok. Pribadi
Tak hanya korban yang kesulitan melaporkan kasusnya, ada juga korban yang bahkan tak bisa lepas dari jerat keberadaan pelaku. Veda memberikan contoh kekerasan yang terjadi di rumah tangga. Kekerasan di dalam rumah tangga (KDRT), kata dia, muncul karena adanya ketimpangan kuasa, misalnya, segi finansial yang masih bergantung dengan pelaku.
"Dia (korban) belum berani memproses (kasus KDRT) ke polisi, karena ketika pelaku dipenjara nanti, siapa yang menafkahi anggota keluarga lainnya. Jadi masih ada semacam jaring-jaring ketergantungan yang belum terurai, yang belum bisa diputus sehingga itu yang mungkin dalam penilaian, dalam perhimpunan mereka, tidak strategis juga untuk melapor," tutur Veda.
ADVERTISEMENT
"Gue belum bisa, gue belum fully empowered untuk bisa lapor karena tentunya ketika speak up, it takes a lot of courage, a lot of energy time, money," sambungnya.
Ilustrasi kekerasan seksual. Foto: Shutter Stock
Veda lalu mewanti-wanti para pengacara, konsultan, hingga orang-orang di luar sana yang secara sengaja maupun tidak menekan korban untuk melapor. Menurut Veda, kita tidak boleh memaksa korban untuk mengambil keputusan melaporkan kasusnya.
Lebih lanjut, Veda memaparkan tugas pengacara sebenarnya adalah memberikan informasi, positif-negatifnya dan pro kontra, kemudian memberikan advice (nasihat). Bukan untuk membuat keputusan bagi korban.
"Make sure mungkin ada self-critic juga atau gerakan yang mungkin mendorong, misalnya, ini kasus yang harusnya dilaporkan, balik lagi korbannya mau atau tidak. It's not about you sebagai pendamping, tapi is always about the victim," ucap dia.
ADVERTISEMENT
Justitia Avila Veda, pengacara perempuan yang mendedikasikan dirinya membentuk kolektif advokasi gratis khusus untuk korban pelecehan seksual. Foto: Dok. Pribadi
Veda menyebut bukti-bukti yang dikumpulkan ketika membela kliennya memiliki sifat circumstantial. Beberapa mungkin awan dengan istilah ini. Merujuk pada jurnal Evidence in Sexual Violence Crime Case, circumstantial evidence (bukti tidak langsung) dipahami sebagai fakta-fakta yang memiliki hubungan setelah ditarik kesimpulannya.
Sementara, bukti circumstantial yang biasa digunakan dalam KUHP meliputi alat bukti yang diperoleh dari serangkaian fakta yang dapat mengungkap suatu peristiwa atau keadaan tertentu.
Menurut Veda, ketika terdapat alibi pelaku soal tak ada bukti pelecehan seksual jalan yang dilakukan adalah dengan menemukan circumstantial evidence. Pengumpulan fakta dengan metode ini bisa jadi cara yang kuat untuk berdiri dengan korban dalam melawan pelaku, khususnya kasus kekerasan seksual.

Semua Dimulai dari Kampus

Dedikasi Veda dalam membela kelompok masyarakat marjinal dimulai sejak ia berkuliah S1 di Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FH UI). Ia merupakan angkatan 2011 dan memilih hukum pidana sebagai jalan studinya.
ADVERTISEMENT
Selain tertarik dengan hukum pidana, Veda mulai tertarik terhadap isu perempuan. Saat itulah dia sadar ada yang tak beres dengan pernyataan "Semua orang setara di mata hukum." Keresahannya semakin muncul lantaran menurutnya tak ada hukum yang benar-benar setara.
Suasana Fakultas Hukum UI. Foto: Dok. Istimewa
"Well, kalau di hukum katanya semua orang setara di mata hukum, tapi ternyata itu tentu enggak berlaku. Pasti ada perbedaan kelas, baik karena aspek gendernya, aspek ekonominya, dan aspek disabilitas. Segala macam identitas itu membuat kita tidak pernah setara sebenarnya di depan hukum," papar Veda.
"Dan aku sebagai perempuan juga di Indonesia, ada enggak sih perempuan yang enggak pernah mengalami pelecehan atau kekerasan?" tanyanya kepada diri sendiri kala itu.
ADVERTISEMENT
Veda pun harus menelan fakta pahit bahwa perempuan-perempuan di sekitarnya, termasuk dirinya, pernah mengalami kekerasan seksual. Dari titik itulah jiwa aktivis Veda muncul. Ia mulai membantu teman-teman di sekitarnya, saling berbagi cerita tentang peristiwa menyakitkan itu.
Ia juga bercerita bahwa kasus kekerasan seksual sangatlah rumit untuk dipahami prosesnya. Dirinya yang tumbuh dan besar di keluarga cukup berpendidikan saja tak memahami betul, kapan dan seperti apa jika ia benar-benar mengalami pelecehan dan kekerasan seksual.
Ilustrasi perempuan jadi korban kekerasan seksual siber berbasis gender. Foto: Pheelings media/Shutterstock
Ia semakin sadar posisi kelompok masyarakat termarjinalkan yang memiliki akses lebih sedikit di bidang pendidikan dalam menghadapi kasus kekerasan seksual. Membayangkan kesulitan yang dihadapi, akhirnya menggugah hati Veda untuk membantu mereka.
"Pelecehan ini prosesnya berat. Segala ilmu pengetahuan segala akses seperti akses ke bantuan, koneksi jejaring itu benar-benar eksklusif dan hanya untuk sedikit orang. Bahkan sedikit orang ini pun yang sudah super privilege, ketika mengalami kasus masih enggak tahu harus ngapain. Dari situ, aku merasa aku ingin memperluas akses terhadap segala modalitas yang aku punya tadi ke orang-orang yang membutuhkan," pungkas Veda.
ADVERTISEMENT

Merasa Tervalidasi Lewat Pencapaian di Satu Indonesia Awards

ADVERTISEMENT
Perjuangan Veda akhirnya mulai banyak mendapatkan validasi, salah satunya melalui SATU Indonesia Awards yang diinisiasi oleh Grup Astra. SATU diambil dari kepanjangan Semangat Astra Terpadu Untuk Indonesia yang memiliki peran dalam berkontribusi meningkatkan kualitas masyarakat Indonesia melalui karsa, cipta dan karya terpadu untuk memberikan nilai tambah bagi kemajuan bangsa Indonesia.
Nama Justitia Avila Veda masuk dalam deretan klasifikasi Astra yang memiliki peran penting dalam berkontribusi bagi kemajuan bangsa Indonesia. Ia pun mengutarakan perasaannya setelah memperoleh penghargaan bergengsi ini.
com-SATU Indonesia Awards 2019 Foto: Dok. Astra
“Aku juga baru tahu ternyata kompetisi yang sangat bergengsi dan kandidatnya yang daftar ada belasan ribu. Terus kita lolos dari tahap ke tahap itu gak percaya aja gitu. Jadi merasa seperti dihargai, merasa divalidasi. Kami merasa jadi satu bentuk afirmasi bahwa apa yang kami kerjakan ada nilainya, dihargai, dan sebenarnya sangat senang dengan kemenangan di SATU Indonesia Awards,” tutur Veda dengan bangga.
ADVERTISEMENT
Perempuan lulusan FH UI ini sangat mengapresiasi medium pemberian penghargaan seperti SATU Indonesia, karena secara dampak terhadap KAKG, keberadaan awards sangat membantu dalam menaikan exposure hingga daerah-daerah.
“Benar-benar exposure KAKG di daerah-daerah ini naik yang sebenarnya juga gak akan bisa kami reach out. Seperti kemarin rekrutmen terakhir, pendaftar ada 130 untuk posisi pengacara dan itu banyak banget untuk rekrutmen sebelum-sebelumnya. Kami yakin itu pasti gara-gara exposure (dari SATU Indonesia). Orang-orang jadi tahu kita dan bisa diakses dengan mudah,” jelas Veda.
Karir Veda yang sudah berkiprah sejak 2014 di bidang hukum, membuat dirinya memiliki pandangan berbeda soal Hak Asasi Manusia (HAM) dan keadilan. Ia memberikan opininya soal kedua istilah tersebut. Jelas, menurutnya, kedua konsep ini memiliki interkoneksitas yang kuat.
ADVERTISEMENT
HAM selalu didefinisikan sebagai hal yang sangat menginfiltrasi dalam diri seseorang. Salah satu definisi HAM yang paling terkenal adalah paparan John Locke, seorang filsuf asal Inggris. Locke menjadi salah satu pengembang konsep HAM di era modern. HAM sendiri sebenarnya sudah muncul di abad ke-17 dan 18 yang diadopsi dari doktrin hukum alam.
Filsuf asal Inggris, John Locke. Foto: Shutterstock
Dalam buku The Second Treatise of Civil Government and a Letter Concerning Toleration, Locke membagikan idenya bahwa manusia diberikan hak-hak alami atas hidup, kebebasan, properti, dan hak-hak tersebut milik masing-masing individu yang sifatnya tidak bisa dicabut dan tidak ada pemerintah yang dapat mencabut hak tersebut.
Senada dengan Locke, Veda juga menggambarkan HAM sebagai kebutuhan yang dimiliki manusia, agar manusia dapat beroperasi dan berfungsi dengan baik sebagaimana dirinya diciptakan.
ADVERTISEMENT
“Aku merasa HAM, kalau bicara secara normatif tadi adalah akal paling dasar supaya manusia bisa beroperasi, berfungsi sebagaimana dirinya diciptakan. Sebagai intellectual being, sexual being, sebagai emotional being, being orang kan banyak ya, dimensi kehidupan dia banyak. Agar semuanya bisa berjalan secara simultan dalam harmoni ya itu harus disokong dengan pemenuhan dan perlindungan HAM-nya,” tegas Veda.
Sementara, keadilan diartikan Veda sebagai konsep yang tak memiliki standar. Artinya, keadilan bagi seseorang, belum tentu juga berlaku adil bagi orang lainnya. Ia menyebut, “Justice is very specific”.
Ilustrasi Pengadilan. Foto: Shutter Stock
“Keadilan itu tidak ada standarnya, tidak ada one size fits all, keadilan itu it's very personal for everybody,” jelas Veda.
“Keadilan buat orang lain bisa jadi dengan melihat pelakunya dipenjara. Keadilan buat orang lain juga bisa dengan misalkan pelakunya bayar ganti rugi, atau keadilan juga dengan pelakunya dihukum mati,” sambungnya.
ADVERTISEMENT
Veda menginfiltrasi arti nama Justitia sebagai prinsip hidupnya. Ia menjadikan konsep keadilan sebagai moral kompas dalam menjalani lika-liku kehidupan. Termasuk pemandu dalam menjalankan tanggungjawab mulianya kepada masyarakat dengan menginisiasi pembentukan Kolektif Advokat untuk Keadilan Gender (KAKG).
“Jadi buatku sendiri itu harus jadi moral kompasku, buat aku mengambil keputusan, memperlakukan seseorang, menghadapi sesuatu. So, it's literally, it's my practice, itu doa orang tuaku, itu nama pertama aku. So, I guess guys itu juga nilai yang aku junjung paling tinggi dan itu yang selalu jadi pemanduku ketika menjalankan KAKG, kolektif atau keadilan gender,” jelas Veda.